Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

CIUM TANGAN GURU, IKATAN BATIN MURID-GURU

Written By Unknown on Minggu, 16 Agustus 2015 | 07.40

Catatan Edy Supriatna - Suatu pagi di Jalan Budi Oetomo, seorang guru berdiri di pintu gerbang Sekolah Menengah Kejuruan Teknik (SMKT) – yang pada zaman ‘doeloe’ dikenal sebagai STM Boedi Oetomo (Boedoet) – dan nampak satu per satu siswa yang melintas mencium tangan guru bersangkutan.
          Guru bersangkutan nampak bahagia. Ia kerap kali melempar senyum kepada para siswa yang tergopoh-gopoh memasuki halaman sekolah. Para siswa terlihat berseragam necis. Saat siswa tak lagi terlihat datang dan suasana menjadi sepi, guru yang sejak pagi berdiri di pintu gerbang sekolah itu pun beranjar masuk ke dalam.
           Lantas, tak lama kemudian, bel sekolah pun berbunyi sebagai tanda dimulainya aktivitas rutin di sekolah tersebut. Yaitu, proses belajar.
            Menarik kegiatan guru berdiri tiap hari di pintu gerbang sekolah tersebut. Sejatinya kehadirannya di situ bukan untuk diminta agar tangannya dicium para siswa. Tapi sang guru memperhatikan satu per satu siswa yang datang, menjalin komunikasi “batin”.
            Dari bentuk komunikasi – cium tangan – guru dan siswa tertanam pembelajaran memberi hormat kepada orang yang lebih tua. Termasuk bisa melahirkan komunikasi lebih baik lagi antara anak dan orang tua karena sudah dibiasakan menjalin komunikasi dengan cara-cara yang sangat santun.
           STM Boedi Oetomo pada zaman “bahela” sangat dikenal warga Jakarta dengan “warga gelap”. Sering tawuran dan melakukan aksi kekerasannya. Syukur, dan diharapkan seterusnya, aksi negatif dari siswanya tak ada lagi.
           Cium tangan kepada orang yang lebih tua merupakan wujud rasa hormat. Jika bersalaman antarsesama dengan kedudukan setara, bisa pula dimaknai sebagai ungkapan mengucapkan selamat, memberi apresiasi dan membuat persetujuan. Jabat tangan biasa dilakukan pula saat berkenalan dengan orang yang pertama kali dijumpai. 
             Namun jelas, berjabat tangan merupakan niat baik ditujukan kepada pihak yang tangannya dijabat. Secara implisit, jabat tangan mengirimkan isyarat keterbukaan. Kebiasaan itu merupakan wujud komunikasi nonverbal. Secara universal pada beberapa budaya jika dijumpai orang yang menolak jabatan tangan tanpa alasan bisa disebut kurang sopan. Bahkan tak mau memberi maaf atau masih menyimpan rasa permusuhan.

            Sungguh menggembirakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan meminta masyarakat Indonesia merayakan Hari Guru pada 25 November tidak hanya dengan acara seremonial, namun juga melakukan gerakan nyata kunjungi dan cium tangan guru.
          "Untuk merayakan Hari Guru, kami minta seluruh rakyat Indonesia merayakan dengan cara menghormati guru, bukan sekedar upacara seremoni di sekolah-sekolah. Saya tanya, kapan terakhir kita mendatangi SD, SMP dan SMA kita untuk mengucapkan terima kasih?" kata Anies usai peluncuran album "Salam 3 Jari" di RRI Jakarta, Sabtu.
          Anies menilai, jika gerakan itu dapat dilakukan secara massal, maka akan tumbuh kesadaran untuk lebih menghargai profesi guru.
         "Kalau kita bisa dorong masyarakat lakukan itu, datangi guru, cium tangannya, tanya kabarnya, ucapkan terima kasih, bukan hanya lewat lisan atau seremonial, maka kita akan mendadak sadar betapa kita sudah berubah banyak, sedangkan guru kita tetap sama," katanya.
          Anies menyatakan, tidak sependapat jika guru disebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, karena pada kenyataannya setiap orang adalah pembawa jasa-jasa guru.
         "Semua orang yang ada di sini membawa bekas jasa guru. Guru bukan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, tapi dengan tanda jasa," katanya.

          Ia pun memastikan, jika gerakan memuliakan guru terus berlanjut, maka akan menjadi sebuah semangat yang cepat menular. "Memuliakan guru bisa dilakukan siapa saja, tak perlu jadi orang besar. Seandainya kita cuma kerja di bengkel, kalau ada guru, maka dahulukan guru," katanya.
          Dengan gerakan seperti itu, Anies mengatakan, masyarakat tidak akan membebankan kemajuan pendidikan di pundak pemerintah saja. "Yang bergerak jangan hanya pemerintah. Pemerintah tanggung jawabnya melunasi semua urusan mulai dari tunjangan dan lain-lain, tapi menghargai guru harus dimulai dari masyarakat," kata Anies Baswedan.



           Hari Guru Nasional (HGN) ke-69 digelar di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa (24/11/2014). Hadir selaku inspektur upacara, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan.
           Menteri Anies mengucapkan selamat kepada guru-guru yang telah membuat kemajuan bangsa Indonesia. Guru dinilai sebagai hulu dari kemajuan bangsa Indonesia sehingga ia meminta semua elemen menghormati guru. "Izinkan saya sampaikan apresiasi bapak atau ibu yang telah mengemban tugas mulia dan mengabdi dengan hati,"kata Anies.
           Untuk itulah, sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun.
Semoga PGRI, guru, dan bangsa Indonesia tetap jaya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
tidak jarang dari guru-guru mengajar dengan segala keterbatasan sarana.
"Kita harus akui belum tempat guru pada tempat yang seharusnya," ucap Anies.
Anies berpendapat, cara menghormati guru merupakan cerminan suatu bangsa. Masyarakat diminta untuk lebih memuliakan guru dengan berbagai tindakan nyata. Beberapa persoalan guru yang belum tuntas ia janjikan bisa dibenahi.
"Pendidikan harus berjalan dipundak guru adalah wajah masa depan kita,"kata penggagas program "Indonesia Mengajar," itu.
Anies mengatakan, pendidikan merupakan lumbung kemajuan sutu bangsa. Kualitas manusia akan bisa diukur dengan kemajuan pendidikannya.
"Saya ingin mengajak pendidikan bukan semata-mata urusan pemerintah. Saya mengajak Warga Negara Indonesia untuk ikut kerjasama untuk masa depan yang lebih baik," ucap Anies.
Menteri Anies meminta semua pihak bisa berperan aktif memajukan pendidikan. Ia berharap sekolah dijadikan sebagai zona pembentukan karakter baik dengan anak-anak yang baik dan guru yang teladan.
"Selamat meneruskan pengabdian mulia, selamat menginspirasi dan Selamat Hari Guru," ucap Anies.



Sejarah Hari Guru

           PGRI lahir pada 25 November 1945, setelah 100 hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Cikal bakal organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.
            Kusdiyono, pemerhati sosial menulis, bahwa semangat kebangsaan Indonesia telah lama tumbuh di kalangan guru-guru bangsa Indonesia. Organisasi perjuangan huru-guru pribumi pada zaman Belanda berdiri tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB).
             Organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua.
Sejalan dengan keadaan itu maka disamping PGHB berkembang pula organisasi guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan yang lainnya.
                Kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Hasilnya antara lain adalah Kepala HIS yang dulu selalu dijabat orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kesadaran. Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak “merdeka.”
                Pada tahun 1932 nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya, kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia.
                Pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitas.
Semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta. Melalaui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah – guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.   
             Di dalam kongres inilah, pada tanggal 25 November 1945 – seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.
              Dengan semangat pekik “merdeka” yang bertalu-talu, di tangan bau mesiu pemboman oleh tentara Inggris atas studio RRI Surakarta, mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan :
1. Memepertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia;
2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan;
3. Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.
              Sejak Kongres Guru Indonesia itulah, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Jiwa pengabdian, tekad perjuangan dan semangat persatuan dan kesatuan PGRI yang dimiliki secara historis terus dipupuk dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan negara kesatuan republik Indonesia. Dalam rona dan dinamika politik yang sangat dinamis, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tetap setia dalam pengabdiannya sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan, yang bersifat unitaristik, independen, dan tidak berpolitik praktis.

               Untuk itulah, sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun.
Semoga PGRI, guru, dan bangsa Indonesia tetap jaya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
tidak jarang dari guru-guru mengajar dengan segala keterbatasan sarana.
"Kita harus akui belum tempat guru pada tempat yang seharusnya," ucap Anies.
Anies berpendapat, cara menghormati guru merupakan cerminan suatu bangsa. Masyarakat diminta untuk lebih memuliakan guru dengan berbagai tindakan nyata. Beberapa persoalan guru yang belum tuntas ia janjikan bisa dibenahi.
"Pendidikan harus berjalan dipundak guru adalah wajah masa depan kita,"kata penggagas program "Indonesia Mengajar," itu.
Anies mengatakan, pendidikan merupakan lumbung kemajuan sutu bangsa. Kualitas manusia akan bisa diukur dengan kemajuan pendidikannya.
"Saya ingin mengajak pendidikan bukan semata-mata urusan pemerintah. Saya mengajak Warga Negara Indonesia untuk ikut kerjasama untuk masa depan yang lebih baik," ucap Anies.
Menteri Anies meminta semua pihak bisa berperan aktif memajukan pendidikan. Ia berharap sekolah dijadikan sebagai zona pembentukan karakter baik dengan anak-anak yang baik dan guru yang teladan.

"Selamat meneruskan pengabdian mulia, selamat menginspirasi dan Selamat Hari Guru," ucap Anies.

0 komentar:

Posting Komentar