Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

KEMENAG: PEGANG TOLERANSI DALAM PERBEDAAN IDUL ADHA

Written By Unknown on Minggu, 16 Agustus 2015 | 05.55

Catatan Edy Supriatna - Kementerian Agama (Kemenag) mengimbau kepada seluruh umat untuk tetap memegang teguh Ukhuwah Islamiah, toleransi beragama, dan tetap saling menghormati keyakinan dalam perbedaan Idul Adha, sehingga kekhusyukan ibadah pada bulan Zulhijjah tetap terjaga.
         Imbauan itu disampaikan Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag Muchtar Ali di Jakarta, Senin, yang didampingi Sekretaris Ditjen Bimas Islam Muhammadiyah Amin dan Cecep Nurwendaya dari Planetarium dan Observatorium Jakarta yang juga anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI.
         Sebelumnya, ada perbedaan dalam penetapan awal Zulhijjah. Ormas Islam Muhammadiyah menetapkan Idul Adha pada 4 Oktober 2014, sedangkan Pemerintah melalui sidang Itsbat (yang dilakukan pada 24 September 2014) menetapkan 1 Zulhijjah 1435 H jatuh pada hari Jumat, 26 September 2014 dan 10 Zulhijjah 1435 H (Idul Adha) bertepatan dengan tanggal 5 Oktober 2014. Artinya, Idul Adha pada 5 Oktober 2014.
         Cecep juga menyebutkan bahwa hasil perhitungan yang dihimpun Tim Hisab Rukyat Kemenag dari berbagai sistem hisab sepakat bahwa ijtimak menjelang awal bulan Zulhijjah terjadi pada hari Rabu, 24 September 2014 M bertepatan dengan 29 Zulkadah 1435 H pada jam 13:15 WIB. Saat matahari terbenam pada tanggal tersebut, posisi hilal di seluruh Indonesia pada ketinggian antara -0.5 derajat (minus 0 koma 5 derajat) sampai +0.5 derajat (0 koma 5 derajat).
         Pada hari rukyat Rabu, 29 Zulqadah 1435 H/24 September 2014 M, ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia di bawah batas Imkanur Rukyat. Berdasarkan hasil laporan pelaksanaan Rukyatul Hilal di seluruh Indonesia hilal tidak terlihat.
         Muchtar Ali menegaskan penetapan 1 Zulhijjah 1435 H yang ditetapkan pemerintah juga sesuai kesepakatan negara Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura dalam Mudzakarah Rukyat dan Takwim Islam Negara MABIMS tanggal 21 sampai 23 Mei 2014 di Jakarta dan Hasil Temu Karya dari para pakar Hisab Ruykyat dan Astronomi tanggal 22 September 2014 di Jakarta.
         Sementara itu, Arab Saudi mempunyai acuan penanggalan berdasarkan kalender Ummul Quro, dalam situs resmiya tertulis tanggal 1 Zulhijjah bertepatan dengan tanggal 25 September 2014.
          Mahkamah Ulya Saudi menetapkan berdasarkan laporan terlihatnya hilal di Arab Saudi bahwa 1 Zulhijjah bertepatan dengan tanggal 25 September 2014 sehingga Idul Adha (10 Zulhijjah) jatuh pada 4 Oktober 2014.
         Ia menegaskan perbedaan penetapan pemerintah Indonesia dan Saudi adalah sesuatu yang bisa saja terjadi disebabkan perbedaan matla (wilayah hukmi).
         "Itu sesuai dengan penegasan MUI bahwa penetapan awal Zulhijjah/Idul Adha berlaku dengan matla masing-masing negara. Dalam hal ini ulama telah konsesus. Indonesia dalam melaksanakan Idul Adha tidak dibenarkan mengikuti negara lain yang berbeda matla," katanya.  



MENAG: MADRASAH KINI JADI "TRENDSETTER"
     Oleh Edy Supriatna Sjafei

        Wonosobo, 22/9 (Antara) - Mentri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, pesantren dan madrasah kini mampu tampil percaya diri dalam melakukan perubahan-perubahan, bahkan menjadi "trendsetter" bukan "follower".
             Madrasah kini telah menjadi pengendali "trend", bukan sekedar pengikut bagi model pendidikan di Indonesia, kata Lukman Hakim ketika melaunching Madrasah Al Hikam Cendekia Wonosobo, Jawa Tengah, Senin (22/9) siang.
            Hadir dalam kesempatan itu Direktur Pendidikan Madrasah Nur Kholis Setiawan, Kakanwil Kemenag Prov. Jateng Khaeruddin, Kanwil Kemenag Prov DIY Maskhul Haji, Pimpinan Pondok Pesantren KH Mahmud Ismail, Wakil Bupati wonosobo Maya Rosyida dan sejumlah pejabat setempat, para ulama dan tokoh masyarakat.
             Ia berharap, inovasi dan keunggulan yang dimiliki pesantren dan madrasah harus tetap dijaga. Bahkan harus ditingkatkan. Dan pendirian madrasah di dalam lingkungan pesantren Al Hikam Wonowobo, ia mengingatkan, tidak boleh melarutkan kemampuan khas pesantren. Yaitu, membaca kitab kuning dan budaya pesantren dengan figur sang kiayi.
            Ia menyebut, walaupun setiap hari santri bisa mendengar dan menonton kiayi di pesantren atau kuliah seorang guru besar terbaik yang di-download dari internet, santri tidak bisa men-download suasana belajar yang dibentuk atau terbentuk di dalamnya.
            Suasana kehidupan pesantren tidak semua orang dapat secara tiba-tiba dapat mentransfernya. Sebab, di sini membutuhkan usaha yang luar biasa, termasuk menciptakan budaya bagi komunitas di dalamnya yang "committed" dengan dunia keilmuan.
           Ia mengatakan, kemajuan pendidikan madrasah dan pesantren ditandai dengan para alumninya yang sukses dan mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Melalui pemberian bea siswa santri berprestasi, hasil nyata sudah terlihat. Dengan bea siswa yang diterima, banyak di antaranya melanjutkan pendidikan ke luar negeri.
          Fakta ini merupakan upaya menepis tuduhan bahwa ikut pendidikan di madrasah akan masuk jurang "madesu" atau masa depan suram. Padahal belajar di madrasah dan pondok pesantren dapat memiliki ilmu agama yang bagus, moderat dan progresif dan kedalaman ilmu umum pada saat bersamaan.
           Dengan cara ini, ia menegaskan, diharapkan lahir kiayi haji yang ahli biotelnologi, ahli fisika modern, atau fasih berbicara manajemen dan akhirnya mengharumkan agamadi dunia internasional.
          Sebelumnya Menag Lukman menjelaskan bahwa bangsa Indonesia harus bangga dengan adanya pesantren, yang merupakan "rahim" lahirnya madrasah, bahkan perguruan tinggi. Kini pendidikan tersebut mengalami kebangkitan dengan ditandai bahwa pendidikan berbasis agama menjadi incaran, tumpuan masyarakat agar terbentuk generasi muslim yang memiliki karakter unggul, kemampuan ilmu yang kombinatif; agama dan umum secara bersamaan.

          Jika dulu pendidikan agama Islam seperti identik dengan keterbelakangan, statis dan jauh dari dinamis, saat ini persepsi seperti itu sudah berubah. Pesatnya penidikan di madrasah dan pesantren menjadi simbol kemajuan sistem pendidikan, yang mampu mengintegrasikan iman, taqwa, dan ilmu pengetahuan. Atau dengan sebutan lain integrasi Islam dan "sciences", kata Lukman Hakim. ***3***

0 komentar:

Posting Komentar