Catatan Edy Supriatna -Mustahil bin mustahal, kata Ahmad, orang Betawi
ketika diceritakan bahwa di tanah air dewasa sudah berdiri sebuah masjid dengan
panggilan Masjid Mekkah.
Dengan
nada penuh heran, Ahmad yang baru menunaikan ibadah haji pada musim haji 1432,
lantas balik bertanya kepada pembawa cerita. Bila memang ada, dimana masjid
itu? Kapan dibangun dan siapa pula yang memberi nama sebagai Masjid Mekkah.
Apakah ada riwayat tersendiri dengan sebutan Mekkah?
Pertanyaan
seperti Ahmad itu juga terlontar dari umat Muslim lainnya yang baru pulang
beribadah haji saat mendengar certa bahwa di Indonesia kini sudah berdiri
Masjid Mekkah. Jika berbicara kemungkinan, tentu bisa saja terjadi. Tetapi,
dimana dan bagaimana bentuk masjid yang menyandang sebutan kota Mekkah itu.
Di
Mekkah, memang ada masjid terbesar di dunia, Masjidil Haram. Di kota Mekkah pun
banyak masjid di berbagai lokasi pemukiman. Tetapi, mengapa ada masjid
menggunakan nama kota Mekkah. Bisa jadi jika cerita itu benar, maka merupakan
peristiwa yang pertama di Indonesia.
Sayangnya,
untuk mencari Masjid Mekkah tergolong sulit. Sebab, masjid itu jika dicari di
dalam peta tak bakal dapat dijumpai. Pasalnya, selain masjid itu tak terlalu
besar juga tak memiliki papan nama seperti masjid-masjid yang ada di tanah air.
Kebanyak masjid memiliki papan nama dan alamat jelas. Bahkan, agar lebih
dikenal luas, pengurus masjid menempatkan nama masjid besar-besar pada dinding
masjid bersangkutan. Dan karena sulit dicari, lantas orang banyak berkesimpulan
“jangan-jangan” Masjid Mekkah cuma cerita saja. Ada suara tapi jika dicari
sukar dijumpai wujudnya.
Di
Surabaya – Masjid Jamik Mekkah, demikian sebutan lengkapnya, sudah berdiri
sejak 2005. Tepatnya di Jalan Bendul Merisi Indah, Surabaya. Warga sekitar
masjid itu sendiri juga tak banyak tahu. Pasalnya, tulisan Masjid Mekkah hanya
ditulis dengan huruf Arab. Bentuknya kecil, di atas marmer ukuran 30 x 40 Cm
dan ditempel di tembok luar masjid menghadap timur.
Mengapa
sampai disebut Masjid Mekkah? Warga sekitar pun tak mampu menjelaskan latar
belakangnya. Bahkan, para pengurusnya pun mengelak untuk menjelaskan latar
belakang pendirian masjid tersebut. Kalaupun ada keterangan, yang jelas rumah
ibadah itu didirikan dimaksudkan untuk meningkatkan kesalehan sosial dan
ketaqwaan umat muslim kepada Allah.
H.
Satoto Katim, wakil ketua takmir, yang mengaku naik haji pada tahun 1983,
menceritakan bahwa Masjid Jamik Mekkah ukuran masjid 15×15 meter. Ukuran tanah
21×21 dan mulai dibangun pada 2003.
Katanya,
masjid jamik sudah banyak. Ditambahi dengan nama Mekkah lantaran masjid itu
dapat bantuan dari orang Arab di Mekkah, melalui Yayasan Arab Nidaul Fitrah.
Kebetulan
lagi, lanjut dia, Ketua Takmir Masjid Jammi Mekkah, H. Saiful, yang juga
menjadi ketua RW II di kawasan tersebut, sering ke Arab. Ia banyak kenal orang
Arab lantaran setiap tahun pergi umroh.
Satoto
menyebut, pembangunan masjid, dengan daya tampung 300 orang, itu menghabiskan
dana Rp700 jutaan. Sebanyak Rp300 juta berasal dari Arab. “Dengan demikian, ke
Mekkah gak usah jauh,” katanya dengan nada bercanda.
Ketua
Takmir Masjid Jamik, drh. H. Saiful, yang dijumpai secara terpisah, mengatakan,
masjid tersebut diperkirakan mulai difungsikan secara penuh pada 2005. Ia
mengaku pergi haji pada 2006. Karena itu ia menolak jika masjid itu dibangun
dikaitkan sumbangannya sehingga masjid mungil dan indah itu dapat berdiri. “Itu
nggak ada hubungannya. Karena orang haji kan nggak boleh bilang begitu. Itu
semua karena Allah,” ia menjelaskan.
Berdoa
– Namun diakui ketika berada di Mekkah banyak berdoa agar dapat dimudahkan
membangun masjid. Sepulang dari ibadah haji, ia tak memiliki uang untuk
membangun masjid. Maka, jadilah ia sebagai pengurus masjid. “Saya juga menjadi
pengurus masjid An Nur di Bendul Merisi sudah tujuh tahun. Menjadi pengurus
masjid dekat rumah saudara di Bogor, Jawa Barat. Alhamdulilah, sejak saat itu
rezeki lancar,” kata Saiful, yang kini menjadi Direktur Marketing PT Wonokoyo,
perusahaan pakan ternak di Surabaya.
Alumnus
fakultas kedokteran hewan Unair Surabaya itu juga minta agar sumbangannya
terhadap pembangunan masjid tidak dibesar-besarkan. Hal itu bisa saja
melahirkan rasa ria yang bisa mengganggu kesalehan sosial seseorang.
Dr KH
Imam Ghazali Said MA, pengasuh pesantren An-Nur Surabaya mengatakan, pihaknya
tahu sejarah berdirinya masjid tersebut. Masjid milik orang salafi. Sebelum
berdiri, para penggagas pembangunan masjid tersebut minta bantuan dirinya,
karena saat itu status tanahnya itu milik Pemkot Surabaya. “Mereka ingin tanah
itu dilepas untuk kepentingan sosial, insya-allah akan selesai dalam 2-3 tahun
ke depan,” cerita Imam Ghazali.
Ia
mengatakan, masjid itu memang dibangun atas bantuan Rabithoh Alam Islamiah. Hal
itu bisa dilihat pada prasasti masjid. Tapi, yang jelas, mayoritas besarnya
dana pembangunan datang dari seorang janda di daerah itu. Janda itu punya nazar
untuk membangun masjid sepulang dari haji. Dinamakan Masjid Jamik Mekkah karena
nazar sepulang menunaikan ibadah haji.(ant)
0 komentar:
Posting Komentar