Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

MENJAWAB KELANGKAAN ULAMA

Written By Unknown on Selasa, 02 September 2014 | 23.58

Catatan Edy Supriatna - Jakarta, 29/8 (Antara) - Dua mantan Menteri Agama (Menag),  Muhammad Maftuh Basyuni dan Prof. K.H. Tolhah Hassan, pernah membicarakan persoalan materi pendidikan di lingkungan madrasah yang dirasakan belakangan ini mengalami degradasi, khususnya bidang akhlak.

        Pembicaraan tersebut berlangsung beberapa tahun silam, tepatnya Rabu (29/7/2009). Pertemuan tanpa agenda tertentu karena Maftuh mendatangi kediaman mantan Menteri Agama Tolhah Hassan di Malang, Jawa Timur, awalnya dengan maksud membesuk rekannya itu yang dikabarkan tengah sakit.

        Tolhah memang tengah demam karena kelelahan bepergian beberapa hari terakhir mengunjungi berbagai tempat kegiatan ibadah dan sosial. Namun, dia tampak segar ketika menyambut Maftuh yang didampingi Irjen Depag Suparta dan wartawan Antara Edy Supriatna Sjafei.

        Awalnya pembicaraan kedua orang tersebut berjalan santai. Namun, ketika Maftuh bercerita tentang berbagai program kerja di kementerian yang dipimpinnya saat itu, seperti persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kerukunan antaragama, haji, dan pendidikan, Tolhah antusias memperhatikan dan memberi komentar.

        Tampil berpakaian safari biru, kain sarung, topi putih, dan sorban melingkar di leher, tampaknya Tolhah lebih tertarik pada bidang pendidikan.

        Hal itu tampak terlihat dari komentarnya yang kerap diwarnai ungkapan keprihatinannya terhadap materi pendidikan dewasa ini. Kini, jerih payah para tenaga didik belum membuahkan hasil maksimal, katanya.

        Maftuh juga melontarkan ungkapan yang hampir sama. Namun, keduanya sepakat bahwa hal itu juga dapat terjadi disebabkan takadanya keteladanan di lingkungan lembaga pendidikan itu sendiri.

        Sebagai misal, salah satu penyebabnya, para kiai yang selama ini jadi teladan di pondok pesantren sudah makin kurang karena kiai yang bersangkutan memilih menjadi anggota legislatif, kata Maftuh.

        Seperti juga pernah diungkapkan di berbagai tempat, kiai dan ulama di Tanah Air sekarang makin langka. Negeri ini mengalami krisis ulama, katanya.

        Menurut Tolhah, bukan itu saja, kurikulum di madrasah pun harus dibenahi. Namun, ketika hal itu dilakukan, yang terjadi adalah kebutuhan anggaran yang besar. Akibatnya, anak kurang mampu takmungkin dapat mengikuti kurikulum yang diterapkan.

        Atau, solusinya melakukan subsidi silang sehingga anak berpestasi kendati orang tuanya takmampu bisa ikut pendidikan bersangkutan, katanya.

        Yang jelas, kata Tolhah, dewasa ini telah terjadi degradasi moral karena pendidikan lebih mengedepankan aspek fisik ketimbang moralitas dan religius.

        Oleh karena itu, baik Maftuh maupun Tolhah Hassan, sepakat bahwa kurikulum pendidikan perlu ditinjau ulang. Meski nanti dalam penerapannya akan menimbulkan biaya tinggi, hal itu harus dilakukan jika bangsa Indonesia takingin ketinggalan dengan bangsa lain

Kader Ulama

   Kekhawatiran kelangkaan ulama, seperti yang dikhawatirkan dua mantan menteri agama tersebut kini mulai sirna. Setidaknya mulai terjawab dengan kegiatan yang diselenggarakan Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Diniah dan Pondok Pesantren (Dit PD Pontren) Ditjen Pendidikan Islam. Kegiatan yang dimaksud adalah Musabaqah Qira'atul Kutub (MQK) kelima di Pondok Pesantren As'ad Olak Kemang Danau Teluk, Jambi, 1--9 September mendatang.

        Siapa pun memahami bahwa pondok pesantren merupakan wadah pendidikan agama di Indonesia, memiliki karakteristik yang khas, dan sebagai wadah mencetak kader ulama.

        Penyelenggaraan MQK diharapkan ke depan dapat dijadikan sebagai rujukan untuk bisa mengukur kualitas pengajaran di pesantren, kata Sekjen Kemenag Nur Syam selaku Pgs. Dirjen Pendidikan Islam kepada pers di Jakarta, Kamis (28/8).

        MQK atau lomba baca kitab untuk mendorong dan meningkatkan kemampuan santri dalam melakukan kajian dan pendalaman ilmu-ilmu agama Islam dari kitab-kitab berbahasa Arab atau lebih dikenal dengan nama kitab kuning.

        Sekjen mengakui hingga kini masih ada anggapan bahwa jumlah kiai semakin menurun karena kiai-kiai kharismatik--akibat faktor usia akhirnya kembali ke rahmatullah--, sementara yang muda-muda belum memenuhi persyaratan dari penilaian masyarakat.

        "Dengan bisa mengusai dan memahami kitab kuning, kita tidak khawatir kekurangan ulama," Nur Syam menjelaskan.

        Mengambil pola musabaqah (perlombaan), Nur Syam berharap MQK dapat memacu semangat para santri untuk terus menggali ajaran rahmatan lil alamin yang terkandung dalam kitab kuning tersebut. MQK juga diharapkan dapat mendorong kecintaan para santri terhadap kitab kuning serta meningkatkan peran pesantren dalam mencetak kader ulama yang terus mengedepankan semangat persatuan dan kesatuan nasional.
    
Islam Rahmatan

   "MQK tidak sekedar ajang lomba, tetapi juga peneguhan atas identitas Islam Indonesia yang rahmatan lil alamin, menghargai keragaman, serta mengayomi dan bermanfaat untuk semua. MQK menjadi salah satu manivesto kontribusi pesantren dalam memperteguh ideologi bangsa dan meneguhkan persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika," jelas Nur Syam.

        Dijelaskan Nur Syam, tantangan yang merongrong ideologi bangsa terus datang silih berganti. Dalam 15 tahun terakhir, misalnya, gerakan transnasional tidak hanya mengancam, tetapi juga merongrong ideologi bangsa. Gerakan ini bahkan menggoyahkan keteguhan masyarakat dalam meyakini ideologi bangsa. Kasus paling aktual gerakan ini adalah munculnya Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) yang telah berhasil merekrut pengikut di negeri ini.  

   Sebelumnya, ada Ikhwanul Muslimin yang di negeri ini mengejawantah dalam beberapa organisasi dan partai politik.

        Meski demikian, Nur Syam menegaskan bahwa pesantren terbukti selalu berada pada garda depan untuk membentengi Negara dari pemahaman keberagamaan radikal. Melalui kitab kuning, keilmuan pesantren diwariskan secara turun temurun dalam semangat menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta dengan landasan pemikiran yang moderat dan toleran.

        Warisan pemikiran ini terbukti berkontribusi besar dalam membentengi ideologi bangsa dan negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

        Sejalan dengan itu, Nur Syam menegaskan bahwa pihaknya terus berkomitmen untuk mendukung dan mengoptimalkan peran pesantren dalam memperkukuh ideologi bangsa yang mengayomi seluruh masyarakatnya dan membentengi mereka dari bahaya ideologi transnasional.

        "Dit PD Pontren terus berupaya memperkuat dan mengoptimalkan proses penyelenggaraan pendidikan yang mengajarkan kajian keislaman yang bertumpu pada khazanah klasik (kitab kuning) dan mengajarkan Islam damai, Islam ramah, dan Islam yang rahmatan lil alamin," katanya.

        Ia mengemukakan bahwa MQK menjadi bentuk komitmen Kementerian Agama untuk terus mengoptimalkan peran pesantren dalam memperkukuh ideologi bangsa yang mengayomi seluruh masyarakatnya dan membentengi mereka dari bahaya ideologi transnasional," tambahnya.

        MQK kelima akan digelar di Pondok Pesantren As'ad Kota Jambi, Provinsi Jambi, 1--9 September 2014. Sebelumnya, event yang selalu menjadikan pesantren sebagai tuan rumah ini pernah dilaksanakan di PP Al-Fatah Bandung (2004), PP Lirboyo Kediri (2006), PP Al-Falah Banjarbaru Kalsel (2008), dan PP Darunnahdlatain Pancor NTB (2011).

        Kemampuan santri dalam membaca dan memahami puluhan, bahkan ratusan kitab kuning akan dilombakan dalam MQK. Selain kitab dari disiplin ilmu fiqih dan ilmu alat (nahu dan saraf), juga ada kitab tafsir, hadis, tarikh (sejarah), serta akhlak-tasawuf. Di antara kitab-kitab tersebut adalah Fatkhul Qarib (fiqih), Syarh Kifayatul Atqiya dan Ihya Ulumiddin (akhlak), Subulus Salam (hadis), Al-Jalalain (tafsir), serta as-Sirah an-Nabawiyah (tarikh).

        Dalam rangkaian kegiatan MQK ini juga akan diselenggarakan halakah pimpinan pondok pesantren. Dengan mengambil tema "Pesantren dan Penguatan Pemahaman Keislaman Rahmatan Lil Alamin", halakah ini akan dihadiri narasumber, antara lain K.H. Said Aqil Siradj (Ketua Umum PBNU), K.H. Ma'ruf Amin (Ketua Komisi Fatwa MUI), Mark Woodward (Arizona State University), dan beberapa tokoh pesantren lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar