Catatan Edy Supriatna -Cikarang, Jabar (SINHAT) -- Tim Media Center Haji
(MCH) Arab Saudi sudah terbentuk. Sebanyak 27 wartawan yang memperkuat tim MCH
sudah mengikuti pelatihan yang waktu dan pelaksanaannya digabung bersama para
petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi 1433 H/2012 M.
Jumlah
tenaga PPIH Arab Saudi sekitar 800 orang. Jumlah sebanyak itu berasal dari
Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan yang proses rekrutmennya
berlangsung ketat dan cukup lama. Sementara untuk tenaga MCH diambil dari
beberapa wartawan media cetak dan elektronik.
Petugas
haji di Arab Saudi terbagi dalam berbagai tim. Ada tim pelayanan kesehatan, tim
keamanan, tim pelayanan ibadah dan pelayanan publikasi yakni MCH. Mereka akan
menjalankan tugas selama kurang lebih 72 hari (sekitar tiga bulan) dengan tugas
masing-masing bidang pelayanan.
Khusus
untuk tim MCH, pelatihan masih harus ditingkatkan lagi. Pada awal September
2012, tepatnya 6-8 September di Cikarang, Jawa Barat, akan menjalani pelatihan
tersendiri. Para petugas haji ini akan diberi pembekalan lagi yang diberikan
sejumlah pejabat Kementerian Agama. Di antara materi yang akan disampaikan
berupa kebijakan penyelenggaraan haji 1433 H/2012 M, persiapan opersional haji,
peningkatan pelayanan ibadah haji di Arab Saudi, penjelasan kondisi lapangan di
Arab Saudi dan rencana kerja operasional MCH.
Ketika
ikut pelatihan bersama petugas lain, di Asrama Haji Pondok Gede, tim MCH
memperoleh pengetahuan secara umum, seperti bidang manasik haji, penanganan
kesehatan dan pengenalan medan di Arab Saudi.
Kekhususan
Seperti
juga pada tahun-tahun sebelumnya, pelatihan tambahan secara khusus bagi anggota
MCH Arab Saudi dilakukan secara terpisah. Hal itu disebabkan peran dari MCH
memiliki kekhususan pula. Disebut demikian lantaran bidang liputannya berbeda
dengan kegiatan seperti multi event, seperti SEA Games, Asian Games atau pun
Olimpiade. Bahkan berbeda jauh ketika wartawan meliput kegiatan akbar lain,
seperti konferensi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) atau Kerja
sama Ekonomi Asia Pasifik.
Pada
kegiatan liputan akbar seperti itu para jurnalis dari berbagai media asing tak
perlu repot. Para jurnalis yang datang dari manca egara cukup ke media center
yang sudah disiapkan Organiser Committee. Wartawan dapat mengirim berita
ke media masing-masing dengan fasilitas pendukungnya: komputer, internet dengan
kecepatan tinggi. Jika beruntung, disiapkan makanan hangat dan kursi pijat
gratis di media center.
Wartawan
dalam peliputan MCH Arab Saudi jangan bermimpi mendapat pelayanan istimewa.
Kedudukannya sama dengan petugas PPIH Arab Saudi lainnya. Mengapa? Ya, karena
hak-haknya yang diterima pun sama. Yang membedakan, profesionalitas yang
dimiliki. Tapi, jangan pula karena jangan berlebihan memaknai profesionalitas
yang diemban wartawan. Pasalnya, tim MCH harus memiliki kebersamaan.
Kebersamaan
senasib dan sepenanggungan. Benar, tiap wartawan memiliki tanggung jawab kepada
tugas-tugas yang dibebankan dari manajemen kantor medianya masing-masing. Namun
dalam menimbang bobot berita layak tidaknya terhadap berita
"sensitif" perlu kebersamaan. Itu baru dari sisi profesionalisme.
Dari
sisi lain, tim MCH--baik yang ditempatkan di Daerah Kerja (Daker) Mekkah,
Madinah dan Jeddahharus kompak. Kekompakan harus dipertahankan sejak awal
tiba di tempat kerja sampai berakhirnya tugas penyelenggaraan ibadah haji.
Kompak
dalam membangun kantor MCH, seperti mengangkat meja dan kursi, menyiapkan
jaringan internet bersama petugas lokal, menyiapkan with board untuk
majalah dinding. Usai pekerjaan itu selesai, dilanjutkan dengan penyiapan
agenda liputan.
Siapa
berbuat apa dan mengapa harus demikian, sudah harus terjawab dalam rapat rutin
yang dipimpin koordinator MCH masing-masing Daker.
Mengingat tugas di tanah suci itu cukup lama, soliditas tim menjadi
sesuatu yang penting.
Di
sini, kinerja profesi wartawan sangat diuji karena menentukan citra profesi
wartawan itu sendiri. Tak mustahil dalam kurun waktu tiga bulan banyak
persoalan harus dipecahkan bersama. Jika semua persoalan yang muncul baik
pribadi maupun ketika bertugas menjadi tantangan serius tidak disikapi dengan
rasa ikhlas, tak mustahil kabar tersebut sampai ke media masing-masing di tanah
air.
Dari
pengalaman tahun-tahun sebelumnya, persoalan itu muncul lantaran rasa keakuan
dalam menyikapi persoalan yang ada.
Hal
itu bisa terjadi karena pemahaman dan rasa ingin menang sendiri. Sering
terjadi tim MCH terpecah dalam menyikapi liputan pasca wukuf, apakah harus
mengambil nafar awal atau sani. Biasanya sebelum berangkat ke Arafah sudah
saling berdebat, mana yang paling sah atau afdhol dalam berhaji: nafar awal
atau sani.
Belum
lagi ketika hendak ke Mekkah usai wukuf. Di dalam bus, sesama rekan tak
mustahil "dengan dilatarbelakangi watak individu masing-masing"
terlontar celoteh tak mengenakkan yang bisa berakibat memancing emosi rekan
lainnya. Terlebih saat itu tiap wartawan dituntut untuk melaporkan suasana
jalannya pasca wukuf dari kantor masing-masing, sementara diri sendiri sudah
merasa kelelahan. Rasa lelah itu tak hanya dialami wartawan, juga seluruh
petugas PPIH dan jemaah haji dari seluruh dunia. Mereka berlomba ingin
menyempurnakan haji dan mendapatkan rido Allah.
Koordinasi MCH
Peliputan
haji sampai saat ini idelanya memang tetap berada dalam koordinasi MCH Arab
Saudi. Kalaupun ada wartawan "nyelonong" sendiri meliput, persoalan
akan timbul jika yang bersangkutan ditangkap polisi (askar) setempat. Sebab,
tak semua tempat dapat diambil gambarnya. Berbeda dengan tim MCH, jika
menghadapi persoalan seperti itu, tim PPIH Arab Saudi akan mengirim petugasnya
untuk membebaskan anggota MCH.
Lagi
pula, pemerintah Arab Saudi -selama musim haji-tak pernah mengeluarkan izin
bagi wartawan masuk ke negeri "petro dollar" itu hanya untuk meliput
jalannya ritual haji. Dan, karena itu, Indonesia memasukkan tim MCH sebagai
bagian dari PPIH Arab Saudi.
Untuk
suksesnya peliputan haji, tim MCH harus kompak atau solid. Karena itu,
keangkuhan intelektual di kalangan wartawan harus dihilangkan. Sebab, tatkala
meliput tak ada status senior dan yunior. Kompetisi mendapatkan berita
eksklusif, lebih hebat dan sebagainya jika tak dikoordinasikan atau konfirmasi
dengan petugas PPIH lainnya tak mustahil bisa memunculkan kerugian bagi semua
pihak.
Liputan
haji memang seksi, punya daya pikat tersendiri. Tapi, juga unik karena
perlu kehati-hatian karena ritual haji mencakup Habluminallah dan
Habluminannas, hubungan manusia dengan Allah dan hubungan sesama manusia.
Pusat
informasi haji atau MCH, memang harus menjadi tempat mencari informasi dan
klarifikasi. Karena itu, ke depan, sudah harus dipikirkan MCH harus memiliki
struktur tegas, tidak lagi hanya berada di bawah Kasubdit. Sebab, beban
pekerjaannya demikian besar. MCH ke depan harus nempel atau berada di Kantor
Tekhnis Urusan Haji (TUH) Arsb Saudi.
Eksistensi
MCH yang bekerja sepanjang tahun itu harus jelas dan segera diusulkan ke para
pemangku kepentingan. MCH harus hadir secara permanen dan distrukturkan.
Siapa
yang duduk di MCH itu, menurut praktisi pers Parni Hadi, adalah orang birokrat
berpengalaman, wartawan yang memahami perhajian dan kalangan profesional
lainnya. Dengan demikian, informasi haji akan mengalir terus sepanjang tahun
sejalan dengan tuntutan masyarakat.
Kegiatan nasional
Penyelenggaraan
ibadah haji merupakan kegiatan nasional dan melibatkan banyak orang. Berhasil
tidaknya, tergantung dari pelaksanaan haji itu sendiri juga pemberitaan
medianya. Namun harus menjunjung tinggi aspek kebenaran tanpa mengabaikan aspek
kritis.
Wartawan
dalam peliputan haji harus menjunjung kebenaran. Bukan semata pada persoalan
kritis atau tidak. Hal ini harus dapat perhatian agar kehadiran MCH dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Karena
itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi pelayanan penyelenggaraan
haji. Antara lain, perlunya ditingkatkatkan perangkat pendukung wartawan dalam
bekerja di MCH, personil yang harus memantau dan mendistribusikan informasi
secara berkesinambungan.
Juga
perlunya kerja sama antaramedia di tanah air dengan media Arab Saudi untuk
memperkuat pendistribusian informasi, baik saat musim haji atau dalam masa
persiapan musim haji.
MCH
dibawah koordinasi Pusat Informasi dan Kehumasan Kementerian Agama memang harus
menerapkan strategi komunikasi dan kehumasan yang jitu. Hal ini erat kaitannya
dengan banyaknya jemaah haji Indonesia yang mencapai 221 ribu jiwa. Hal ini
adalah sebuah peristiwa kolosal yang tidak mudah mengelolanya.
Penyelenggaraan
ibadah haji bagaikan operasi militer. Rumit dalam penyelenggaraannya. Mulai
cara mengangkut jemaah dalam jumlah besar itu dalam waktu singkat ke Arab
Saudi, menempatkan mereka di sejumlah pondokan, tenda di Arafah dan Mina,
mendistribusikan makan, membimbing wukuf dan tawaf, melempar jumroh, mengobati
yang sakit, menguburkan yang wafat dan mengangkut kembali ke tanah air.
Jika
semua pekerjaan itu tanpa didukung MCH, tanpa wartawan yang mengabarkan setiap
pergerakan penyelenggaraan haji tentu akan banyak kesulitan. MCH memang
bagaikan "embedded reporters" -- yang menempel pada pasukan dalam
operasi militer.
Mereka
mengabarkan dari tempat kejadian, langsung dari tanah suci. Mereka telah
berhasil memenuhi "people ringt to knaw", hak masyarakat untuk
mengetahui mengenai segala tetek bengek mengenai penyelenggaraan haji.
Di
sini, para wartawan seolah melakukan investigative reporting. Sebuah laporan
yang bertujuan mulia, guna memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (people
right to know) dari apa yang dirahasiakan oleh pihak-pihak lain yang merugikan
kepentingan umum.
Cara
liputan seperti itu mirip-mirip dengan liputan wartawan pada operasi terpadu
pemulihan Aceh yang disiarkan serentak oleh media massa nasional. Di beberapa
televisi malah disiarkan secara live, dari wilayah konflik di Aceh.
Di
saat berlaku Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, para wartawan yang meliput
penyerbuan pasukan-pasukan TNI ke lokasi-lokasi yang dianggap dikuasai oleh Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) adalah para wartawan yang beberapa minggu sebelumnya telah
mengikuti penataran kemiliteran di pusat latihan militer milik Kostrad di
Gunung Sanggabuana, Jawa Barat.
Di
situ, para wartawan media Jakarta itu, kemudian di-embeded kepada sejumlah
pasukan TNI yang melakukan operasi di berbagai wilayah di Aceh.
Keberhasilan
MCH harus dipertahankan, yaitu pengiriman berita berjalan lancar. MCH memang
telah mendapat tempat tersendiri sebagai rujukan pemberitaan haji. Liputan
ritual haji dan MCH memang unik, karena para jurnalis melakukannya dengan
ikhlas.
0 komentar:
Posting Komentar