Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

MCH DAN MIMPINYA

Written By Unknown on Kamis, 12 Juni 2014 | 03.23

 Catatan Edy Supriatna -Para jurnalis dari kalangan media elektronik yang tergabung dalam Media Center Haji (MCH)  Arab Saudi bermimpi dapat melakukan siaran langsung puncak ritual haji yaitu wukuf dari Arafah, Arab Saudi setiap musim haji.

Hal ini terungkap pada evaluasi MCH di Bandung , 28-30 Desember 2011. Setiap musim haji, saat jemaah berkumpul di Arafah dari seluruh dunia, memang ada keinginan kuat dari pemerintah bahwa jalannya puncak ritual haji itu perlu diketahui umat Islam di tanah air secara langsung.

Sayangnya, hingga kini niat dari kalangan awak insan pertelevisian dan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama,  tak kunjung terealisasikan. Hanya sebatas angan-angan, mimpi.

Saat kegiatan akbar berlangsung, seperti kunjungan kepala negara ke negara sahabat, atau pertandingan olah raga seperti SEA Games,  rakyat Indonesia sudah sering menyaksikan siaran langsung. Pertanyaannya, mengapa siaran langsung puncak ibadah haji dari tahun ke tahun dari Arafah, Arab Saudi, tak dapat dinikmati rakyat Indonesia.

Apalagi jika diingat Indonesia sebagai negara
multietnik, penduduknya kebanyakan penganut muslim.

Pada evaluasi sekali ini,  ada desakan dari kalangan para wartawan yang tergabung dalam MCH agar pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama,  memperbaiki infrastruktur teknologi informasi.  Bukan hanya media cetak, on line, namun juga dari pengelola media massa elektronik berharap adanya dukungan pembenahan teknologi informasi.

Dalam era reformasi dewasa ini, sungguh menjengkelkan jika insan pers bekerja tanpa dukungan internet.  Pada musim haji 1432 H/2011, kesulitan mengirim berita kembali terulang.  Utamanya di Arafah, sehingga "dapat dibayangkan" bagaimana malunya kalangan insan pers terhadap publik yang ingin mengetahui situasi terkini jalannya ritual puncak ibadah haji.

Keluhan semacam ini sebetulnya sering terjadi pada saat musim haji. Kalangan wartawan yang tergabung dalam MCH dan menjadi bagian dari Panitia Penyelenggara Ibadah Haji  (PPIH) ternyata sudah berulang kali meminta kepada Kementerian Agama agar segera dilakukan penyempurnaan infrastruktur teknologi informasi.

Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan pengiriman berita. Jika saja awak jurnalis dari kalangan media cetak mengalami kesulitan mengirim berita lantaran hambatan teknologi berbasis web, tentu kesulitan akan dirasakan lebih berat lagi bagi para insan pers yang bekerja di televisi.

Sekedar pengetahuan, MCH merupakan wadah bagi para jurnalis dari berbagai media massa: cetak (suratkabar), on line dan elektronik (radio dan televise).  Kedudukan MCH sejak dibentuk pada awal 1980-an -- sangat penting  bagi Kementerian Agama. Selain dimaksudkan untuk memberikan informasi bagi jemaah haji yang sedang  menunaikan ibadahnya di tanah suci, juga untuk memberikan gambaran berbagai peristiwa aktual tentang pelaksanaan ritual haji.

Dari segi konten berita,  kalangan wartawan sudah mampu memberikan informasi secara berimbang. Dan awak MCH pun tak terlalu banyak menghadapi kendala dalam peliputan. Kalaupun ada persoalan, biasanya terkait dengan larangan dari pihak keamanan (askar)Arab Saudi dalam mengambil gambar di tempat tertentu.

Hal ini bisa disiasati dan kalaupun ada yang tertangkap, askar atau pihak polisi setempat segera memberi pemaafan dan membebaskan setelah ada petugas PPIH memberikan penjelasan tentang tugas wartawan di tanah suci.

Namun harus diakui pula bahwa kalangan wartawan yang bertugas di Saudi Arabia itu masuk   sebagai petugas haji, bukan sekedar sebagai insan pers. Karena itu, MCH menjadi bagian tak terpisahkan dari PPIH.

Tentang masuknya jurnalis menjadi bagian dari petugas PPIH, saat evaluasi MCH berlangsung, sempat dipertanyakan.  Tetapi, jika ada wartawan lepas dari PPIH, tentu mereka akan mengalami kesulitan masuk negeri petro dolar itu mengingat Arab Saudi termasuk salah satu negara yang sangat berhati-hati menerima wartawan. Apalagi memberikan visa kepada wartawan saat musim haji.


Masuknya kalangan wartawan MCH sebagai bagian dari PPIH, bukan berarti menjadi "corong" Kementerian Agama. Independensi wartawan tetap terjamin dan ternyata dapat melaporkan peristiwa pelaksanaan ibadah haji sepanjang tahun secara objektif, berimbang dan bertanggung jawab. Hal ini sama dengan seorang jurnalis yang meliput peristiwa Perang Teluk, ia memposisikan diri menjalankan tugas "embedded journalism".

Akhmad Kusaeni, Wakil Pimpinan Redaksi Kantor Berita Antara, mengakui netralitas wartawan tetap terjamin meski MCH menjadi bagian dari PPIH.  Karena itu, ia berharap, ke depan kedudukan MCH harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan lagi dengan melakukan beberapa perbaikan perangkat pendukung, seperti fasilitas jaringan internet dan peralatan komunikasi lainnya.

Dosen Etika dan Hukum Media, Program Pascasarjana Komunikasi, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, yang juga staf ahli Menteri Kominikasi dan Informatika, Dr Henry Subiakto  sependapat bahwa berdasarkan pengalaman wartawan yang menjalankan  "embedded journalism" bisa membawa diri dan melaporkan berbagai peristiwa secara objektif. Termasuk juga wartawan yang tergabung dalam MCH Arab Saudi. Mereka bukan Public Relation (PR) ataupun corong dari lembaga tertentu, tetapi menyampaikan kebenaran ke tengah masyarakat.


"Jalan di tempat"

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Agama, Zubaedi berharap pada evaluasi MCH itu diperoleh masukan objektif guna perbaikan pelaksanaan operasional ke depan. Ia mengakui ada beberapa titik lemah, seperti ketiadaan ruang peliputan untuk MCH Jeddah.  Kerja sama tim antarwartawan selama bertugas masih menjadi perhatian untuk ditingkatkan lagi.

Memang, pada evaluasi MCH Arab Saudi 1432 H/2012 M,  terkesan bahwa dukungan peralatan internet berjalan di tempat. Pasalnya, hal ini terlihat menguatnya keluhan pengiriman berita saat pelaksanaan wukuf yang kurang didukung dengan teknologi informasi berbasis web.    

Untuk media elektronik, seperti televisi dan radio, ke depan, perlu didorong adanya peliputan secara langsung secara konsisten. Dengan harapan pemirsa di tanah air dapat mengetahui kondisi  sesungguhnya terhadap pelaksanaan ibadah haji di tanah suci.

Sebagai pemecahan untuk memperlancar pengiriman data (berita/ gambar), ke depan perlu dibentuk kerja sama antara media lokal (Arab Saudi) dengan media berskala nasional. Kerja sama media cetak dengan koran terbitan lokal  berbahasa Melayu Al Nadwah) di tanah suci dengan MCH dibawah koordinasi Kepala Daerah Kerja  (Daker) Jeddah, Mekkah dan Madinah sangat penting agar informasi segera dapat diterima di tanah air dan kalangan jemaah haji di tanah suci.

Kerja sama dengan media lokal dapat dijadikan sebagai penerbitan internal. Meski seluruh kebijakan informasi tak dapat dikendalikan petugas PPIH, tetapi informasi penting bagi jemaah haji dapat tersebar melalui media bersangkutan. Kesulitan menerbitkan media intern adalah pada izin dari pemerintah setempat.

Sekedar catatan, untuk merealisasikan kerja sama intitusi penyiaran (menyangkut  bidang sosial dan budaya. termasuk haji) dapat dilakukan setelah oleh pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Penerangan Arab Saudi membuat suatu perjanjian kerja sama (MoU).  Kesepakatan ini kemudian dapat dijadikan "payung hukum"  atau landasan operasional bagi media dalam melaksanakan misi sucinya menyiarkan kegiatan ritual haji.

Sementara Kementerian Agama kedudukannya sebatas pengguna untuk menyukseskan penyebaran informasi mengenai pelaksanaan siaran langsung dari seluruh rangkaian ritual ibadah haji. Ataupun kerja sama penyiaran media on line lainnya.

Agar peliputan MCH tak terkesan "berjalan di tempat" , maka ke depan perlu perbaikan dalam hal perekrutan wartawan mengingat masa tugas di tanah suci cukup lama, antara 65 sampai 72 hari. Tentu membutuhkan jurnalis yang memiliki ketahanan mental dan sehat lahir-batin.



Seperti juga petugas PPIH lainnya yang akan diberangkatkan ke tanah suci diberi pelatihan khusus  di Asrama Haji Pondok Gede selama sepekan lebih, maka pelatihan bagi jurnalis akan lebih efektif bila  dilakukan secara terpisah. Tidak digabung secara penuh selama sepekan. Tentunya, materi yang diberikan pun berbeda dengan petugas lainnya.

Yang dibutuhkan wartawan selama pelatihan adalah pemberian wawasan tentang materi kesehatan  yang menyangkut jemaah haji, kasus-kasus jemaah dan pengetahuan tentang wilayah tanah suci  berikut tempat bersejarah. Termasuk wawasan manasik haji.

Selama ini ada perbedaan lama penugasan antarwartawan di tiap Daker. Untuk masa mendatang,  hal itu perlu diubah. Semua harus bekerja dalam jangka waktu yang sama dan sesekali ada  penugasan berpindah tempat secara periodik guna menghilangkan rasa jenuh.(T.E001/A011)






























0 komentar:

Posting Komentar