Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

MENANTI FATWA MORATORIUM PENDAFTARAN HAJI

Written By Unknown on Kamis, 12 Juni 2014 | 03.21

 Catatan Edy Supriatna - Puncak ibadah haji jatuh pada 9 Dzulhijjah dan pada saat itu seluruh jemaah haji berkonsentrasi di satu titik, yaitu Padang Arafah, tempat berlangsungnya pertemuan akbar bagi cucu Adam.

Di tempat itu berlangsung pertemuan jemaah dari seluruh dunia yang ingin mendapat ridho Allah dan ampunan-Nya, dengan melaksanakan wukuf. Calon haji berkumpul di bawah tenda-tenda yang juga berwarna putih. Mereka bersimpuh di hadapan Allah sambil berdoa dan segala pengharapan.

Walau kulit, ras, suku, bahasa dan adat istiadat mereka berbeda, di padang Arafah ini mereka semua menyatu dan hanyut dalam kebesaran Allah dengan sejenak melupakan kebanggaan-kebanggaan duniawi yang bersifat sementara dan semu.

Para ulama sepakat bahwa esensi dari ibadah haji adalah kesamaan derajat (egalitarian) yang ditampakkan dalam pakaian ihram yang tak terjahit, yang merupakan simbol persamaan derajat manusia. Sedangkan warna putih menggambarkan kesucian di hadapan Allah.

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa Wukuf di Arafah juga mengingatkan umat manusia akan sejarah awal kehadirannya di muka bumi. Termasuk proses turunnya Adam dan Hawa sebagai manusia pertama ke bumi dan bertemu di padang Arafah ini.

Ibadah suci merupakan fondasi kelima dalam Islam. Posisinya yang terakhir dalam rukun Islam bukan berarti haji tidak penting. Tapi justru menjadi penting dan istimewa, sehingga umat Islam yang melakukan haji mestilah "man istatha'a ilaihi sabila" (orang-orang yang mampu).

Pengertian mampu meliputi segala sendi kehidupan seperti kesehatan (jasmani dan rohani), ekonomi dan keamanan. Mengingat syarat yang sangat berat itu maka penempatan haji di urutan terakhir dalam rukun Islam sangatlah tepat.

Lantaran demikian pentingnya ibadah haji itu, Kementerian Agama dan DPR bersepakat mengatur pelaksanaan haji itu melalui Undang-Undang No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Kementerian Agama punya kewenangan mengatur dengan lebih terperinci, termasuk di dalamnya pendaftaran ibadah haji.

UU No. 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menyebutkan bahwa penyelenggaraan haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah yang dikoordinasikan oleh Menteri Agama. Penyelenggaraan Ibadah Haji dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba. Penyelenggaraan Ibadah haji dilaksanakan berdasarkan siklus tahunan penyelenggaraan haji yang disepakati Pemerintah dan DPR.

Dan terkait dengan pendaftaran haji, harus dipahami dahulu tentang mekanisme pembagian kuota haji. Kuota jemaah haji Indonesia ditetapkan dalam Risalah Kesepakatan (MoU) tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Ibadah Haji antara Menteri Agama mewakili Pemerintah Indonesia dengan Menteri Haji mewakili Kerajaan Arab Saudi, yaitu yang mencapai angka sebanyak 211.000 orang.

Dasar perhitungan dan pemberian kuota untuk masing masing negara berdasarkan KTT OKI tahun 1987 di Amman, Jordania yaitu 1/1000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk Muslim suatu negara. Kuota haji Indonesia sebanyak 211.000 orang, terdiri atas 194.000 untuk jamaah haji biasa dan 17.000 untuk jamaah haji khusus (KMA No. 29 Tahun 2011 Tentang Penetapan Kuota Haji Tahun 1432H).

Kuota haji pada tahun 1432H/2011M sebanyak 211.000 jemaah. Angka ini diperkirakan tak bergeser untuk musim haji mendatang. Kuota haji tersebut dialokasikan kepada kuota haji reguler sebanyak 194.000 orang dan kuota haji khusus sebanyak 17.000 orang . Sementara petugas haji tahun 1431H/2010M sebanyak 3.880 orang yang terdiri atas 2.455 petugas kloter, 836 petugas non kloter dan 589 tenaga musiman.

Alokasi porsi untuk provinsi dibagi secara proposional dengan rumus satu permil dari penduduk muslim masing-masing provinsi.

Gubernur dapat menetapkan kuota provinsi ke dalam kuota kab-kota.

Dalam praktiknya, Kementerian Agama selanjutnya mengatur haji reguler. Penyelenggaraan ibadah haji reguler sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan juga berkewajiban memberikan pelayanan administrasi, bimbingan ibadah, transportasi, akomodasi, konsumsi, kesehatan, keamanan dan perlindungan.

Sementara untuk penyelenggaraan haji khusus, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). Pada 2011 tercatat 205 PIHK yang memperoleh izin, hanya 164 PIHK yang berhak memberangkatkan jemaah haji. PIHK berkewajiban memberikan pelayanan dan bimbingan yang bersifat khusus meliputi bimbingan ibadah, transportasi, akomodasi, konsumsi dan kesehatan.

Hingga kini, jumlah daftar tunggu jemaah haji Indonesia diperkirakan mendekati angka dua juta lebih dengan masa tunggu bervariasi, sudah ada di daerah tertentu mencapai 15 tahun ke depan.

Pengemban amanat Dalam perjalanannya, Kementerian Agama sebagai pengemban amanat UU No.13 tahun 2008 kerap dihadapkan isu hangat, seperti swastanisasi, badan layanan khusus haji hingga bermuara pada pendapat bahwa pelaksanaan ritual haji harus ditangani institusi di luar kementerian tersebut. Alasan yang kerap digunanakan adalah pihak kementerian cukup sebagai regulator. Harus ada pemisahan antara regulator dan operator haji.

Untuk memisahkan ini, UU No.13 tahun 2008 perlu diubah. Tentu, semua berujung pada penyelenggaraan ibadah haji ditangani institusi di luar Kementerian Agama sebagai operator. Belum isu soal pemisahan penyelenggaraan haji dipisahkan dari kementerian itu, mencuat ke permukaan isu baru bahwa pendaftaran pergi haji perlu dimoratorium karena ada kecurigaan bahwa dana haji disalahgunakan, diselewengkan dan bahkan dikorupsi.

Coba lihat komentar dari dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan PP Muhammadiyah. Keduanya mendukung usul penghentian sementara (moratorium) pendaftaran haji.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, pengelolaan dan penggunaan dana haji yang jumlahnya mencapai Rp38 triliun dengan bunga Rp1,7 triliun selama ini tidak memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, sehingga berpotensi disalahgunakan.

Bunga hasil pengelolaan dana calon jamaah tidak dikembalikan kepada yang berhak dan terkesan dikuasai oleh pemerintah. Bahkan, sisa penggunaan dana pemanfaatan setoran awal dalam setiap penyelenggaraan ibadah haji tidak pernah disampaikan ke publik.

Jika sisa penggunaan bunga itu dimasukkan ke dalam dana abadi umat (DAU), ujar Din, maka dana itu seharusnya tidak boleh digunakan. Kalaupun saat ini sudah bisa digunakan, pertanggungjawabannya harus jelas.

"Pengelolaan dana haji tidak transparan dan rentan tindakan menyimpang," tegas Din di Jakarta kemarin.

Din menyatakan PP Muhammadiyah memahami usul moratorium pendaftaran haji yang pernah dilontarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, jika pendaftaran terus dibuka maka jumlah daftar tunggu akan terus membengkak dan dana setoran awal calon jamaah pun makin bertambah banyak.

Menurut dia, selama ini penyelenggaraan ibadah haji dimonopoli oleh Kemenag sehingga tidak profesional dan transparan.

"Sudah saatnya operator dan regulator yang selama ini dimonopoli Kemenag dipisah, agar penyelenggaraan haji lebih profesional dan transparan," tandasnya.

PBNU Senada diungkapkan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj. PBNU juga meminta agar pengelolaan dana di setiap kementerian dilakukan secara transparan, khususnya di Kemenag. Menurut Said, Kemenag sebagai kementerian yang di dalamnya terdapat para ulama dan kiai harus menjadi contoh yang baik bagi lembaga pemerintah lainnya.

"Kita ingin semua kementerian bersih, khususnya Kemenag. Sebab kalau Kemenag tidak bersih, lalu kementerian mana lagi yang bisa dijadikan contoh?" tanyanya.

Dalam konteks penyelenggaraan ibadah haji, secara teknis Said mendukung diberlakukannya moratorium. Menurut dia, tujuan moratorium bukan untuk mempersulit umat yang ingin menunaikan ibadah haji, melainkan untuk menghindarkan potensi terjadinya tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana setoran awal calon jamaah haji.

Tidak laksanakan usul KPK Menteri Agama Suryadharma Ali bersikukuh tidak akan melaksanakan usul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan moratorium atau penghentian sementara pendaftaran ibadah haji. Penghentian sementara pendaftaran haji dikhawatirkan berimbas pada penumpukan jamaah di masa yang akan datang, ketika kebijakan moratorium itu dicabut.

"Kalau kebijakan moratorium dilakukan, dalam pemberangkatan nantinya, jika moratorium dicabut, akan terjadi penumpukan besar-besaran," katanya.

Menurut Suryadharma, setiap gagasan seperti yang dilontarkan KPK harus diuji terlebih dulu, apakah bisa dikerjakan atau tidak.

Kalaupun bisa dikerjakan, lanjut Menteri, apakah jauh lebih baik atau sebaliknya akan menjadi semakin lebih buruk.

"Kementerian Agama belum ada alternatif, kecuali melaksanakan proses pendaftaran ibadah haji seperti yang sudah berlangsung," ujarnya.

Kepentingan jamaah Suryadharma mengatakan, tidak ada yang dikhawatirkan oleh Kemenag jika moratorium tersebut dilaksanakan. Kemenag hanya memikirkan kepentingan jamaah.

Terkait dengan pengelolaan dana abadi umat (DAU), Suryadharma mengatakan, semua dana tersebut beserta bunganya diperuntukkan bagi kepentingan jamaah.

"Manfaat untuk siapa? Bukan untuk Kemenag. Bonus atau insentif sepenuhnya untuk jamaah," tuturnya.

Dikatakannya, dalam setiap pelaksanaan ibadah haji, jamaah tidak membayar seluruh biaya. Contohnya, biaya pelayanan umum yang dibayarkan kepada pemerintah Arab Saudi harusnya 277 dolar AS, namun jamaah hanya membayar 100 dolar, selebihnya 177 dolar dibayar dari dana optimalisasi atau manfaat tadi itu.

Berikutnya biaya asuransi Rp100 ribu tidak dibayar jamaah, kemudian ada semacam subsidi untuk biaya perumahan. Misalkan perumahan dipatok 3.000 real, ternyata harga 3.400 atau 3.500 real, maka sisanya dibayar dari dana tersebut.

"Untuk makan di Jeddah, Madinah, Arofah dan Mina juga tidak mengambil uang haji, tidak dibebankan kepada mereka," kata Suryadharma.

Menurut dia, apa yang disampaikan oleh KPK hanya kekhawatiran kemungkinan diselewengkannya dana haji.
"Saya tegaskan itu baik-baik saja. Memang KPK harus begitu, tetapi harus dicatat, uang itu diaudit oleh BPK, kemudian penetapan biaya haji ditetapkan bersama DPR, bukan sendirian oleh Kemenag," katanya.

Menurut Menag, banyak orang salah paham dan menduga DAU dikorup.

"Ini tidak benar. DAU tidak pernah digunakan satu rupiah pun, lalu darimana ada tuduhan korupsi," kata Suryadharma yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pendapat elit Komisi VIII DPR Ali Maschan Musa menyatakan perlu dilakukan penelitian atau survei pendapat warga masyarakat.

Alasannya, masalah yang kini ramai dibahas pendapat para elit saja, kata Ali Maschan Musa kepada wartawan seusai menjadi pembahas pada pemaparan Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2011 oleh Balitbang dan Diklat Kementerian Agama di Jakarta, Rabu (29/2) sore.

"Soal moratorium menurut saya, masyarakatnya disurvei. Saya khawatir itu pendapat elitnya. Sementara masyarakatnya yang saya ketahui tidak ingin. Mereka khawatir tambah lama lagi (berangkat)," katanya.

Maschan mengatakan, meskipun ada pendapat dari Ketua PBNU atau Ketua Umum Muhammadiyah agar dilakukan moratorium, keputusan akhir dari moratorium sepenuhnya tergantung masyarakat.

"Saya bisa menerima pendapat Ketua PBNU Said Aqil dan Din Syamsuddin (Ketua Umum Muhammadiyah). Tapi yang penting masyarakatnya," kata Guru Besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.

Mengenai lembaga yang akan melakukan survei moratorium haji, menurut Maschan, survei bisa saja dilakukan oleh Kementerian Agama atau lembaga penelitian DPR.

"Survei kan bisa dilakukan lewat telepon atau yang lain, artinya ada dasarnya," ujar wakil rakyat dari PKB ini.

Sementara laporan Litbang Kemenag 2011 menyebutkan, dalam 10 tahun terakhir ini , berbagai persoalan menyelimuti penyelenggaraan haji. Mulai dari katering, pemondokan, kesehatan hingga biaya penyelenggaraan ibadah haji.

Pelayanan penyelenggaraan haji merupakan hal yang kompleks dan melibatkan banyak pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Karena itu Kemenag terus melakukan upaya dalam rangka peningkatan pelayanan terhadap jemaah haji.

"Hasil penelitian yang dilakukan Litbang Kemenag dan BPS menunjukkan bahwa pelayanan penyelenggaraan haji berada dalam kategori baik," kata Ahmad Syafii Mufid peneliti senior Kemenag saat menyampaikan paparan laporan Litbang Kemenag.

Namun demikian lanjut dia, dalam rangka memberikan masukan tentang penyelenggaraan haji perlu terus dilakukan penelitian tentang berbagai aspek terkait dengan penyelenggaraan haji, baik yang dilakukan Kementerian Agama maupun lembaga penelitian lainnya.

Seorang tokoh masyarakat yang tak mau disebut jati dirinya mengatakan, jika perlu Kementerian Agama meminta fatwa MUI terkait dengan moratorium pendaftaran haji. Pasalnya, wacana moratorium sudah memasuki ranah hukum Islam. Bukan semata pendapat para elit, yang kerap dikemukakan bermuatan motif   kepentingan tertentu. Terlebih penyelenggaraan haji dewasa ini, dengan pengelolaan dana besar, sudah dijadikan "komoditas politik". Para elit, memasuki 2014 memang tengah mencari "panggung". Pada 2014, akan dilaksanakan pemilihan umum .

Jika soal pokok saja bisa dimintai fatwa kepada MUI, mengapa harus ribut dengan moratorium. Fatwa MUI, untuk hal ini memang perlu, karena lembaga itu punya otoritas untuk menjauhkan ranah ibadah dengan kepentingan lain.



0 komentar:

Posting Komentar