Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Jejak Cheng Ho Sebagai Inspirasi Kerukunan

Written By Unknown on Senin, 16 Juni 2014 | 21.08





Catatan Edy Supriatna - Suasana kampung pacinan terasa kental begitu langkah kaki memasuki wilayah Taman Budaya Tionghoa Indonesia,apalagi bagi warga Jakarta yang pernah bertandang ke Singapura, Hongkong atau pun Korea Selatan, menyaksikan Taman Budaya Tionghoa pada Ahad pagi (1/3/2014) pada saat itu terasa seperti tengah bernostalgia ke negeri tirai Bambu, China.

Kala itu, iklim di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta terbebas dari mendukung dan hujan.

Jakarta, memang, dalam beberapa pekan terakhir pada awal Maret 2014 itu masih diguyur hujan dengan langit mendung. Namun, pada hari itu suasananya benar-benar cerah. Meski ada beberapa wilayah Jakarta tergenang banjir, pengunjung yang mendatangi lokasi tersebut cukup banyak.

Bangunan di wilayah itu terasa hampir menyerupai aslinya, tampak indah didukung dengan penataan taman yang apik.

Beruntung diri disadari dengan hadirnya patung Burung Garuda, yang berdiri tegak tatkala setelah pengunjung melewati lapangan atau plaza taman budaya tersebut. Di taman budaya tersebut -yang terbentang luas dengan lantai batu alam - biasa dipergunakan anak-anak bermain: bola voli, bulutangkis dan aktivitas lain yang sifatnya rekreasi.

Kehadiran patung Burung Garuda di Taman Budaya Tionghoa menyadarkan diri, bahkan seluruh pengunjung ke kawasan tersebut, bahwa lingkungan pacinan tersebut adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Taman Budaya Tionghoa Indonesia berdiri di atas lahan 4,5 hektar-yang merupakan sumbangan keluarga besar H.M. Soeharto di kawasan TMII.

Lahan tersebut kemudian dibangun sejumlah museum, mulai museum peranakan Hakka, Cengho, hingga perjuangan warga etnis Tionghoa dalam memerdekakan negeri ini dari tangan penjajah.

Patung Buru Garuda itu dibangun atas sumbangan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang berdiri gagah menghadap Paza Indonesia.

Melangkah masuk ke dalam, orang akan menyaksikan patung 12 sio di lingkungan pemondokan berarsitektur China. Tak jauh dari lokasi itu, berdiri patung kera sakti - yang ceri melegenda di kalangan etnis Tionghoa. Masih di kawasan itu pula, ada patung puteri cantik mirip patung Dewi Kwan Im yang namanya melegenda itu. Di kawasan itu, kini tengah direncanakan bangunan Museum perjuangan laskar etnis China dalam membela NKRI.

Makin jauh kaki melangkah, rasa ingin tahu akan isi sepenuhnya di kawasan itu semakin menggebu. Tak jauh dari lokasi patung kera sakti, akan dijumpai museum Chengho. Bangunannya memang terlihat sederhana, berarsitektur China, tetapi setelah masuk bisa membuat banyak orang terperanjat. Pasalnya, di dalam museum itu banyak terpajang para pejuang etnis China.

Dalam sejarah tercatat nama antara lain Oey Eng Kiat/Raden Ngabehi Widyaningrat (Lasem - Jawa Tengah), Gian Liam Nio (1901-1953, Jawa Timur), Djiauw Pok Kie (1910-1973), Sho Bun Seng (1911-2000 , Padang - Sumatera Barat), Liem Ching Gie/Abdul Malik (1911-1970, Sulawesi Selatan), Oei Pei Hin (1912-1996, Jawa Barat) dan masih banyak lagi.

Belum lagi benda keramik dan peninggalan lainnya. Bahkan batik ciri khas dari Pekalongan banyak diwarnai etnis China. Motif Batik China memang didominasi warga naga dan bunga, tetapi jika dipadukan dengan etnik Jawa, terlihat makin indah. Semua itu ada di Museum Chengho.

Gedung Museum Chengo berdiri atas sumbangan H. M. Yos Soetomo. Di dalamnya terdapat pula foto Chengho berkururan 1 x 1 meter. Seperti juga kultur China di berbagai wilaya , di bawah gambar tersebut ada tempat pembakaran shio dan tiga patung.

Pada bagian luar, kawasan Museum itu  Nampak berdiri patung Chengho menghadap danau.  Chengho atau yang juga dikenal sebagai Laksamana Zheng He, terkenal pula dengan sebutan Sam Poo Kong. Dia banyak menorehkan sejarah bagi perjalanan bangsa Indonesia, baik secara akulturasi maupun peradaban di Tanah Air. Namanya dikenal dan diabadikan sebagai rumah ibadah. Di Surabaya, ada Masjid Chengho. Kota Semarang punya Klenteng Sam Poo Kong dan terakhir di TMII Museum Chengho.

Kisah warga etnis China di Tanah Air yang ikut perang kemerdekaan harus diakui tak terlalu banyak tercatat dalam buku sejarah di sekolah. Ini sangat disayangkan, kata Sekretaris Jenderal Legiun Veteran Republik Indonesia Marsekal Muda (Purnawirawan) FX Soejitno. Sejatinya, jauh sebelum  Indonesia merdeka, banyak warga etnis China ikut pejuang Indonesia melawan penjajah. Sepak terjang perjuangan mereka kini harus diakui, baik dari sisi agama, ekonomi dan sosial.

  
  Museum Hakka

Khusus Museum Hakka, peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo pada Senin (6/8/2012). Museum Hakka Indonesia kini sudah berdiri megah, namun belum dilengkapi Pagoda Tujuh. Foke, sebutan Fauzi, tatkala acara peletakan batu pertama museum itu, menyebut bahwa berdirinya museum Hakka tersebut diharapkan dapat  meningkatkan suasana kehidupan yang saling menghargai dan saling menghormati.

Dulu, cerita Foke saat itu, orang Hakka dikenal sebagai salah satu suku di Cina dikenal warga yang mengedepankan pendidikan ketimbang hanya melakukan bisnis atau berdagang saja.

Kehadiran museum itu dapat sebagai sarana pembelajaran atau pendidikan. Perhimpunan Hakka Indonesia Sejahtera sudah bertekad akan terus memberikan kontribusi bagi peningkatan kerukunan umat beragama di Jakarta, dan Indonesia pada umumnya. Lebih penting lagi adanya Museum Hakka, dapat menunjukkan semakin kuatnya kebersamaan dan toleransi sosial antarsuku dan umat beragama di Indonesia.

Ketua Pembangunan Museum Hakka, Iwan Mahatirta memberi penjelasan, museum ini dibangun di atas lahan seluas 5.000 meter persegi di areal Museum Tionghoa, TMII. Nantinya, di dalam Museum Hakka akan terdapat banyak hal seperti informasi sejarah suku Hakka, koleksi foto, lukisan, benda-benda antik asal Tionghoa dan lain sebagainya

"Foto-foto maupun benda koleksi museum ini akan menceritakan perjalanan orang-orang Hakka ke bumi Nusantara," katanya. Pembangunan museum itu diperkirakan menelan dana Rp30 miliar.

Penulis menyaksikan, di dalam museum Hakka sudah terpajang berbagai lukisan etnis China dari masa ke masa. Ada yang orang China berpakaian kotor ketika menjadi budak membangun rel kereta api hingga mengisap candu. Ada pula foto kapal Chengho dengan sejumlah pasukannya.

Solihin, salah seorang pemandu di Museum Chengho mengaku bahwa etnis China dari keturunan Hakka akan menggelar pertemuan pada akhir Juli 2014. Ia berharap, pertemuan bersejarah itu akan dapat disaksikan seluruh warga Indonesia.

Memang kehadiran Taman Budaya Tionghoa di  TMII adalah salah satu wahana guna menunjukkan  kepada masyarakat luas bahwa etnis China termasuk sejarah dan budayanya, merupakan bagian integral dalam sejarah dan budaya bangsa Indonesia.

 
  Milik Indonesia

Bangunan ini dibangun untuk warga Indonesia. Jadi, milik Inddonesia. Pembangunan Taman  Budaya Tionghoa ini bertujuan untuk memamerkan artefak, foto-foto, arsitektur bangunan, taman dan lain-lain yang berkaitan dengan eksistensi suku Tionghoa di nusantara. Taman Budaya Tionghoa ini juga mempertegas toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, kata Solihin.

Sekedar catatan TMII Jakarta diresmikan pada 1975 dengan tujuan mengambarkan negara Indonesia dalam bentuk miniatur; juga untuk saling mengenal dalam rangka membina persatuan bangsa Indonesia.

Pada waktu itu, semua suku diakomodasi dalam anjungan tiap Provinsi. Setelah reformasi 1998, Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) terbentuk degan tujuan menolong yang terkena kerusuhan dan berjuang untuk memperoleh hak-hak sipil sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang sah; antara lain medapatkan status sebagai salah satu suku dalam keluarga besar bangsa Indonesia.

Dengan adanya Keppes tentang penghapusan semua kebijakan tentang pri dan nonpri dan seterusnya, etnis China atau Tionghoa memperoleh haknya untuk mempunyai sebuah anjungan di TMII yang kemudian diberi nama sebagai Taman Budaya Tionghoa (TBT-TMII).

Pada tahun 2004, awalnya dimulai dengan pembebasan lahan. Lalu pada tahun 2006 dilanjutkan pembangunan sarana fisik. Taman Budaya Tionghoa (TBT)-TMII merupakan simbol pengakuan eksistensi suku Tionghoa secara budaya dan politik. Keberadaan Taman Budaya Tionghoa Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah mempertegas TMII sebagai laboratorium seni dan budaya bangsa; di samping secara nyata menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang multietnis dan multiras berikut keanekaragaman seni dan budayanya.

Kepala Unit Kerja Taman Budaya Tionghoa Taman Mini Indonesia Indah (TBT-TMII) Brigjen (Purn) Tedy Jusuf mengimbau etnis Tionghoa untuk memberikan kontribusi untuk memperkuat khasanah Museum Chengho, sehingga publik di tanah air semakin tahu peran dan kedudukan mereka di Tanah Air.

Baiknya jika benda bersejarah milik keluarga dapat dipinjamkan atau menyumbangkan ke manajemen Museum Chengho, sehingga perbendaharaan di museum itu semakin lengkap, kata Tedy Jusuf kepada Antara di Jakarta, Senin. Museum tersebut perlu diperkaya dengan benda bersejarah. Sekarang ini sudah dilengkapi lukisan dan perjalanan sejumlah tokoh etnis China yang banyak memberi kontribusi positif terhadap kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun ia merasa belum puas. Pasalnya, lukisan dan benda-benda bersejarah selain belum lengkap juga belum menggambarkan secara integral dari perjuangan etnis China di berbagai tempat di bumi Indonesia. Jadi, museum itu belum tertata apik sebagaimana banyaknya museum di berbagai negara maju.

Untuk itu ia merasa bahwa museum tersebut harus ditangani oleh seorang akhli museum. Dengan cara itu akan tergambar maksud misi dan visi kehadiran museum Chengho. "Alur cerita dari perjalanan sejarah etnis China harus tergambar," ia berharap.

Pria pemilik nama Tionghoa Him Tek Ji, kelahiran Bogor, Jawa Barat, 24 Mei 1944 itu mengaku, museum ini minimal dapat menjadi inspirasi bagi kerukunan antarumat, antaretnis dan penyatuan bangsa Indonesia.

Karena itu ia terus membenahi museum tersebut dan berharap imbauannya dapat diindahkan rekan-rekannya yang kini berada di berbagai tempat. Diharapkan pula dari museum itu pula nanti genari muda bisa memetik pelajaran. Termasuk dari banyaknya tokoh etnis Tionghoa terlibat aktif dalam sejarah Indonesia, meski mereka belum terekspose oleh publik.

0 komentar:

Posting Komentar