Pasar
di muka Pintu Marwah Masjidil Haram itu memanjang sekitar 100 meter itu oleh
warga Indonesia dinamai Pasar Seng. Orang Arab sendiri, atau warga lokal, tak
tahu akan penamaan pasar tersebut. Tapi, lagi-lagi, jangan tanya kepada
pedagang bahwa apakah benar kawasan keramaian itu merupakan Pasar Seng. Mereka
menolak sebutan itu.
Jadi,
kaum muslimin yang hendak melaksanakan ibadah umroh atau haji jangan tanya
kepada warga lokal. Tanyalah kepada tenaga musiman (yang populer dengan sebutan
Temus) dari Indonesia, maka mereka pasti akan paham apa yang dimaksud kawasan
Pasar Seng. Apa yang menyebabkan kawasan pertokoan di sisi Masjidil Haram
tersebut menjadi dikenal sebagai Pasar Seng oleh Warga Negara Indonesia (WNI)?
Ternyata, bagi para Temus bukan hal mudah untuk mendapatkan kepastian
asal-muasal pemberian nama tersebut.
Hanya
saja, masyarakat Indonesia mengenal berbelanja di kawasan tersebut memang
harganya relatif "miring", sehingga menjadi tempat favorit untuk
membeli barang dan makanan khas setempat. Bahkan, restoran cita rasa Indonesia
dapat dijumpai, seperti di kedai "Bakso Si Doel". Pedagang pun bisa
diajak tawar menawar dibanding di kawasan Hotel Hilton, yang juga sama-sama
berada di sisi Masjidil Haram, yang banyak menjual barang melalui pasar
swalayannya. Aiman (28), salah seorang Temus kelahiran Mekkah, mengaku tak tahu
kenapa kawasan keramaian tersebut dikenal sebagai Pasar Seng bagi orang
Indonesia.
Sejak kedua orangtuanya asal Palembang, Sumatera Selatan, bermukim di Mekkah
dan kemudian melahirkan dirinya tak pernah bercerita tentang latar belakang
sebutan Pasar Seng. "Saya tak tahu itu," katanya.
Salah seorang Temus lainnya asal Bandung, Engkos (37), mengatakan bahwa sejak
1995 kawasan keramaian orang belanja di sisi Masjidil Haram sudah disebut Pasar
Seng oleh WNI.
"Kemungkinan
daerah itu disebut Pasar Seng sejak 1980-an," katanya. Tapi, apa latar
belakangnya hingga populer dengan sebutan Pasar Seng oleh orang Indonesia.
Engkos menduga, yang sumber ceritanya berasal dari Temus berusia lanjut, karena
dahulu di kawasan tersebut bangunannya banyak menggunakan atap seng.
Oleh karena dinamika pembangunan kota Makkah, maka bangunan dengan atap seng
kini sudah tak ada lagi. Namun, tetap saja orang Indonesia berbelanja di Pasar
Seng untuk mencari cinderamata untuk keluarganya di tanah air.
Tak
heran, banyak orang yang hendak menunaikan ibadah haji atau umroh kerap
diingatkan oleh orang yang sudah terlebih dulu menjalaninya, agar belanja
oleh-oleh atau buah tangan dengan mencarinya di Pasar Seng. "Untuk barang
elektronik, jam tangan dan beberapa barang lainnya, lebih murah dibanding
belanja di Jakarta," kata seorang Petugas Pelaksana Ibadah Haji (PPIH),
yang bertugas di Makkah sejak 10 hari lalu.
Ia
mengatakan, jika saja sejak di Jakarta sudah memperoleh uang tinggal, jelang ke
berangkatan ke tanah suci, tentu barang kegemarannya sudah dibeli di Pasar
Seng, seperti kamera dan handphone. Alasannya, belanja di Pasar Seng sebelum
banyak jemaah haji dari berbagai negara tiba di Makkah jauh lebih baik. Sesuai
hukum pasar, ketika orang yang menunaikan ibadah haji masih sedikit tentu harga
akan murah.
"Kalau
jemaah sudah banyak, saya yakin harganya tentu ada beberapa barang naik
harganya," katanya lagi.
Tapi, yang jelas, pasar itu kini jadi populer bagi warga Indonesia. Para
penjualnya pun pandai menarik perhatian, dan kerap menawarkan dengan
menggunakan Bahasa Indonesia yang kadang sulit dipahami.
Meski demikian, orang yang hendak berbelanja pun maklum. Yang penting, dapat
membeli buah tangan dengan harga ringan. Pulang haji, keluarga pun menyambut
gembira. (*)
0 komentar:
Posting Komentar