Catatan Edy
Supriatna - “Haji buncis” adalah sebuah istilah yang
muncul di tanah suci ketika jemaah Indonesia banyak mengonsumsi buncis sebagai
akibat lemahnya manajemen catering dari muassasah setempat selama bertahun-tahun.
Menu makanan dari hari ke hari, itu melulu. Akibatnya, di antara jemaah, soal
menu buncis itu, jadi pembicaraan keseharian. “Bertahun-tahun di setiap musim
haji kejadian itu berlangsung,” ungkap Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni, dalam
suatu kesempatan pembicaraan ringan di tanah air.
Namun belakangan istilah “haji buncis” itu diplesetkan
dengan mengaitkan kualitas haji seseorang. Seorang haji jika melakukan
perbuatan tercela, diam-diam, dijuluki sebagai “haji buncis”. Padahal,
sesungguhnya, antara sayur buncis dan haji tak punya hubungan kedekatan. Namun
menjadi dekat ketika jemaah haji Indonesia banyak mengonsumsi sayuran buncis di
tanah suci.
Tapi, untuk musim haji 1428 H/2007, Menteri Agama yang
juga selaku Amirul Haj sudah bertekad menghilangkan istilah tersebut. Bukan
hanya itu yang hendak dicapai, tentu juga perbaikan kualitas haji Indonesia.
Tapi, lagi-lagi, upaya ke arah tersebut tak semudah
membalik telapak tangan. Ketika musim haji 1427 H lalu, Maftuh mengaku
“kesandung” soal jasa boga (catering) lantaran perusahaan catering Anna
menghadapi persoalan internal yang berakibat beberapa orang dari jemaah
Indonesia tak memperoleh nasi kotak jatah mereka.
Namun kini menteri optimis bahwa persoalan menghindari
istilah tak menyenangkan tersebut akan segera dapat diwujudkan. Tidak kepalang
tanggung, dan baru pertama kali dalam sejarah pelaksanaan haji Indonesia, yang
menyangkut urusan “kamar tengah” atau “perut” itu juga melibatkan Kementerian
Haji negeri setempat yang diajak ikut menandatangani kontrak dan ikut mengawasi
pelaksanaan pelayanan catering bagi jemaah haji Indonesia.
Muassasah dan perusahaan katering terlibat penuh dalam
pelayanan jamaah. Perusahaan yang tak mengindahkan kewajiban dalam kontrak,
akan secepatnya terkena penalti. Jika tidak dapat melengkapi seluruh persiapan
pada tanggal 5 atau 6 Dzul Hijjah, perusahaan bersangkutan sudah harus
mengundurkan diri dan kementrian setempat yang menangani, kata Afif Ubaidilah,
pengawas katering Panitia Pelaksana Ibadah Haji (PPIH) ketika bertandang ke
Media Center Haji (MCH) Mekkah.
“Perhatian Kementerian Haji Arab Saudi sangat besar,
mengingat peristiwa `katering` tahun silam. Karena itu, mereka ikut mengawasi
langsung pelaksanaan katering bagi jamaah Indonesia tahun ini,” kata Afif
Ubaidilah.
Kementerian Haji Arab Saudi mengatur setiap perusahaan
katering yaitu dengan kewajiban memberi jaminan sebesar 20 persen dari harga
kontrak sebagai bank garansi. Selain itu, ditambahkan 10 persen uang jaminan
kepada PPIH. Jadi, sebanyak 30 persen dari nilai kontrak itu disiapkan secara
tunai agar bisa dicairkan sewaktu-waktu bila ada kekurangan dalam pelaksanaan
katering.
Hampir seluruh dari kontrak, dipatuhi oleh Muassasah.
Sekarang, muassasah takut karena Kementerian Haji ikut tanda tangani kontrak
antara PPIH dengan perusahaan katering maupun Muassasah. Selama ini belum
pernah Kementerian Haji Arab Saudi ikut serta dalam kontrak ini, kata Afif
Ubaidillah.
Perbaikan Katering
Tahun lalu, harga makanan bagi jamaah di Arafah-Mina
(Armina) untuk 16 kali makan adalah 300 riyal. Tapi, diduga yang dinikmati
jamaah hanya 120-140 riyal. Selisihnya tidak diketahui kemana.Selama ini
Muassasah terimanya 300 riyal.
Karena itu Menteri Agama (Menag) M.Maftuh Basyuni mencoba
melakukan terobosan dengan harga yang sama, tapi dengan layanan prasmanan
seperti haji khusus (ONH plus). Saat ini, harga yang ditetapkan untuk katering
sebesar 200 riyal untuk 16 kali makan tiap orang jamaah. Sedangkan, untuk
pelayanan ditambah lagi sebesar 60 riyal, sehingga totalnya mencapai 260 riyal.
Semua itu ditujukan untuk melayani 194 ribu orang jamaah
haji reguler. Pelayanan katering untuk ONH Plus adalah prasmanan yang
disediakan di gang-gang kemah. Selama ini, kata dia, tak ada masalah. Padahal,
satu meja di ONH Plus itu melayani untuk 400-500 orang.
Saat ini, katering prasmanan yang disiapkan tahun ini
adalah satu meja untuk melayani 350 orang. Ia menjelaskan, pihaknya sudah
berbicara dengan muassasah soal teknis penyiapan untuk prasmanannya saja.
“Alhamdulullah semua, sudah selesai,” ia menambahkan.
Menanggapi bahwa jamaah Indonesia sulit diatur dalam
penyajian prasmanan, ia mengatakan, kalau pun orang Indonesia dibilang
terbelakang atau tak berbudaya karena berebut makan, maka harus diberi
pembelajaran dengan praktek membudayakan prasmanan di Arafah.
Pada 1-3 Dzul Hijjah, panitia katering dari PPIH harus
tahu persis bahwa dapur sudah dibangun dengan berbagai sarana. Pada 5-6 Dzul
Hijjah, dilakukan pengecekan di gudang masing-masing kemah untuk kecukupan
bahan makanan. “Kalau kurang bahan makanannya, kita lapor ke Kementrian Haji
Arab Saudi. Muassasah tak bisa berkutik kalau Kementrian Haji sudah bertindak,”
ia menjelaskan.
Soal persiapan di Armina, jamaah sudah bisa menikmati
makanan katering pada 8 Dzul Hijjah malam dan pada 13 Dzul Hijjah makan siang
adalah penyajian katering terakhir bagi jamaah. Di sela-sela itu, ada minuman
yang disediakan selama 24 jam selama di Armina. Untuk perjalanan
Arafah-Muzdalifah, jamaah juga dibelaki dengan makanan asin, manis, air putih,
jus, dan buah apel, kata Afif.
Panitia katering sudah mengecek dapur, cara-cara
pendistribusiannya dan menetapkan sejumlah bahan makanan yaitu beras, daging
ayam, jagung, ikan, telur, popmie, sangkis abu suro, pear, teri, kentang,
buncis, wortel, kol, timun, kerupuk, kacang ijo, bahan-bahan bumbu, jus, air
aqua, teh celup, kopi, susu, gula dan makanan kecil yang dikemas dalam kaleng.
Sedangkan jadwal masak sebagai berikut. Pagi, mulai jam
00.00-04.00 WAS, siang 04.00-09.00, malam 11.00-16.00. Sedangkan jam makan:
pagi 06.00-09.00, siang 11.00-14.00 dan malam 19.00-22.00.
Dari daftar menu yang ada, memang masih tercantum sayuran
buncis. Tapi, seperti diutarakan M.Maftuh Basyuni, tidak akan ada lagi sebutan
“haji buncis” untuk penyelenggaraan musim haji 1428 H/2007 M.
Haji Mabrur
Namun yang diharapkan adalah tercapainya haji mabrur.
Untuk menentukan kualitas mabrur bagi seseorang tak bisa menggunakan parameter wujud fisik, misalnya sekembalinya dari tanah suci lantas orang bersangkutan rajin pergi ke masjid, kerap berzikir atau rajin mendoakan seseorang yang tengah tertimpa musibah.
Untuk menentukan kualitas mabrur bagi seseorang tak bisa menggunakan parameter wujud fisik, misalnya sekembalinya dari tanah suci lantas orang bersangkutan rajin pergi ke masjid, kerap berzikir atau rajin mendoakan seseorang yang tengah tertimpa musibah.
Juga tak bisa menggunakan pendekatan pandangan
keseharian, karena bisa saja diam-diam orang yang baru kembali di tanah air
kembali giat melakukan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Para ulama menyebutkan bahwa haji mabrur itu memiliki
indikator, antara lain patuh melaksanakan perintah Allah SWT, melaksanakan
sholat, konsekuen membayar zakat, sungguh-sungguh membangun keluarga sakinah
mawaddah dan wa rahmah, selalu rukun dengan sesama umat manusia, sayang kepada
sesama makhluk Allah SWT.
Selain itu juga konsekuen meninggalkan larangan Allah
SWT, terutama dosa-dosa besar, seperti syirik, riba, judi, zina, khamr,
korupsi, membunuh orang, bunuh diri, bertengkar, menyakiti orang lain,
khurafat, bid`ah dan sebagainya.
Gemar melakukan ibadah wajib, sunat dan amal shalih
lainnya serta berusaha meninggalkan perbuatan yang makruh dan tidak bermanfaat.
Aktif berkiprah dalam memperjuangkan, menda`wahkan Islam dan istiqamah serta
sungguh-sungguh dalam melaksanakan amar ma`ruf dengan cara yang ma`ruf,
melaksanakan nahi munkar tidak dengan cara munkar.
Memiliki sifat dan sikap terpuji seperti sabar, syukur,
tawakkal, tasamuh, pemaaf, tawadlu dsb. Malu kepada Allah SWT utk melakukan
perbuatan yang dilarang-Nya. Semangat dan sungguh-sungguh dalam menambah dan
mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu Islam.
Haji mabrur juga bila bekerja keras dan tekun untuk
memenuhi keperluan hidup dirinya, keluarganya dan dalam rangka membantu orang
lain serta berusaha untuk tidak membebani dan menyulitkan orang lain.
Cepat melakukan tobat apabila terlanjur melakukan
kesalahan dan dosa, tidak membiasakan diri proaktif dengan perbuatan dosa,
tidak mempertontonkan dosa dan tidak betah dalam setiap aktivitas berdosa.
Dan yang lebih penting lagi, sungguh-sungguh memanfaatkan
segala potensi yang ada pada dirinya untuk menolong orang lain dan menegakkan
“Izzul Islam wal Muslimin”.
Jadi, menilai haji mabrur itu sungguh sulit. Apa lagi
bagi orang bersangkutan untuk menjalankannya. Namun demikian, upaya memenuhi
seluruh indikator tersebut mutlak diperjuangkan dan dicapai. Sama halnya
seorang atlet, agar memperoleh fisik kuat dan berprestasi di ajang pertandingan
tentu harus banyak berlatih.
Bagi seorang yang sudah berhaji, bagi yang mau belajar dengan
tanda-tanda kebesaran Allah, di tanah suci Madinah, Mekkah, Arafah dan Mina,
dia memperoleh pembelajaran dan gemblengan langsung oleh Allah. Karena itu,
sekembalinya di tanah air orang yang telah berhaji diharapkan menjadi pembawa
rahmat bagi semua umat di sekitarnya.
Bila semua itu membuahkan hasil, tentu tak akan ada lagi
kesan yang bersangkutan hanya memperoleh “haji buncis”. Yaitu, orang
bersangkutan tak mendapatkan pahala ketika berhaji. Apa lagi memperoleh haji
mabrur sebagaimana diharapkan banyak orang ketika berhaji.
0 komentar:
Posting Komentar