Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

KEMBALI KE MADINATUL HUJAJ

Written By Unknown on Kamis, 12 Juni 2014 | 03.19

 Catatan Edy Supriatna - Sistem pelayanan satu atap dalam pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji, khususnya untuk pemulangan jemaah, sudah dirasakan mendesak, karena itu kembali ke sistem pelayanan satu atap di Madinatul Hujjaj layak untuk diaktifkan lagi.

Harus diakui sistem tersebut jika diterapkan dengan benar akan membawa manfaat besar karena lebih efektif, efisien dan bisa memangkas birokrasi, termasuk menekan ongkos operasional.

Pendapat tersebut jauh sebelum pelaksanaan wukuf sudah mengemuka. Badrus, misalnya, yang menjadi penanggung jawab pool kendaraan operasional bagi penyelenggaraan ibadah haji, menyebut bahwa kebijakan penggunaan Madinatul Hujjaj sebagai tempat transit sebelum jemaah diterbangkan ke Tanah Air perlu dipertimbangkan kembali.

Di Madinatul Hujjaj, Jeddah, wilayahnya sangat luas. Pantas dijadikan layanan terpadu atau layanan satu atap pada waktu-waktu mendatang. "Kita sudah mengontrak tempat itu 10 tahun dan dibayar setiap musim haji. Tapi, kini malah kita menggunakan hotel, bukan Madinatul Hujjaj lagi sebagai tempat transit," katanya.

Pernyataan Badrus ini juga ditimpali rekannya, Haryadi. Katanya, dengan layanan satu atap saat pemulangan akan memudahkan koordinasi. Pengalaman beberapa tahun silam ketika wilayah itu dijadikan sebagai tempat transit jemaah haji Indonesia, keluhan jemaah haji dapat diminimalisir.

Pasalnya, selain memudahkan koordinasi pemulangan jemaah juga jika terjadi penundaan penerbangan, pengaturan penginapan tak terlalu menyulitkan. Sebab, pelayananan sudah satu atap. "Tidak seperti sekarang, jemaah ketika pulang, seperti diusir dari hotel," kata Hariyadi, yang lebih akrab dipanggil si mbah.

Alasan bahwa lingkungan Madinatul Hujjaj kotor sehingga tak laik digunakan sebagai penginapan, tak bisa sepenuhnya dijadikan dasar. Kini negeri jiran Malaysia justru menggunakan Madinatul Hujjaj. Soal kebersihan dan fasilias lainnya bisa dipenuhi dan nampak lebih bagus.

Bisa jadi, sekarang, yang lebih banyak menikmati kenyamanan di Madinatul Hujjaj justru jemaah dari Malaysia. Padahal, beberapa tahun silam, jemaah dari negeri jiran itu kerap kurang diopeni petugas Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, kata bebepa petugas PPIH lainnya. Untuk saat ini, di Madinatul Hujjaj, Indonesia hanya memanfaatkan sebagai pool kendaraan. Saat pemulangan jemaah, digunakan untuk menimbang barang jemaah haji Indonesia.

Jika wilayah itu juga dimanfaatkan sebagai penginapan, urusan pengurusan paspor, penimbangan barang jemaah, dan koordinasi antarpetugas bisa lebih mantap. "Tidak seperti sekarang, jemaah terpecah-pecah menginap di berbagai hotel," ujar Badrus.

Madinatul Hujjaj merupakan wilayah bekas airport lama di Jeddah. Lantas, oleh pihak otoritas setempat diberikan kepada Indonesia untuk dimanfaatkan bagi jemaah Indonesia yang tiap tahun meningkat menunaikan ibadah haji. Lalu, kenapa fasilitas itu tak dimanfaatkan seoptimal mungkin. Toh, jika ada kekurangan, misalnya soal kebersihan dan kerusakan, bisa diperbaiki, kata mereka.
Konsep istirahat

Madinatul Hujjaj ditinggalkan sekitar lima tahun silam. Sabelum pelayanan sistem pemulangan atau transit di Madinatul Hujjaj bagi jemaah haji ditinggalkan, mengemuka sejumlah pendapat yang antara lain esensinya adalah jemaah diperlakukan tak manusiawi. Tak manusiawi lantaran tempatnya dinilai kotor, bantal dan kasur di setiap kamar jelek dan beragam alasan lain yang menekankan bahwa areal bekas bandara tersebut sudah jelek.

Tanpa melalui pertimbangan matang, atau melalui penelitian mendalam dan komprehensip, lantas pelayanan satu atap di Madinatul Hujjaj ditinggalkan. Pengurus Pantia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) saat itu menegalihkan kepada konsep pelayanan satu atap menjadi konsep istirahat.

Konsep istirahat dirasakan tepat dan manusiawi karena jemaah seusai menunaikan ibadah haji membutuhkan istirahat yang memadai. Lalu, diputuskanlah konsep itu diterapkan. Tatkala konsep ini diperkenalkan, sejumlah pengusaha hotel pun menyatakan "gembira". Pasalnya, mereka "kecipratan" rezeki dari banyaknya jemaah Indonesia yang tiap tahun terus bertambah menunaikan ibadah haji. Ini juga berarti tambahan biaya bagi Kementerian Agama. Sebab, ada biaya bagi jasa transportasi, jasa katering dan biaya lain yang ditimbulkan akibat pelayanan tak satu atap lagi.

Jika dahulu -- di Madinatul Hujjaj -- jemaah yang hendak pulang memperoleh layanan pengobatan dalam satu areal, sekarang tak lagi. Belum lagi persoalan air di sejumlah hotel yang kerap dikeluhkan jemaah Indonesia yang dikenal boros ketika memakai air.

"Bisa jadi, kepindahan konsep pelayanan satu atap ke konsep istirahat didasari sikap emosional sesaat. Terlebih tanpa kajian mendalam," kata Tulus Sastrowijoyo, ketika dimintai komentarnya seputar diabaikannya kawasan Madinatul Hujjaj dewasa ini.


Tulus, staf ahli menteri agama, mengaku memahami betul suasana batin ketika konsep istirahat diterapkan. Sepanjang perjalanan konsep itu diaplikasikan, pemulangan jemaah haji selalu menemui berbagai persoalan. Sebenarnya, dengan konsep satu atap, berbagai persoalan pemulangan jemaah haji dapat dieleminir.

Apa saja yang bisa dieleminir itu, menurut dia, biaya transportasi bisa ditekan. Seperti penggunaan bus. Pada konsep satu atap, layanan bus dari Madinatul Hujjaj ke airport King Abdul Aziz geratis, karena pihak Maskapai Garuda yang menanggung.

Sekarang, pihak PPIH harus memberi tambahan biaya untuk ini. Mengangkut jemaah dari hotel ke airport. Belum lagi biaya kuli dan bongkar barang jemaah.

Ketika Madinatul Hujjaj dimanfaatkan, seluruh kendaraan yang disimpan di areal tersebut tak dikenai biaya. Setelah ditinggalkan, PPIH harus menanggung semua itu. Dahulu, jemaah dapat bebas rekreasi ke sekitar wilayah Jeddah tetapi dengan konsep menginap di hotel banyak persoalan yang muncul. Seperti, jemaah kerap nyasar di kota.

Ketika jemaah ditempatkan di Madinatul Hujjaj sebagai tempat transit, para pengemudi taksi di Jeddah mudah mengenali. Disebut saja Madinatul Hujjaj, sopir taksi akan tahu.

Sejatinya, menggunakan madinatul hujjaj banyak manfaatnya. Pelayanan kesehatan atau pemulihan kesehatan bagi jemaah lebih mudah, karena di situ terintegrasi. Belum lagi untuk check in dan penimbangan barang, mudah dilakukan.

Jika terjadi delay, jemaah tak terlalu lama menunggu di bandara. Sebab, antara petugas di Madinatul Hujjaj dengan pihak manajemen Garuda mudah berkoordinasi. "Belum lagi pengurusan dokumen pemulangan, akan lebih mudah," ia menjelaskan.

Menurut Tulus, pemindahan pelayanan satu atap memang sudah pantas dilakukan sesegera mungkin. Sebab, jemaah haji Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Pemindahan pelayanan satu atap dari Madinatul Hujjaj ke konsep istirahat sudah pantas ditinggalkan. Kalaupun di lingkungan setempat dirasakan kurang, seperti kebersihan dan lainnya, bisa dilakukan renovasi secara bertahap.

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) Slamet Riyanto juga mengakui bahwa menggunakan Madinatul Hujjaj akan membawa manfaat besar bagi jemaah Indonesia ke depan. Selain efesiensi, juga memudahkan kontrol dalam lalu lintas jemaah ke bandara setempat ketika melakukan pemulangan.

Awalludin, jemaah dari Banten yang pernah merasakan penggunaan Madinatul Hujjaj beberapa tahun silam, mengakui bahwa konsep istirahat yang diterapkan penyelenggara haji dengan meninggalkan Madinatul Hujjaj dirasakan tak membawa manfaat besar.

Pasalnya, ketika jemaah tiba di Jeddah kemudian dibawa keliling ke kota Jeddah, posisi jemaah sudah dalam keadaan lelah. Mereka sudah teramat rindu dengan keluarga, sehingga yang dibutuhkan saat itu adalah pemulihan kesehatan. Jika Madinatul Hujjaj digunakan, pemulihan tenaga bisa dilakukan sepenuhnya karena sarana kesehatan dan pelayanan umum, termasuk pengurusan dokumen sudah satu atap. "Kita tak perlu menguras tenaga lagi di Jeddah," katanya.

Sekjen Kemenag, Bahrul Hayat setuju jika Indonesia kembali ke sistem pelayanan satu atap di Madinatul Hujjaj. Tentu, sebelum itu dilakukan, perlu ada perbaikan infrastruktur sehingga pelayanan kepada jemaah ke depan akan terasa lebih nyaman.

Jika mengacu kepada pernyataan para petinggi Kementerian Agama dan pengalaman penundaan penerbangan yang sedemikian lama, tentu sangat tepat Madinatul Hujjaj digunakan kembali. Antisipasi penundaan pelayanan penerbangan memang perlu dilakukan, mengingat dari tahun ke tahun terus terjadi. Terlebih, jemaah Indonesia jumlahnya terus bertambah yang membutuhkan pelayanan secara integral.

Jadi, kembali kepada pilihan satu atap di Madinatul Hujjaj, Jeddah, adalah keputusan tepat.




0 komentar:

Posting Komentar