Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

KESAMAAN VISI, SOLUSI ATAS JEMAAH SANDAL JEPIT

Written By Unknown on Kamis, 12 Juni 2014 | 03.21

 Catatan Edy Supriatna - Sebutan di kalangan orang pergi haji cukup beragam, mulai sebutan haji buncis, haji abidin hingga belakangan ini yang pupuler adalah haji sandal jepit atau non-kuota. Ketika seorang pegawai diberangkatkan pergi haji menggunakan biaya dinas, disebut haji Abidin, yang merupakan kependekan dari sebutan atas biaya dinas. Tatkala calon haji berada di tanah suci sering disajikan lauk-pauk sayuran buncis, mencuat di tanah air sebutan haji buncis.

Terakhir ini mengemuka di berbagai media massa sebutan haji sandal jepit. Istilah atau sebutan ini dilatarbelakangi seseorang pergi haji dengan mendapatkan visa haji tetapi tak melalui dari Kementerian Agama. Dengan kata lain, yang bersangkutan pergi haji tanpa melalui prosedur yang ada di Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU).

Orang yang ikut haji sandal jepit memperoleh visa haji tanpa mengindahkan prosedur resmi di Dirjen PHU, sebagaimana yang berlaku pada umumnya untuk mendapat izin pergi haji. Pada haji reguler, ada kewajiban bagi calon haji harus mendaftar dan membayar uang muka Rp25 juta. Kemudian, melalui prosedur resmi pula, yang bersangkutan menunggu panggilan beberapa lama. Di sini, yang bersangkutan ketika mendaftar langsung masuk daftar Siskohat  bnjh(Sistem Komputer Haji Terpadu).

Karena orang yang disebut ikut haji sandal jepit itu memperoleh visa haji dari Kedutaan Besar Arab Saudi tanpa sepengetahuan Kementerian Agama, maka yang bersangkuan juga disebut haji non-kuota.


Lalu, kenapa harus memakai istilah sandal jepit. Mungkin karena kelompok haji sandal jepit ini keleleran atau terlantar di Mekkah dan Armina (Arafah dan Mina) banyak yang mengenakan sandal jepit. Maka, muncullah istilah haji sandal jepit.

Pertanyaannya, bagaimana seseorang mendapatkan visa haji tanpa mengindahkan aturan yang sudah baku di tanah air. Bagaimana pula pihak Kedutaan Besar Arab Saudi bisa mengeluarkan visa haji tanpa rekomendasi dari Kementerian Agama.

Ternyata, untuk menjawab pertanyaan tersebut tak bisa seperti membalik sebelah telapak tangan. Pasalnya, karena untuk mencari akar masalah dan pemecahannya, para pemangku kepentingan harus duduk satu meja.

Siapa yang memiliki otoritas dalam hal ini, tentunya adalah Kementerian Agama (Kemenag), Imigrasi, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan pemerintah kerajaan Arab Saudi dalam hal ini Duta Besar Arab Saudi di Jakarta.




Memalukan

Jumlah haji sandal jepit cukup mencolok, tahun lalu saja 3.500 orang merangsek masuk di Arab Saudi. Pada musim haji 1431 H ini kembali bermunculan.

Jika dilihat di beberapa tempat ada jamaah keleleran (terlantar), berarti itu mereka, kata Kepala Daerah Kerja Madinah, Subakin Abdul Muthalib. Tak hanya itu, para jamaah tersebut biasanya juga merepotkan PPIH di Arab Saudi. Ketika para jamaah itu ada yang sakit, pasti mereka banyak yang datang ke kantor Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI). Tapi, yang bingung kalau mereka tersesat, petugas tak bisa mengembalikan ke pemondokan karena mereka tidak punya penginapan pasti.

Persoalan jamaah non kuota atau sandal jepit itu bukan menjadi domain pemerintah Indonesia. Karena itu,  pergi haji hendaknya melalui prosedur yang benar. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari persoalan-persoalan yang menyangkut jamaah ketika berada di Arab Saudi.  

Munculnya jamaah non quota ini dilatarbelakangi banyaknya jamaah haji yang menjadi waiting list (calon jamaah haji daftar tunggu). Bagi mereka yang tidak ingin menunggu, mengambil jalan pintas agar cepat berangkat melalui perantaraan orang lain. Mereka tak melalui pendaftaran di Kementerian Agama, sehingga nama mereka tidak terdaftar baik pada jamaah haji regular maupun jamaah khusus.

Biasanya, para jamaah sandal jepit ini diurus para mukimin asal Indonesia yang sudah tinggal bertahun-tahun di Arab Saudi. Mereka pun nekat berangkat karena menganggap ada yang mengurusi selama di Tanah Suci.
 
Kehadiran jamaah haji non kloter atau sandal jepit sangat mengganggu konsentrasi petugas haji, bahkan dapat menurunkan citra penyelenggaraan haji Indonesia.

Keberadaan jamaah non kuota telah mencoreng citra bangsa Indonesia. Kejelekkan yang mereka sandang, berdampak pada citra haji Indonesia. Karena mereka dari Indonesia, maka orang lain menilai penyelenggaraan haji Indonesia kurang baik. Oleh karena itu, ke depan harus ditekan, syukur-syukur bisa kita nol kan,” pinta Suryadharma Ali.


Solusi

Untuk mengatasi ini, jelas harus ada solusi tepat. Semua pemangku kepentingan harus memiliki visi yang sama. Pemerinah Arab Saudi, dalam hal ini melalui Kedutaan Besarnya di Jakarta perlu memiliki pemahaman yang sama.

Pihak kedutaaan adalah pemegang otoritas yang mengeluarkan visa haji. Untuk ini, harus dipahami bahwa ada aturan yang dipegang pemerintah bahwa untuk menunaikan ibadah haji perlu rekomendasi dari Kementerian Agama.

Jadi, kedua belah pihak harus membangun visi yang sama dalam penyelenggaraan ibadah haji. Seluruh calon jemaah haji masuk ke tanah suci harus legal, sehingga ketika berada di Arab dalam menunaikan ibadah haji ada yang bertanggung jawab.

Namun,  akibat visa resmi haji yang diperoleh tanpa mengindahkan aturan di Kementerian Agama, yang bersangkutan keleleran di Arab Saudi. Buntutnya, menjadi beban bagi PPIH. Pemerintah Arab Saudi ikut menanggungnya pula, seperti masalah kesehatan jika terjadi kasus kematian dan sebagainya.

Menyelesaikan haji sandal jepit harus ada kerja sama antar-pemerintah. Jika memang pemerintah Arab Saudi ingin membantu untuk mengatasi haji sandal jepit, sesungguhnya bisa dilakukan dengan cara transparan dengan memantapkan koordinasi antarpemangku kepentingan.

Misalnya,  Duta Besar Arab Saudi di Jakarta dapat memberi tahukan kepada Kemenerian Agama bahwa ada tambahan visa yang dikeluarkan secara khusus. Visa tambahan itu dapat dimasukkan dalam quota haji yang diberikan pemerintah Arab Saudi, yang kini sebanyak 221 ribu orang.

Yang penting, ada koordinasi dan kesamaan visi. Pemerintah Arab Saudi perlu memahami aturan yang ditetapkan Kementerian Agama dan sebaliknya Pemerintah Indonesia mengindahkan aturan yang ditetapkan Arab Saudi.

Saling pengertian dalam mengatur pelaksanaan ibadah haji ini juga terkait dengan jemaah umroh yang over stay. Penyelenggara umroh harus dapat dikendalikan, berapa jemaah yang berangkat dan kembali juga jumlahnya harus sama. Jika ada penyelenggara umroh "nakal", harus "diblack list".

Semua ada solusinya, kalau semua pihak punya kemauan untuk duduk bersama mengatasi haji sandal jepit. Ada visi yang sama, koordinasi dan saling memahami aturan yang berlaku. 







0 komentar:

Posting Komentar