Catatan Edy Supriatna - Usai Idul Fitri, Bang Dullah, orang Betawi
"tulen" sudah menyibukan diri menyelesaikan puasa sunah enam hari
yang diyakininya bahwa ibadah saum tersebut bakal meraih pahala satu tahun
lamanya, suatu ibadah tak kurang dari sepekan namun dapat ganjaran dari Allah
selama setahun. Dullah juga yakin dengan berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah,
selain makin menguatkan iman Islam juga akan mudah dikabul Allah segala
permohonannya. Terlebih, Dullah akan segera menunaikan ibadah haji pada musim
haji 1435 H/2014 M. Jadi, sangat wajar, dengan mengumpulkan uang untuk berhaji
dari hasil keuntungan berdagang sayur di Pasar Induk Kramat Jati, berharap
dapat memudahkan dirinya untuk melaksanakan ibadah penting tersebut.
Selain puasa, pada hari-hari berikutnya menjelang keberangkatannya pergi
haji, pedagang sayur beranak tiga itu juga rajin melaksanakan shalat lima
waktu. Tatkala waktu shalat tiba, meski ia tengah melakukan transaksi dagang,
Dullah cepat-cepat pergi ke mushola terdekat untuk shalat berjamaah.
Dullah tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Selain itu, ia pun
banyak mengucapkan istigfar. Kalimat istigfar memang pendek. Tapi, kandungan
fadilahnya sungguh besar. Karena itu, Dullah yakin dengan ayat yang menegaskan
bahwa “Barang siapa memperbanyak istighfar, maka akan diberi kelapangan dalam
setiap kesusahan dan jalan keluar dari kesempitan. Dan dianugerahi rezeki dari
jalan yang tiada disangka-sangka.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
“Sungguh hatiku didera kerinduan
yang sangat dalam, sehingga aku beristighfar seratus kali setiap hari.” (HR.
Muslim).
Belakangan ini Dullah pun tampil beda. Ia selalu mengenakan pakaian koko
bersih, meski banyak bergelut dengan sayuran di pusat perbelanjaan sayuran
terbesar di Jakarta itu. Alasan mengenakan pakaian bersih, katanya, agar ketika
memasuki waktu shalat dirinya tak merasa sulit untuk beribadah, khususnya
shalat lima waktu.
Kebersihan, katanya, sebagian dari iman. Meski pakaian yang dikenakan
tak terlalu bagus, bersih itu amat penting. Utamanya lagi menjaga kebersihan
hati sepanjang hari.
Dengan cara itu, ia pun kini merasa lega dalam melaksanakan usahanya.
Tidak merasa takut untuk rugi, apalagi setelah amal zariahnya ditingkatkan
menjelang keberangkatannya ke Tanah Suci. Lagi-lagi ia merasa yakin, jika
banyak beramal - utamanya kepada anak yatim - selain usahanya dijaga Allah juga
segala usahanya mendapat perlindungan.
Kesibunan dan Walimatussafar
Di tengah kesibukan menjalankan bisnis sayur-sayuran, Dullah belakangan
ini juga disibukkan dengan kegiatan walimatussafar. Memaski musim haji 1435
H/2014 M, tepatnya pada awal September, banyak warga Betawi -- termasuk pula di
daerah lainnya di Indonesia -- melaksanakan walimatussafar. Suatu kegiatan yang
sudah mentradisi di lingkungan masyarakat Betawi dan sebagian umat Muslim di
Tanah Air.
"Hampir tiap malam Dullah bersama sang bini (isteri, red)
bertandang ke tempat keriaan (hajatan) walimatussafar. Malam ini di rumah si
polan, besok malam ke rumah besan. Lusa, datengin (kunjungi) mamang (om) di
kampung Ceger, Jakarta Timur," kata Manaf, anak dari Dullah bercerita
tentang kesibukan orangtuanya belakangan ini.
Di tempat penyelenggara walimatussafar, biasanya banyak ustadz kesohor
di kampung diundang. Tak ketinggalan juga ketua erte dan erwe yang datang
sekaligus ditunjuk sebagai pemandu acara jalannya acara walimatussafar. Pada
acara itu, tampil ustadz memberikan wejangan kepada tuan rumah yang akan
menunaikan ibadah haji.
Panjang lebar ayat Al Quran dan sunnah
dibeberkan sang ustadz, khususnya yang berkaitan erat dengan pelaksanaan ritual
haji. Mulai agar jemaah menjaga kesehatan, mengenakan masker selama di Tanah
Suci agar tak terjangkut virus ebola. Juga virus lainnya seperti MERS CoV yang
kini juga masih menjadi perhatian penting. WHO secara periodik mengumumkan
kasus baru MERS CoV dan ebola di Arab Saudi.
Para dai juga selalu imbauan untuk
memperhatikan ayat-ayat yang harus dibaca agar memperoleh haji mabrur. Bagian
apa saja yang masuk sunnah dan rukun haji, hendaknya harus dipahami sebagaimana
ditegaskan ketika melaksanakan manasik haji. Saking panjangnya penjelasan sang
ustadz, biasanya bagi orang yang hampir tiap malam ikut walimatussafar merasa
bosan.
Ada warga yang menyengaja mengambil posisi duduk dekat pintu rumah tuan
rumah. Ia terlihat ngantuk. Ada pula yang duduk sila di bagian halaman luar,
santai mendengarkan celoteh ustadz sambil merokok. "Ngalor-ngidul ceramah
ustadz nggak dipeduliin. Pokoknya, hadir. Setor muka sama tuan rumah," Dullah
berkicau seusah menghadiri walimatussafar di kediaman tetangganya.
Dullah sendiri juga berencana akan
menggelar acara serupa menjelang keberangkatannya ke Tanah Suci, kira-kira
pekan pertama September nanti. Maklum, keberangkatannya bersama rombongan
kelompok terbang (Kloter) diperkirakan pada September.
Tentang seberapa penting walimatussafar itu, bagi Dullah jelas sangat
penting. Walimatussafar bukan sekedar sebagai ajang silaturahim semata, tetapi
juga ungkapan syukur kepada Allah bahwa dirinya memperoleh kesempatan
menunaikan ibadah haji. Melaksanakan ibadah ini sekarang merupakan barang
"mahal". Bukan sekedar pengorbanan uang, juga harus memiliki
kesehatan prima.
"Sehat dan punya uang saja tidak cukup. Juga harus sabar menunggu, karena
harus antri cukup lama. Ada daerah antri sampai 17 tahun," kata Dullah
menirukan cerita dari pegawai Kantro Kementerian Agama di Jakarta. Jadi, selain
itu juga, meminta doa anggota keluarga dan warga sekitar.
"Kite kudu (harus, red) sabar. Sehat dan punya uang emang penting.
Penting lagi, doa orang-orang sekitar kite," kata Dullah didampingi
isterinya, Romlah yang juga akan menunaikan ibadah haji.
Rencana Dullah menggelar walimatussafar sedikit terganggu. Pasalnya, ia
dengar cerita dari tetangga sebelah, walimatussafar tak dikenal di zaman
Rasulluah. Nabi Muhammad SAW ketika meninaikan ibadah haji tak pernah
melaksanakan acara dimaksud. Mendengar penjelasan Dullah tentang tidak
pentingnya walimatussafar, Romlah memarahi suaminya. Akhirnya, Dullah pun
mengagendakan acara walimatussafar pada Kamis malam.
"Kite acarakan malam Jumat aje," sambut Dullah sambil
menimpali cerewet Romlah dari dapur rumahnya.
Dari sisi historis, walimatussafar sudah
lama dikenal masyarakat Indonesia. Seperti diungkap dalam laman Nahdlatul Ulama
(NU). Umat muslim dalam ibadah selalu diperlengkapi dengan berbagai macam
tindakan yang menunjang ibadah itu sendiri, yang selanjutnya di kenal dengan
tradisi.
Sebagian banyak tradisi tersebut merupakan hasil dari keterpengaruhan
antara budaya lokal dengan Islam. Maka dikenal istilah ngabuburit, kultum,
kolak, buka puasa bersama, mudik dan lain sebagainya di sekitar puasa. Dikenal
pula tahlilan, talqin, tujuh hari dan seterusnya dalam tradisi kematian.
Juga halnya dengan walimatussafar bagi ibadah haji yang hingga kini
masih kuat berakar di masyarakat. Hal ini merupakan karakter Islam Indonesia
yang tidak dimiliki oleh Islam yang lain. Tradisi ini tidak muncul begitu saja,
tapi memiliki sejarah panjang. Sejarah itu menunjukkan bahwa berbagai tradisi
tersebut dilahirkan melalui pemikiran yang dalam oleh para kyai dan ulama
pendahulu melalui berbagai pertimbangan soiologis.
Apa yang dilakukan para ulam terdahulu
ini, bukanlah sekedar istinbath al-hukmi tetapi menciptakan lahan ibadah
tersendiri yang dapat diisi dan dipenuhi dengan pahala bagi yang
menjalankannya.
Di tengah gelombang globalisasi dan
modernisasi, tradisi semacam ini haruslah dijaga untuk membentengi masyarakat
dari individualism yang akut. Akan tetapi di kemudian hari, mereka yang tidak
tahu dan tidak mau belajar sejarah menggugat beberapa tradisi itu dengan
menganggapnya sebagai hal bid’ah, bahkan menghukumi para pelakunya sebagai
pendosa. Naudzubillah min dzalik.
0 komentar:
Posting Komentar