Catatan Edy Supriatna - Jakarta,
3/7 (Antara) - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengaku banyak belajar
tentang hak asasi manusia (HAM) dari almarhum Munir, meski demikian wawasannya
tentang hal itu hingga kini masih terbatas.
"Almarhum
Munir bukan sekedar teman, tetapi juga sahabat yang banyak memberi pemahaman
tentang HAM kepada saya semasa hidupnya," kata Lukman sebelum memberikan kuliah
umumnya di hadapan sejumlah para penggiat HAM di Auditorium Langen Palikrama,
Jakarta Pusat, Rabu (2/7/) malam.
Pemikiran
Munir Said Thalib banyak mewarnai penempatan HAM dalam konstitusi. Kerja keras
Munir telah berhasil membangun kesadaran terhadap tegaknya harkat manusia dalam
HAM.
Tampil
mengenakan baju batik tanpa songkok di atas podium, Menag di hadapan para
penggiat HAM kembali menegaskan bahwa dirinya tak cukup banyak memahami HAM.
Wawasannya dalam hal ini sangat terbatas. Karena itu jika materi yang
disampaikan dianggap sebagai kuliah umum, menurut dia, sesungguhnya tidak
tepat. Namun lebih tepat disebut sebagai sharing atau berbagi pengalaman.
Jadi,
jika hal itu sebagai materi kuliah sama saja dengan pekerjaan menggarami
lautan. Pemahaman tentang hal HAM lebih tepat disampaikan Karlina Supelli,
pakar HAM perempuan Indonesia yang banyak aktif dalam aktivitas isu-isu
kemanusiaan.
Dan,
sebagai ungkapan rasa syukur bahwa dirinya diberi kesempatan dan kehormatan berbicara
di hadapan para aktivis HAM, Menag Lukman mengajak hadirin untuk membacakan
surat Al Fatiha bagi almarhum Munir.
Ia
menambahkan, sebelum menghadiri acara tersebut, sepekan sebelumnya didatangi
istri mendiang aktivis HAM Munir, Suciwati.
Menag
mengatakan menyanggupi permintaan tersebut. Terlebih almarhum Munir memiliki
jasa besar dalam pemahaman HAM di Tanah Air.
Mengawali ceramah dengan tema Ramadhan dan HAM, Lukman menyebut bahwa dalam
prespekatif Islam banyak contoh yang dilakukan para ulama terkemuka seperti
Syekh Saketi dan Syeikh Junaid al Baghdadi, seorang sufi terkemuka.
Namun
dalam pemahaman Islam, lanjut dia, ada syariat yang harus dilaksanakan dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Syariat itu menyangkut lima hak
dasar,yaitu: Pertama menjaga kesucian agamanya. Setiap umat Islam dituntut
untuk menjaga kesucian dengan memupuk akidah atau keyakinannya kepada Allah
melalui aktivitas keagamaannya sehari-hari. Hak ini kemudian dikenal
sebagai Hifduddin.
Kedua, Hifdunnafsi
yang artinya menjaga kehormatan dirinya. Tujuannya setiap muslim
khususnya agar memiliki rasa tanggung jawab terhadap dirinya
sendiri, memelihara dirinya agar tidak terjerumus dalam jurang kenistaan.
Ketiga Hifdul 'aql, yaitu menjaga akal. Keempat Hifdun Nafs (menjaga keturunan)
dan kelima Hifdul Mall (menjaga harta). Kelima hak dasar ini jika dijabarkan
tentu punya dimensi luas untuk menjaga harkat dan martabat manusia.
Ia
mengatakan, Esensi ajaran setiap agama adalah mengajak umatnya untuk
memanusiakan manusia. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi manusia yang
dilanggar hak-haknya, apalagi pelanggaran itu dilakukan dengan mengatasnamakan
agama.
Menag
mengatakan bahwa agama selalu mengajak kepada kedamaian dan
keselamatan, bukan membuat perpecahan. Ajaran Agama bertujuan mewujudkan
perdamaian, persatuan, dan hal-hal positif.
Menag
pun mengajak umat Islam untuk tidak menjadikan agama sebagai alat untuk memecah
belah. "Jangan jadikan agama sebagai alat memecah belah, mendiskreditkan
satu dan yang lain atau menjelekkan satu dengan yang lain," ungkap Menag.
"Jangan sampai agama menjadi faktor yang memisahkan antara umat
manusia, karena tidak ada satupun agama yang mengajarkan perpecahan,
permusuhan, dan pertikaian," tambahnya.
Menag
menambahkan bahwa Pemerintah bersama-sama masyarakat dan tokoh agama terus
berusaha untuk membina kerukunan antar umat beragama demi
kemaslahatan atau kemanfaatan bersama yang bisa dirasakan umat manusia.
Terkait dengan HAM, ia mengatakan, hak pada setiap manusia harus dijaga, harus
dilindungi, itu adalah hak yang tanpa batas. Tapi bagaimanapun juga kebebasan
kita dibatasi karena ada kebebasan orang lain," katanya.
Setiap orang wajib menghargai HAM, oleh karena itu hak yang melekat pada orang
lain wajib dihargai, dan menjadi pembatas bagi hak pribadi.
Pemahaman HAM yang salah adalah HAM tanpa batas, soal kebenaran mutlak.
Orang-orang semacam itu merasa dirinya paling benar, menjadikan pembenaran
untuk memaksakan pemahamannya ke orang lain.
"Maka dia kemudian merasa berhak memaksakan keyakinan yang dimilikinya ini
ke orang lain, ini problem kita," ujarnya.
Dalam
Islam pun HAM juga sudah dijelaskan dengan baik di kitab suci. Ia menyinggung
cerita Nabi Nuh AS, yang tidak mampu menyelamatkan anak dan istrinya ketika
banjir bandang datang. Nabi Nuh pun, lanjut Lukman, tak memaksakan pemahamannya
kepada keluarganya untuk percaya soal banjir bandang.
Untuk itu
ia berharap Omah Munir dapat menjadi salah satu institusi yang bisa
memberikan pemahaman yang benar tentang HAM, sehingga mengurangi pergesekan
terkait hak yang melekat itu.
0 komentar:
Posting Komentar