Catatan Edy Supriatna - Bandung,
18/7 (Antara) - Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers Muhammad Ridlo Eisy
menyarankan bahwa pembahasan yang mendasar tentang agama dilakukan dengan
mengedepankan kehati-hatian, dan sebaiknya dilakukan di tempat serta media
khusus.
Tempat umum dan media umum hendaknya dapat digunakan untuk menyampaikan hal-hal
yang non-kontroversial, katanya ketika bericara di hadapan para wartawan dari
berbagai media pada "Workshops peningkatan peran jurnalis dalam
pengelolaan kerukunan antarumat beragama di Indonesia", di Bandung, Jabar,
Jumat.
Dalam
pemilihan tempat ini, Ridlo Eisy tidak menentukan kriteria yang pas. Tapi untuk
pembahasan seperti fikih - dalam agama Islam - bisa saja dilakukan di tempat
umum. Namun, jika sudah masuk ranah tasauf bisa dilakukan ditempat khusus.
Terkait dengan pemilihan tempat itu untuk acara keagamaan, ia minta harus
dilakukan hati-hati pula. Pasalnya, jika media elektronik seperti televisi yang
digunakan, terlebih saat siaran langsung, tanpa disadari pengisi acara
keceplosan sehingga dapat menimbulkan persoalan.
Ia
mengatakan pula, orang boleh bersikap bahwa keyakinan yang dianutnya adalah
yang paling benar. Tapi, jangan paksakan kebenaran yang diyakini kepada orang
lain, apalagi yang berbeda keyakinan dengannya.
Apa
jadinya kalau pemaksaan dan penghancuran kelompok yang tidak sama dengan keyakinan
suatu kelompok dibiarkan? Perang? Penindasan? Lantas, siapa yang menjadi
pencegah konflik agama ini. Jawabnya, negara.
Muhammad Ridlo Eisy mengingatkan kalangan pers atau wartawan hendaknya dapat
bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak
beritikad buruk.
Selain itu, tuturnya, wartawan pun harus menguji informasi, memberitakan secara
seimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan
asas praduga tak bersalah.
Di
sisi lain ia pun mengimbau agar wartawan tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskiriminatif terhadap seseorang atas dasar
perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin dan bahasa serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Tegasnya, kata dia, prasaka di sini adalah anggapan yang kurang baik mengenai
sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. Diskriminatif adalah perbedaan
perlakuan.
0 komentar:
Posting Komentar