Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

RITUAL HAJI DAN LIPUTAN MCH

Written By Unknown on Kamis, 12 Juni 2014 | 03.28

Catatan Edy Supriatna -Cikarang, Jabar (SINHAT) -- Tim Media Center Haji (MCH) Arab Saudi sudah terbentuk. Sebanyak 27 wartawan yang memperkuat tim MCH sudah mengikuti pelatihan yang waktu dan pelaksanaannya digabung bersama para petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi 1433 H/2012 M.

Jumlah tenaga PPIH Arab Saudi sekitar 800 orang. Jumlah sebanyak itu berasal dari Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan yang proses rekrutmennya berlangsung ketat dan cukup lama. Sementara untuk tenaga MCH diambil dari beberapa wartawan media cetak dan elektronik.

Petugas haji di Arab Saudi terbagi dalam berbagai tim. Ada tim pelayanan kesehatan, tim keamanan, tim pelayanan ibadah dan pelayanan publikasi yakni MCH. Mereka akan menjalankan tugas selama kurang lebih 72 hari (sekitar tiga bulan) dengan tugas masing-masing bidang pelayanan.

Khusus untuk tim MCH, pelatihan masih harus ditingkatkan lagi. Pada awal September 2012, tepatnya 6-8 September di Cikarang, Jawa Barat, akan menjalani pelatihan tersendiri. Para petugas haji ini akan diberi pembekalan lagi yang diberikan sejumlah pejabat Kementerian Agama. Di antara materi yang akan disampaikan berupa kebijakan penyelenggaraan haji 1433 H/2012 M, persiapan opersional haji, peningkatan pelayanan ibadah haji di Arab Saudi, penjelasan kondisi lapangan di Arab Saudi dan rencana kerja operasional MCH.

Ketika ikut pelatihan bersama petugas lain, di Asrama Haji Pondok Gede, tim MCH memperoleh pengetahuan secara umum, seperti bidang manasik haji, penanganan kesehatan dan pengenalan medan di Arab Saudi.   

Kekhususan

Seperti juga pada tahun-tahun sebelumnya, pelatihan tambahan secara khusus bagi anggota MCH Arab Saudi dilakukan secara terpisah. Hal itu disebabkan peran dari MCH memiliki kekhususan pula. Disebut demikian lantaran bidang liputannya berbeda dengan kegiatan seperti multi event, seperti SEA Games, Asian Games atau pun Olimpiade. Bahkan berbeda jauh ketika wartawan meliput kegiatan akbar lain, seperti konferensi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation)  atau Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik.

Pada kegiatan liputan akbar seperti itu para jurnalis dari berbagai media asing tak perlu repot. Para jurnalis yang datang dari manca egara cukup ke media center yang sudah disiapkan  Organiser Committee. Wartawan dapat mengirim berita ke media masing-masing dengan fasilitas pendukungnya: komputer, internet dengan kecepatan tinggi. Jika beruntung, disiapkan makanan hangat dan kursi pijat gratis di media center.
        
Wartawan dalam peliputan MCH Arab Saudi jangan bermimpi mendapat pelayanan istimewa. Kedudukannya sama dengan petugas PPIH Arab Saudi lainnya. Mengapa? Ya, karena hak-haknya yang diterima pun sama. Yang membedakan, profesionalitas yang dimiliki. Tapi, jangan pula karena jangan berlebihan memaknai profesionalitas yang diemban wartawan. Pasalnya, tim MCH harus memiliki kebersamaan.

Kebersamaan senasib dan sepenanggungan. Benar, tiap wartawan memiliki tanggung jawab kepada tugas-tugas yang dibebankan dari manajemen kantor medianya masing-masing. Namun dalam menimbang bobot berita layak tidaknya terhadap berita "sensitif" perlu kebersamaan. Itu baru dari sisi profesionalisme.

Dari sisi lain, tim MCH--baik yang ditempatkan di Daerah Kerja (Daker) Mekkah, Madinah dan Jeddahharus kompak.  Kekompakan harus dipertahankan sejak awal tiba di tempat kerja sampai berakhirnya tugas penyelenggaraan ibadah haji.

Kompak dalam membangun kantor MCH, seperti mengangkat meja dan kursi, menyiapkan jaringan internet bersama petugas lokal,  menyiapkan with board untuk majalah dinding. Usai pekerjaan itu selesai, dilanjutkan dengan penyiapan agenda liputan.

Siapa berbuat apa dan mengapa harus demikian, sudah harus terjawab dalam rapat rutin yang dipimpin koordinator MCH masing-masing Daker.

Mengingat tugas di tanah suci itu cukup lama, soliditas tim menjadi sesuatu yang penting.
Di sini, kinerja profesi wartawan sangat diuji karena menentukan citra profesi wartawan itu sendiri. Tak mustahil dalam kurun waktu tiga bulan banyak persoalan harus dipecahkan bersama. Jika semua persoalan yang muncul baik pribadi maupun ketika bertugas menjadi tantangan serius tidak disikapi dengan rasa ikhlas, tak mustahil kabar tersebut sampai ke media masing-masing di tanah air.

Dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, persoalan itu muncul lantaran rasa keakuan dalam menyikapi persoalan yang ada.

Hal itu bisa terjadi karena pemahaman dan rasa ingin menang sendiri.  Sering terjadi tim MCH terpecah dalam menyikapi liputan pasca wukuf, apakah harus mengambil nafar awal atau sani. Biasanya sebelum berangkat ke Arafah sudah saling berdebat, mana yang paling sah atau afdhol dalam berhaji: nafar awal atau sani.

Belum lagi ketika hendak ke Mekkah usai wukuf.  Di dalam bus, sesama rekan tak mustahil "dengan dilatarbelakangi watak individu masing-masing" terlontar celoteh tak mengenakkan yang bisa berakibat memancing emosi rekan lainnya. Terlebih saat itu tiap wartawan dituntut untuk melaporkan suasana jalannya pasca wukuf dari kantor masing-masing, sementara diri sendiri sudah merasa kelelahan. Rasa lelah itu tak hanya dialami wartawan, juga seluruh petugas PPIH dan jemaah haji dari seluruh dunia. Mereka berlomba ingin menyempurnakan haji dan mendapatkan rido Allah.   

Koordinasi MCH
Peliputan haji sampai saat ini idelanya memang tetap berada dalam koordinasi MCH Arab Saudi. Kalaupun ada wartawan "nyelonong" sendiri meliput, persoalan akan timbul jika yang bersangkutan ditangkap polisi (askar) setempat. Sebab, tak semua tempat dapat diambil gambarnya. Berbeda dengan tim MCH, jika menghadapi persoalan seperti itu, tim PPIH Arab Saudi akan mengirim petugasnya untuk membebaskan anggota MCH.

Lagi pula, pemerintah Arab Saudi -selama musim haji-tak pernah mengeluarkan izin bagi wartawan masuk ke negeri "petro dollar" itu hanya untuk meliput jalannya ritual haji. Dan, karena itu, Indonesia memasukkan tim MCH sebagai bagian dari PPIH Arab Saudi.

Untuk suksesnya peliputan haji, tim MCH harus kompak atau solid. Karena itu, keangkuhan intelektual di kalangan wartawan harus dihilangkan. Sebab, tatkala meliput tak ada status senior dan yunior. Kompetisi mendapatkan berita eksklusif, lebih hebat dan sebagainya jika tak dikoordinasikan atau konfirmasi dengan petugas PPIH lainnya tak mustahil bisa memunculkan kerugian bagi semua pihak.

Liputan haji memang seksi,  punya daya pikat tersendiri. Tapi, juga unik karena perlu kehati-hatian karena ritual haji mencakup  Habluminallah dan Habluminannas, hubungan manusia dengan Allah dan hubungan sesama manusia.

Pusat informasi haji atau MCH, memang harus menjadi tempat mencari informasi dan klarifikasi. Karena itu, ke depan, sudah harus dipikirkan MCH harus memiliki struktur tegas, tidak lagi hanya berada di bawah Kasubdit. Sebab, beban pekerjaannya demikian besar. MCH ke depan harus nempel atau berada di Kantor Tekhnis Urusan Haji (TUH) Arsb Saudi.

Eksistensi MCH yang bekerja sepanjang tahun itu harus jelas dan segera diusulkan ke para pemangku kepentingan. MCH harus hadir secara permanen dan distrukturkan.

Siapa yang duduk di MCH itu, menurut praktisi pers Parni Hadi, adalah orang birokrat berpengalaman, wartawan yang memahami perhajian dan kalangan profesional lainnya. Dengan demikian, informasi haji akan mengalir terus sepanjang tahun sejalan dengan tuntutan masyarakat.   

Kegiatan nasional
Penyelenggaraan ibadah haji merupakan kegiatan nasional dan melibatkan banyak orang. Berhasil tidaknya, tergantung dari pelaksanaan haji itu sendiri juga pemberitaan medianya. Namun harus menjunjung tinggi aspek kebenaran tanpa mengabaikan aspek kritis.

Wartawan dalam peliputan haji harus menjunjung kebenaran. Bukan semata pada persoalan kritis atau tidak. Hal ini harus dapat perhatian agar kehadiran MCH dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi pelayanan penyelenggaraan haji. Antara lain, perlunya ditingkatkatkan perangkat pendukung wartawan dalam bekerja di MCH, personil yang harus memantau dan mendistribusikan informasi secara berkesinambungan.

Juga perlunya kerja sama antaramedia di tanah air dengan media Arab Saudi untuk memperkuat pendistribusian informasi, baik saat musim haji atau dalam masa persiapan musim haji.

MCH dibawah koordinasi Pusat Informasi dan Kehumasan Kementerian Agama memang harus menerapkan strategi komunikasi dan kehumasan yang jitu. Hal ini erat kaitannya dengan banyaknya jemaah haji Indonesia yang mencapai 221 ribu jiwa. Hal ini adalah sebuah peristiwa kolosal yang tidak mudah mengelolanya.

Penyelenggaraan ibadah haji bagaikan operasi militer. Rumit dalam penyelenggaraannya. Mulai cara mengangkut jemaah dalam jumlah besar itu dalam waktu singkat ke Arab Saudi, menempatkan mereka di sejumlah pondokan, tenda di Arafah dan Mina, mendistribusikan makan, membimbing wukuf dan tawaf, melempar jumroh, mengobati yang sakit, menguburkan yang wafat dan mengangkut kembali ke tanah air.

Jika semua pekerjaan itu tanpa didukung MCH, tanpa wartawan yang mengabarkan setiap pergerakan penyelenggaraan haji tentu akan banyak kesulitan. MCH memang bagaikan "embedded reporters" -- yang menempel pada pasukan dalam operasi militer.

Mereka mengabarkan dari tempat kejadian, langsung dari tanah suci. Mereka telah berhasil memenuhi "people ringt to knaw", hak masyarakat untuk mengetahui mengenai segala tetek bengek mengenai penyelenggaraan haji.

Di sini, para wartawan seolah melakukan investigative reporting. Sebuah laporan yang bertujuan mulia, guna memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (people right to know) dari apa yang dirahasiakan oleh pihak-pihak lain yang merugikan kepentingan umum.

Cara liputan seperti itu mirip-mirip dengan liputan wartawan pada operasi terpadu pemulihan Aceh yang disiarkan serentak oleh media massa nasional. Di beberapa televisi malah disiarkan secara live, dari wilayah konflik di Aceh.

Di saat berlaku Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, para wartawan yang meliput penyerbuan pasukan-pasukan TNI ke lokasi-lokasi yang dianggap dikuasai oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah para wartawan yang beberapa minggu sebelumnya telah mengikuti penataran kemiliteran di pusat latihan militer milik Kostrad di Gunung Sanggabuana, Jawa Barat.

Di situ, para wartawan media Jakarta itu, kemudian di-embeded kepada sejumlah pasukan TNI yang melakukan operasi di berbagai wilayah di Aceh.

Keberhasilan MCH harus dipertahankan, yaitu pengiriman berita berjalan lancar. MCH memang telah mendapat tempat tersendiri sebagai rujukan pemberitaan haji. Liputan ritual haji dan MCH memang unik, karena para jurnalis melakukannya dengan ikhlas.














0 komentar:

Posting Komentar