Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

SUARA HARMONI DARI MASJID-GEREJA BERTETANGGA

Written By Unknown on Minggu, 24 Agustus 2014 | 23.33

gereja-dan-masjid-di-solo-ini-satu-halaman-dan-satu-dinding.jpgCatatan Edy Supriatna - Dalam prespektif musik, harmoni dapat didefinisikan sebagai pernyataan keselarasan, keserasian antara bunyi-bunyi instrumen musik yang tercipta menjadi satu kesatuan gerak yang seimbang ketika diperdengarkan sehingga dapat menggugah jiwa karena keterpaduan rasa dan suara.

           Para pemusik tentu ada yang sepakat bahwa nada adalah suatu jenis unsur suprasegmental, yang ditandai oleh tinggi-rendahnya arus-ujaran. Tinggi rendahnya arus-ujaran terjadi karena frekuensi getaran yang berbeda antar segmen.

            Arie Sultan Prasetyo seorang pelatih drumband menulis dalam sebuah laman bahwa bila seseorang berada dalam kesedihan ia akan berbicara dengan nada yang rendah. Sebaliknya bila berada dalam keadaan gembira atau marah, nada tinggilah yang biasanya dipergunakan orang.         

         Suatu perintah atau pertanyaan selalu disertai nada yang khas. Nada dalam ilmu bahasa biasanya dilambangkan dengan angka misalnya /2 3 2/ yang berarti segmen pertama lebih rendah bila dibandingkan dengan segmen kedua, sedangkan segmen ketiga lebih rendah dari segmen kedua.

               Dengan nada yang berbeda, bidang arti yang dimasukinya pun akan berbeda. Pengertian irama/ritme secara sederhana adalah perulangan bunyi-bunyian menurut pola tertentu dalam sebuah lagu. Perulangan bunyi bunyian ini juga menimbulkan keindahan dan membuat sebuah lagu menjadi enak didengar. Irama juga dapat disebut sebagai gerakan berturut secara teratur. Irama keluar dari perasaan seseorang sehubungan dengan apa yang dia rasakan.

             Dalam realitas sosial, harmoni bisa pula dimakai sebagai keseimbangan pergaulan, karena kata dan perbuatan selaras sehingga - baik seorang atau kelompok - satu sama lain saling menghormati karena adanya perbedaan. Rasa dan egois ditekan untuk kepentingan bersama tanpa harus mengorbankan aqidah, apalagi merusaknya, tapi justru sebagai pendorong mendekatkan diri kepada sang Khalik.

            Perbedaan di tengah realitas justru dijadikan motivasi untuk menunaikan syariat agama sebagai diperintahkan Yang Maha Kuasa, Allah. Ibarat dalam rumah tangga, seluruh anggota keluarga saling menghormati yang bermuara pada Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah.

             Perbedaan adalah sunatullah, suatu keniscayaan dan sebagai rahmat di permukaan bumi. Tak ada manusia yang mampu ingin lahir dari seorang ratu atau dari keluarga keturunan ayah sebagai penguasa. Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan; dilengkapi dengan mozaik "warna-warni" sehingga indah dipandang manusia karena semua itu merupakan karya Allah Yang Maha Agung, Penguasa Jagat Raya dan Maha Berkehendak.

            Atas karunia keindahan itu, takmir Masjid Al Hikmah H. Nasir AB - sebagai tetangga terdekat Gereja Kristen Jawa Joyodiningrat, memaknai perbedaan sebagai kewajiban manusia untuk memelihara dan mempercantik seluruh isi bumi dan segala isinya. "Manusia dilarang keras berbuat kerusakan di atas permukaan bumi. Apa lagi untuk berperang, karena setetes darah dari yang jatuh di permukaan tanah dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah," katanya.
    
Hikmah dan GKJ 60 tahun

        Sudah 60 tahun Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningrat dan Masjid Al Hikmah di Jalan Gatot Subroto Nomor. 222, kampung Joyodiningratan, Kratonan, Serengan, Solo berdiri berdampingan. Kedua rumah ibadah ini menggunakan alamat yang sama dengan dipisah tembok bangunan tidak terlalu tinggi, cerita Nasir yang dijumpai sebelum sholat Jumat (22/8).

          Sebelumnya Pendeta Nunung Istining Hyang STh - sebagai pimpinan di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan - ketika dijumpai penulis, Kamis (21/8) siang -, menyatakan bahwa mendengarkan suara azan pada saat khotbah sudah menjadi hal biasa. Begitu juga bagi jemaah masjid, mendengar paduan suara dari gereja juga sudah biasa. Mereka membangun harmoni cinta dengan "suara" komunikasi saling menghargai.

          Masjid Al Hikmah dibangun tahun 1947 di atas lahan seluas 160 meter persegi milik Haji Ahmad Zaini. Seluruh bangunan masjid luasnya 320 meter persegi. Sedangkan GKJ dibangun tahun 1929, memiliki luas 1.300 meter persegi dengan sertifikat hak gereja. Umat Kristiani yang aktif di gereja tersebut sebanyak 700 orang.

          Sebelum masjid didirikan, kata Nasir, pemilik tanah Ahmad Zaini membentuk panitia pembangunan mushola. Lantas, setelah panitia terbentuk, panitia mendatangi pengurus gereja minta izin untuk mendirikan rumah ibadah di sebelah gereja tersebut. "Sambutan pihak gereja bagus. Mendorong dan membantu," ceritanya.

          "Dulu, awalnya bangunannya berupa mushola. Baru pada tahun 1960-an, bangunan mushola diubah dan ditingkatkan menjadi masjid," tutur Nasir.

           Pemimpin di gereja maupun pengurus masjid boleh berganti-ganti lantaran tututan perjalanan waktu. Tapi, kedua rumah ibadah ini tetap berdiri tegak dan umat dari kedua belah pihak dapat menjalankan ritual-ritual keagamaan hingga sekarang.

            Nasir bercerita, ketika Idul Fitri jatuh pada hari Minggu, untuk menghormati umat yang mengikuti shalat Id di masjid Al Hikmah, pihak GKJ meniadakan kebaktian pagi hari.

            Jika perayaan natal berlangsung, biasanya urusan parkir kendaraan dari jemaat gereja dibantu pemuda masjid. Bahkan, ketika seorang pendeta di GKJ Joyodiningratan meninggal, pengurus masjid Al Hikmah menyediakan tempat parkir di sekitar masjid.

           Baik Nasir dan Nunung, suasana harmoni tersebut tercipta lantaran kedua pihak memiliki kemauan kuat mempertahankan komunikasi. Dengan cara itu, umat yang beribadah di lokasi tersebut paham betul bagaimana menyikapi satu sama lain dengan menjunjung tinggi rasa hormat.

           Sebagai ungkapan harmoninya dua pemeluk agama dalam menjalankan ibadah, pengurus masjid Al Hikmah dan GKJ Joyodiningratan membangun tugu lilin yang didirikan persis di antara tembok gereja dan masjid. Tugu itu dibuat sebagai komitmen kuat pihak masjid dan gereja untuk selalu menjaga hubungan baik.

           Tugu itu jangan dimaknai sebagai simbol agama, pinta Nasir kepada penulis, tapi memang sebagai  simbol upaya melestarikan dan memelihara harmoni dari kedua belah pihak.

           Nasir mengaku setiap kali melihatnya tugu lilin selalu teringat bahwa bapak ibunya dulu telah membangun fondasi hubungan yang baik. Jangan sampai itu rusak dalam sekejap. Hubungan seperti ini sangat bagus dan indah.

            Takmir Masjid Al Hikmah itu bercerita pula bahwa ayahnya, Abu Bakar, adalah salah satu yang terlibat dalam kesepakatan menjaga hubungan harmonis antara gereja dan masjid. "Waktu masjid mau ditingkat, kami menyampaikan dan minta izin ke pendeta. Begitu juga sebaliknya, saat gereja mau ditingkat, mereka datang dan minta izin ke sini," sebut Nasir.

           Suasana harmoni yang tercipta bukan berarti tanpa godaan. Ia mengaku pernah ada usaha provokasi dari pihak luar. Namun, latar belakang dan sejarah hubungan keduanya yang sudah terjalin baik sedemikian lama menjadi penangkal hasutan tersebut.

           Peran kedua umat di situ juga sangat positif. Tatkala terjadi bencana gempa di Yogyakarta, pihak masjid dan gereja mengumpulkan dana bantuan dalam berbagai bentuk yang bisa dimanfaatkan, yang kemudian dibagikan oleh para jamaah masjid untuk para korban bencana.

           Tapi untuk urusan pelaksanaan ibadah, jamaah tetep sendiri-sendiri sesuai dengan ajarannya masing-masing dan hingga saat ini saling menghormati satu sama lain.

            Ia menjelaskan pula bahwa untuk pembangunan masjid ini bisa sampai megah karena amalan jariyah dari seorang dermawan bernama H. Makdum. Masyarakat Solo khususnya jamaah kedua tempat ibadah itu, cara berfikirnya sudah sangat dewasa. Keduanya sudah sangat mengerti batasan-batasan toleransi agama masing-masing.

0 komentar:

Posting Komentar