Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

SISTEM LIVING COST” JUGA DIANUT CALHAJ CHINA

Written By Unknown on Kamis, 12 Juni 2014 | 03.11


 Catatan Edy Supriatna -Bukan hanya calon jamaah haji Indonesia saja yang memberlakukan "sistem living cost" atau biaya hidup,  umat Islam dari negeri "tirai bambu" China juga melaksanakan hal yang sama.

Pemberlakuan sistem biaya hidup atau living cost itu sebagai bagian dari upaya peningkatan pelayanan tatkala menjalankan rukun Islam di tanah suci: Mekkah, Madinah, dan Armina  (Arafah-Mudzdalifah-Mina).

Jika calon jamaah haji (Calhaj) dari Indonesia memperoleh "living cost" sebesar  1.500 Saudi Riyal atau sekitar Rp3,7 juta (1 Riyal = Rp2.529,83) umat Muslim China yang menunaikan ibadah haji menerima sebesar 5.000 CNY (5000 Yuan Renminbi = 7.208.818,18 Rupiah).

"Living cost" sesungguhnya merupakan dana titipan jamaah sebesar 400 dolar AS atau SAR 1.500. Living cost tersebut dikembalikan kepada jamaah di pelabuhan embarkasi pada saat akan berangkat ke Arab Saudi. Sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji oleh Dewan Perwakilan Rakyat direkomendasikan untuk tetap dipertahankan.

Alasannya, karena sebagian besar jamaah haji, terutama Calhaj dari pedesaan, membayar  Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) -- yang dahulu dikenal dengan sebutan Ongkos Naik Haji (ONH) -- atas dasar menabung, yang setelah dananya cukup sebesar dibayarkan untuk pergi haji. Dengan pengertian seluruh kegiatan perhajian di Arab Saudi telah tertutupi dengan BPIH dimaksud.

Soal kesamaan adanya sistem "living cost" ini, ternyata dari tahun ke tahun pada pelaksanaan ibadah haji, dirasakan masih perlu dipertahankan. Masih banyak warga dari pedesaan di tanah air berharap adanya dukungan dana ketika berada di tanah suci. Karena itu, para penyelenggara haji dari China pun menerapkan hal serupa mengingat umat Islam tersebar di berbagai wilayah. Belum lagi suku dan latarbelakang pendidikan di kalangan umat Muslim China sangat majemuk.

China pun memiliki hampir kesamaan dalam pembatasan usia yang harus berangkat menunaikan ibadah haji. Indonesia, sesuai dengan perundangan yang ada, membatasi usia 17 tahun ke atas. Sementara China pun menetapkan kebijakan jemaah haji harus berusia di atas 18 tahun dengan memperhatikan sekali kesehatan calon jemaah hajinya.

Wakil Duta Besar Republik China untuk Indonesia Yang Lingzhu, bersama stafnya Zang Liang, tatkala berkunjung ke  Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, pernah bercerita bahwa pihaknya menetapkan biaya penyelenggaraan haji sebesar 25.000 CNY (25 000 Yuan Renminbi = 36. 044.090,9 Rupiah Indonesia)  setiap jamaah haji.    

Dari dana sebesar itu, sekitar 5.000 CNY dialokasikan untuk "living cost", kata Yang Lingzhu yang dalam pertemuan itu diterima Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama yang diwakili oleh Direktur Pembinaan Haji Bapak Drs. H. A. Kartono.  

Ikut mendampingi Kasubdit Bimbingan Jamaah Bapak Drs H. Asnawi Muhammadiyah, Kasubdit Penyuluhan Haji Bapak Drs H. A. Basani, Kasubdit Bina Haji Khusus Bapak H. Triganti Harso, Kasubbag Tata Usaha Bapak Drs H. Khoirizi HD,MM, dan Direktur Pelayanan Haji, Sri Ilham Lubis yang saat itu masih menjabat Kasubdit Dokumen Direktorat Pelayanan Haji.

Pemerintah Republik Rakyat China mengirim 12.700 umat Islamnya untuk melaksanakan ibadah haji pada 1430 H/2009 M  dan diperkirakan pada 2012 akan mengalami peningkatan sesuai dengan kuota yang diberikan pemerintah Arab Saudi.

Wakil Duta Besar Republik China  itu menyatakan bahwa kunjungannya memang dimaksudkan sebagai saling tukar informasi terkait penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia. Ia menilai penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sangat baik.

Yang Lingzhu memang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia (UI) Jakarta -- dan sudah tinggal selama 9 tahun di Indonesia ini. Hal tersebut memotivasi beliau untuk melakukan kunjungan  kekerabatan dan saling tukar informatika dengan pemerintah Indonesia. Ia pun sempat menyinggung sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia.

Orientasi pelayanan

Direktur Pembinaan haji Bapak Drs. H. A. Kartono, pada pertemuan tersebut, menjelaskan penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia.  UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan kebijakan lainnya, katanya, merupakan landasan pijakan, petunjuk teknis dan pelaksanaan di lapangan.

Parameter yang dibangun dalam manajemen penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia adalah berorientasi pada pelayanan, pembinaan dan perlindungan kepada jemaah haji sejak di tanah air-Arab Saudi dan kembali ke tanah air, tegasnya.

Pelaksanaan pembinaan juga dilakukan bukan hanya pada saat pelaksanaan ibadah haji saja, namun dilakukan setelah kembalinya jemaah haji ke tanah air. Hal itu dimaksudkan untuk membentuk pribadi-pribadi yang amanah, santun dan profesional sebagai salah satu sumber daya manusia bagi bangsa.

Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia dilakukan dengan kemitraan yang melibatkan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dalam melaksanakan penyelenggaraan ibadah haji kepada 19.000 jemaah haji khusus. Setiap tahunnya pemerintah memberangkatkan 210.000 jemaah haji dengan komposisi reguler sebanyak 191.000 dan jemaah haji khusus 19.000 jemaah.

Ditegaskan Kartono, pelayanan, pembinaan dan perlindungan berorientasi kepada keberpihakan pemerintah kepada jemaah haji baik di tanah air maupun di Arab Saudi.

Pendaftaran jemaah haji dilakukan dengan system "First Come First Served" yang dimediakan melalui Siskohat (Sistem Komputerisasi Haji Terpadu) untuk menciptakan kesempatan yang berkeadilan dalam melaksanakan ibadah haji. Sementara pola pembinaan jemaah haji untuk dapat melakukan mandiri di dalam melaksanakan manasik haji, pemerintah melakukan bimbingan manasik haji sebanyak 10 kali di Kecamatan dan empat kali di Kabupaten/Kota seluruh provinsi di Indonesia.

Jemaah haji dibekali dengan Buku Paket Manasik Haji, identitas jemaah haji berupa gelang, asuransi, "living cost" sebelum berangkat menunaikan ibadah haji.

Ketika di Arab Saudi, jemaah dilayani dengan petugas pelayanan umum, pembimbing ibadah dan keamanan yang merupakan Petugas Non Kloter yang akan memberikan pelayanan, pembinaan dan perlindungan kepada jemaah haji ketika di Arab Saudi.

Petugas Non Kloter tersebut sebanyak 536 orang yang berasal dari Indonesia sedangkan 560 orang berasal dari Mukimin dan Mahasiswa Indonesia yang berada di Timur Tengah. Petugas tersebut tergabung di dalam 3 Daerah Kerja (Jeddah, Mekkah dan Madinah) dengan satu tujuan, melayani, membimbing dan memberikan perlindungan kepada jemaah haji Indonesia.

Di samping itu, jemaah haji Indonesia juga diikuti oleh petugas Kloter yaitu petugas haji yang melekat dengan jemaah haji sejak dari tanah air maupun arab Saudi. Petugas tersebut terdiri dari Petugas TPHI, TPIHI, dokter dan para medis sebanyak lima orang setiap satu kelompok terbang.

Jumlah kelompok terbang yang terintegrasi di dalam 12 embarkasi (Medan, Aceh, Batam, Padang, Palembang, Jakarta, Bekasi, Solo, Surabaya, Makassar, Banjarmasin, Balikpapan) memberangkatkan jemaah haji sebanyak 478 Kloter (Kelompok Terbang).

Di samping itu,  pemerintah melakukan penyuluhan  tentang perhajian terkini yang dilakukan dengan memanfaatkan media massa cetak dan elektronik. Upaya menciptakan jemaah haji yang mandiri, mabrur, amanah dan profesional sebagai salah satu sumber daya manusia bangsa memang bukan tugas ringan, kata Kartono.

Yang Lingzhu, sangat menyambut baik dan mengucapkan terima kasih atas informasi tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji di Indonesia.

Semua itu akan dijadikan motivasi untuk meningkatkan penyelenggaraan ibadah haji di negaranya.

Ia berharap adanya tindak lanjut kerja sama di bidang penyelenggaraan ibadah haji dalam bidang manajemen penyelenggaraan haji. Termasuk juga terciptanya hubungan silaturrahim antara jamaah haji Indonesia dengan jemaah haji Republik China.











0 komentar:

Posting Komentar