Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

SOLO DI PANGGUNG KERUKUNAN ANTARAGAMA

Written By Unknown on Minggu, 24 Agustus 2014 | 23.24

Catatan Edy Supriatna - Solo, 24/8 (Antara) - Lagu Bengawan Solo demikian populer di mancanegara. Terlebih di negeri Sakura, Jepang. Para orang tua di negeri itu telinganya sangat akrab dengan lagu keroncong ciptaan Gesang Martohartono dan kini juga dikenal oleh generasi muda di negeri matahari terbit itu.     

        Kemungkinan itu terjadi disebabkan serdadu Jepang, tatkala zaman kolonial, banyak mengenal gadis ayu dari kota tersebut.

           Solo kini sudah masuk ke pentas internasional. Kota itu pernah mendapat penghargaan Green City. Solo juga mendapatkan beberapa penghargaan semasa dipimpin Jokowi, kini Presiden RI ketujuh. Sederet penghargaan itu di antaranya Kota dengan Tata Ruang Terbaik ke-2 di Indonesia serta Piala dan Piagam Citra Bhakti Abdi Negara dari Presiden Republik Indonesia pada 2009. Masih banyak lagi penghargaan untuk kota itu.

            Solo terletak di provinsi Jawa Tengah, Indonesia yang berpenduduk 640.0049 jiwa (2013) dan kepadatan penduduk 13.636/km2. Kota dengan luas 44 km2 ini berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo.   
         Catatan historis menyebut bahwa bersama dengan Yogyakarta, Solo merupakan pewaris Kerajaan Mataram yang dipecah pada tahun 1755.

             Di kota itu pula kemajemukan sangat kental. Itu bisa dilihat dari komposisi jumlah pemeluk agama (2013). Kepala Kantor Kemenag Surakarta, Ahmad Nasirin mencatan bahwa pemeluk agama Islam 44.2654, Kristen (83.519 jiwa), Katolik (7.3275), Hindu (1.283) dan Buddha (3.610) dan Konghuchu (500), lainnya (9).
             Sementara itu jumlah rumah ibadah tercatat untuk masjid sebanyak 554 buah, mushola (180 buah), gereja Kristen (180), gereja Katolik (54), Kapel (12), Vihara (6), Kelenteng Konghuchu (3).
             Bagi orang awam, terutama dari luar Pulau Jawa, yang bertandang ke Solo, akan dibingungkan dengan penyebutan Solo dan Surakarta. Bagi warga yang pernah kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) atau di Solo, tentu paham kedudukan Surakarta dan latarbelakang Solo.
              Sebab, seperti disebut dalam catatan Wikipedia  "Sala" (baca Solo) adalah dusun yang dipilih oleh Sunan Pakubuwana II dari tiga dusun yang diajukan kepadanya ketika akan mendirikan istana yang baru, setelah perang suksesi Mataram terjadi di Kartasura. Nama "Surakarta", yang sekarang dipakai sebagai nama administrasi yang mulai dipakai ketika Kasunanan didirikan, sebagai kelanjutan monarki Kartasura.
            Pada masa sekarang, nama Surakarta digunakan dalam situasi formal-pemerintahan, sedangkan nama Sala/Solo lebih umum penggunaannya. Kata sura dalam bahasa Jawa berarti "keberanian" dan karta berarti "sempurna"/"penuh". Dapat pula dikatakan bahwa nama Surakarta merupakan permainan kata dari Kartasura.
            Secara administrasi yang resmi adalah Surakarta. Tapi, jika anda ketemu gadis cantik di kota tersebut, jangan sebut dia asal Surakarta. Tentu lebih akrab sebagai gadis Solo. Warga di kota itu, khususnya untuk dunia pariwisata dan perdagangan, umumnya memakai sebutan Solo. Stasion Solo Balapan, misalnya. Tetapi, jika anda membuka peta, yang ada pasti namanya Surakarta, bukan Solo.
           Memang kota tersebut punya historis unik dan khas. Khususnya saat Kesultanan Mataram memindahkan kedudukan raja dari Kartasura ke Desa Sala, di tepi Bengawan Solo. Sunan Pakubuwana II membeli tanah tersebut dari Kyai Sala sebesar 10.000 ringgit (gulden Belanda). Secara resmi, keraton Surakarta Hadiningrat mulai ditempati 17 Februari 1745 dan meliputi wilayah Solo Raya dan Daerah Istimewa Yogyakarta modern. Kemudian sebagai akibat dari Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757) terjadi perpecahan wilayah kerajaan, di Solo berdiri dua keraton: Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, dan di Kesultanan Yogyakarta.
    
 Kewaspadaan

        Drs KH Muhammad Dian Nafi, Pengasuh Pondok Pesantren Al Muayyad, Windan, Pabelan, Kartosuro, Sukoharjo, mengingatkan bahwa suasana harmoni di tengah kemajemukan warga dengan segala sosial-budaya yang dimiliki harus bersama-sama dijaga.   

        Kewaspadaan harus tetap ditingkatkan karena dinamika masyarakat dewasa ini demikian pesat. Globalisasi dengan "plus minus" yang dibawanya bukan hal mustahil banyak berpengaruh terhadap pola pikir penduduknya.

           Jangan sampai dikesankan kerukunan menjadi semu. Kerukunan harus menembus relung hati warga dari seluruh umat. Warga Solo pernah sekurangnya mengalami 13 kali kerusuhan, kata Dian Nafi. Itu terjadi karena adanya tarik menarik kepentingan yang berujung pada kerugian, khususnya warga kota tersebut.

           Terlebih, Solo kini sudah menjadi "panggung internasional", kata kiyai yang banyak tampil di berbagai forum komunitas lintas-agama. Selain soal kerukunan antarumat, Dian Nafi memang banyak berbicara soal pendidikan, ketahanan pangan di lingkungan umat Kristiani di berbagai forum. Bagi warga Solo, ia menekankan, rasa aman dan nyaman harus dikedepankan, sehingga melalui pendidikan dan kesejahteraan yang baik, berbagai tantangan radikalisme bisa dihalau dari kota tersebut.

           Pelaku radikalisme dewasa ini mulai mencari panggung dimana-mana. Solo juga tak luput dari sasaran target itu. Forum Kerukunan Antar-umat Beragama (FKUB) kini menjadi demikian penting untuk mengambil peran.
           Dalam keseharian, memang patut diapresiasi FKUB Kota Solo dalam mengintensifkan komunikasi antar-komponen masyarakat.  Koordinasi antarkomponen masyarakat untuk mewujudkan kerukunan umat beragama memang harus mendapat perhatian. Jangan sampai kerukunan bersifat semu.

           Sesuai dengan pasal 9 (2) Peraturan Menteri Agama No 9 dan 8 tahun 2006, disebutkan bahwa setiap umat beragama diharuskan untuk saling mengerti, mengenal dengan baik satu dengan yang lain. "Bukan menyerang satu sama lain. Pengertian keyakinan agama di indonesia dengan kesadaran berbangsa dan bernegara jangan dipertentangkan, jangan dipisahkan," tambahnya.

           Mantan Wali Kota Solo Joko Widodo pernah memuji peran yang dijalankan FKUB. Kerukunan umat beragama di kota Solo berjalan dengan baik. Jokowi, sapaan Wali Kota juga menilai peran FKUB sangat penting dalam memberikan kontrol kepada masyarakat. Sudah berjalan baik. "Contohnya apabila ada masalah, tidak pernah naik ke saya, beliau menyelesaikan sendiri, itu bagus. Yang saya lihat seperti sekarang ini bagus," jelas Walikota.

           FKUB Solo tergolong aktif. Jika ada warga ingin membangun rumah ibadah, selalu turun ke lapangan sebelum memberi rekomendasi. Jadi, gesekan antarumat dapat dihindari karena dialog antarpengurus FKUB dan masyarakat dilakukan secara terbuka. Rekayasa rekomendasi untuk persetujuan rumah ibadah jelas tidak ada. "Kita kerja serius, karena ini menyangkut kepentingan umat," kata Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Solo, Suharso.    

 Tut Wuri Handayani

         Suharso, yang juga aktif dalam FKUB Solo, berharap kerukunan yang tercipta berjalan natural. Artinya, jangan sampai dikesankan dipaksakan. Inisiatif para tokoh agama dan masyarakat lebih mengemuka, sementara pihak pemerintah lebih banyak dalam posisi "Tut Wuri Handayani". Semboyan ini  selain bisa dimaknai sebagai dorongan buat anak anak agar maju ke depan, tampil, dan berani mengambil keputusan, juga dalam konteks sosial memberi dorongan dan arahan untuk terwujudnya toleransi antarumat beragama.
             Dewasa ini, kata Suharso, pihaknya memang meningkatkan kewaspadaan. Khusus terkait mencuatnya isu Islamic State of Iraq and Sham (Daulah Islam Iraq dan Syam). Pemimpinnya adalah Syeikh Abu Bakar Albaghdadi (Penganut Wahhabi/Salafi Jihadi Takfiri). ISIS adalah cabang resmi dari Al Qaedah pimpinan Usamah bin Laden.

             ISIS saat ini telah membentuk Daulah Islamiyah di Iraq dan Syam (Syiria) dengan mengangkat dan membaiat Khalifah Syeikh Abu Bakar Albaghdadi (asli Iraq). ISIS adalah kepanjangan tangan dari Kelompok Wahhabi (Salafi) Takfiri, yaitu kelompok yg menvonis pihak lain sebagai `Kaum Kafir¿ jika tidak sepaham dengan langkah-langkah ISIS, baik dari segi aqidah maupun politik.

          Bahkan ISIS juga menghalalkan darah para lawan aqidah dan lawan politiknya, termasuk dari kalangan kaum Wahhabi/Salafi sendiri, yang tidak setuju dengan langkah-langkah dan kebijakan ISIS.

             Di Solo, sudah ada 9 titik bendera ISIS dikibarkan dan sudah diturunkan. Pelakunya kebanyakan dari luar kota ini, yang sengaja membuat "onar" dan menjadikan Solo sebagai "panggungnya". Maklum, di akar rumput, ada stigma bahwa radikalisme bernuansa agama kerap dikaitkan kehadiran Abu Bakar Ba'asyir bin Abu Bakar Abud, pendiri Pesantren Al-Mu'min di Nguriku, Sukoharjo, Jawa Tengah.

            Di Pondok tersebut, seperti diungkap KH Muhammad Dian Nafi, ada tiga strata atau lapisan. Pertama, santri diarahkan untuk pendidikan dan mampu mandiri, kedua santri mampu berdakwa di tengah masyarakat dan ketiga - ini yang dikhawatirkan - santri sebagai laskar. Kini, ISIS dan radikalisme menyedot perhatian besar bagi para pemangku kepentingan di kota tersebut.

             Panggung kerukunan antarumat di Solo sudah tercipta. Potret kerukunan itu dapat dilihat pada dua tempat ibadah yang letaknya berdampingan, di atas sebidang tanah  dengan alamat yang sama pula. Bangunan di Jalan Gatot Subroto Nomor 222 itu adalah Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan dan Masjid Al-Hikmah.  Tak ada sekat tembok yang kokoh. Satu-satunya penanda atau pemisah bangunan tersebut hanyalah sebuah tugu lilin tua, yang merupakan simbol perdamaian kerukunan umat beragama. Sepanjang sejarah, jamaah kedua tempat ibadah tersebut tak pernah berselisih selama puluhan tahun. Mereka bangga dengan keadaan itu.

             Menurut Pendeta Nunung Istining Hyang, GKJ Joyodiningratan didirikan tahun 1939, sementara musala Al Hikmah yang kini berubah menjadi masjid didirikan tahun 1947. Suasana kondusif terjalin, kata Nunung, lantaran sehatnya komunikasi di antara pengurus masjid dan gereja.

           "Sudah lama kami - pengurus gereja dan masjid - hidup harmonis. Sebagai simbol kerukunan, kedua pihak sepakat mendirikan sebuah tugu lilin di antara bangunan gereja dan masjid," Nunung bercerita.

           Kerukunan antara kedua umat berbeda itu tidak hanya terlihat saat pada kegiatan ibadah pada hari besar keagamaan. Saat perayaan Natal atau Idul Fitri, misalnya, mereka akan saling membantu membersihkan halaman dan mengamankan jalannya kegiatan ibadah. 

      Ketua Takmir Masjid Al Hikmah, Natsir Abu Bakar ketika dijumpai membenarkan hal itu. Saat Idul Adha, hewan kurban pun di tempatkan di muka halaman gereja. Meski ada bau tak sedap, umat Kristiani menerima kenyataan itu sebagai bagian dari kesalehan sosial. "Sesudah itu, ya kita bersih-bersih bersama-sama. Kami selalu berkomunikasi, apa pun yang dilakukan harus selalu rukun," kata Natsir, yang juga sehari-hari adalah sebagai pedagang berlian itu.

          Jadi, tidak heran, harmonisasi yang baik ini, mengundang decak kagum bagi siapa pun yang menyaksikan dua bangunan rumah beribadah saling berdempetan. Maka, tak jarang kedua rumah ibadah itu kerap didatangi pemuka agama seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk melihat secara langsung tentang kerukunan umat beragama di Solo. Ada yang datang dari Jerman, Inggris, Italia, Spanyol, Belanda. Juga dari kawasan Asia Tenggara (Asean) Filipina, Jepang, Vietnam, Singapura, dan Malaysia.

0 komentar:

Posting Komentar