Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

HISAB DAN RUKYAT BAGAI "MINYAK DAN AIR"

Written By Unknown on Rabu, 25 Juni 2014 | 03.44


Catatan Edy Supriatna - "Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertakwa". (Al-Baqarah: 183)  

      Ramadhan sudah mendekat. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, kesibukan menyambut bulan suci tersebut semakin terasa. Para ulama dan ustadz kerap mengutip ayat di atas untuk mengingatkan umat Islam agar segera menyambut bulan mulia, Ramadhan.


          Sebagai persiapan menghadapi Ramadhan banyak cara ditempuh, antara lain melakukan ziarah kepada para orangtua di sejumlah pemakaman. Bagi sesama teman, dilakukan saling memaaf-maafkan dengan harapan dalam menjalankan ibadah terasa makin ringan karena tak memiliki ganjalan dalam konteks  bahwa setiap ibadah diarahkan untuk meningkatkan hubungan vertikal dan horizontal, yaitu habluminallah dan habluminnas.  

      Tak kalah sibukanya bagi kalangan ibu-ibu. Selain melakukan ritual ibadah amaliyah dengan orangtua dan kerabat dekat, juga mendatangi sejumlah mal atau pusat perbelanjaan. Terasa aneh memang. Kecenderungan para ibu rumah tangga dewasa ini bukan lagi mendekat saat Idul Fitri, tapi justru menjelang memasuki ibadah Ramadhan.


         Banyak di antara para ibu lebih suka menyibukan diri jauh hari sebelum puasa. Pasalnya, tak ingin ibadah puasa dan ritual lainnya terganggu akibat dari "penyiksaan diri" untuk berbelanja. Jadi, mereka sibuk membeli pernik dan tetek bengek untuk kebutuhan Lebaran atau Idul Fitri. Biasanya, para ibu membeli pakaian jadi untuk keluarga, dan peralatan lain untuk mempercantik suasana kediaman, atau rumah pribadi masing-masing.

          Coba tengok, menjelang Lebaran 2014 ini, tingkat keramaian kunjungan di Pasar Tanah Abang meningkat tajam dalam sebulan terakhir.  Coba pula perhatikan para pembeli di pasar terbesar di Jakarta itu.  Pembeli umumnya terdiri dari para ibu rumah tangga, wanita karir dan profesional. Jika diperhatikan dari logat bahasa yang digunakan pun sangat beragam. Jika penjualnya orang "awak" atau Padang, maka pembelinya cepat menyesuaikan diri menggunakan bahasa etnis dari si pedagang. Juga demikian, berlaku untuk transaksi para pedagang dan pembeli dari daerah lainnya. Tujuannya, agar si pembeli dapat diskon atau membeli barang lebih murah.

           Sesungguhnya tak demikian. Yang namanya pedagang, tak mau kehilangan momentum "lebaran". Hukum besi tetap berlaku. Permintaan tinggi harus pula disesuaikan dengan daya jual. Artinya, harga tetap mahal. Tapi, di mata pembeli tidaklah demikian. Pasar Tanah Abang tetap jauh lebih murah dibanding mal atau pasar lainnya. Karena itu, banyaknya ibu dari berbagai profesi - se-Jabotabek - berbelanja ke pasar tersebut selain untuk kebutuhan sendiri juga untuk dijual kembali ke daerah lain.

           Pasar Tanah Abang kini banyak didatangi pembeli dari berbagai ibu dari seluruh Indonesia. Coba saksikan, di ruang parkir pasar itu, banyak ibu menggunakan mobil dengan plat nomor dari berbagai daerah di Pulau Sumatera. "Jauh-jauh kok belanjanya ke Tanah Abang," kata seorang pengunjung ketika berceloteh sesama rekannya di eskalator.

          Di berbagai daerah, kesibukan menyambut Ramadhan juga sangat beragam. Di Jakarta, banyak anggota keluarga selain mendatangi makam orangtua atau famili terdekat di sejumlah Pemakaman Umum (TPU) juga ditandai dengan mengunjungi orang tertua. Biasanya kunjungan itu disertai membawa makanan seperti rendang dan ketupat atau pun membawa sayur ikan bandeng. Kunjungan ini dapat dimaknai untuk memperkuat silaturahim.

           Di daerah lain, menyambut Ramadhan juga dilakukan dengan beragam. Ada sebagian warga mandi bersama di sungai. Tapi belakangan ini sudah mulai berkurang. Untuk masyarakat Betawi, dahulu ada. Namun belakangan berkurang dan hanya dilakukan dengan cara melakukan keramas rambut menggunakan merang yang dibakar. Lambat laun, kebiasaan ini, hilang seiring makin sulitnya mendapatkan merang di berbagai tempat. Maklum, sawah pun sudah berubah menjadi rumah petakan untuk kontrakan.
    
Obrolan Penentuan Puasa

      Perhatian warga, khususnya bagi orang Betawi menghadapi bulan puasa atau Ramadhan terlihat pada obrolan ketika saling bertanda ke kediaman orangtua atau kerabat dekat.


           "Ente kapan puasanye," begitu biasanya orangtua menanyakan kepada orang muda yang berkunjung ke kediamannya saat-saat memasuki Ramadhan.

           "Kalao ane kong, ikut pemerintah aje.  Liat siaran tipi (televisi, red) di rumah. Enti (nanti) juga ketauan, kapan arus puase," jawab sang cucuk yang usianya sudah akil balig.

           "Iya deh. Babe lu juga sama engkong, dari dulu kalo puasa ikut pemerintah. Pemerintah kan ulil amrie," jawab si engkong kepada si cucu. Di sisi cucu yang mulai beger (dewasa), bertanya balik kepada sang kakek.

            "Ulil amri itu ape, kong?" tanyanya.

            "Lu enggak tahu rupanye. Itu, putusan pemerintah yang harus dipatuhi. Putusannya juga dari hasil sidang (itsbat). Orang-orangnya nyang ikut sidang dari pondok pesantren keren dan pimpinannye beken-beken," jawab si engkong menjelaskan. Dan si cucu pun hanya manggut-manggut. Maklum, jawaban seperti itu sudah sering didengar di tempat pengajiannya, mushola terdekat.

           Sebagian orang Betawi, penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal kerap menjadi perhatian karena persoalannya tetap klasik namun menarik. Dua paham yang ingin disatukan tak kunjung selesai. Bagai minyak dan air berada di tempat yang sama. Tetapi hal ini tetap menjadi penting karena, pertama bagi kalangan ibu rumah tangga, sebagai kesiapan menyediakan makan sahur dan taraweh.  Pada awal Syawal, juga terkait dengan jadwal memasak ketupat dan tetek bengek lainnya.

           Kedua, mereka menyadari, menyegerakan berbuka puasa pun menjadi penting. Puasa pada saat lebaran, sesuai dengan ajaran yang diterima dari kalangan ustadz mereka, hukumnya adalah haram. Karena itu, diskusi penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal selalu menjadi menarik tiap tahun. Apa lagi tatkala terjadi penentuan awal Ramadhan hasilnya berbeda antarsesama organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam.

            Berbagai media onlie seperti Kompas, Antara dan sejumlah media online telah memberitakan bahwa akan terjadi lagi perbedaan penentuan permulaan bulan Ramadhan  pada 1435 Hijriah atau 2014 Masehi. Hakim L Malasan, dosen astronomi di Jurusan Astronomi, Institut Teknologi Bandung, baru-baru ini, menyatakan perbedaan terjadi sebab adanya dua paham dalam penentuan awal Ramadhan, atau secara umum awal kalender Hijriah.

           Metode pertama mendasarkan pada perhitungan astronomis dan matematis, disebut hisab. Cara kedua adalah berdasarkan visibilitas atau penampakan hilal atau bulan baru, disebut rukyat.

            Kriteria hisab sebelumnya disebut kriteria wujudul hilal. Muhammadiyah sebagai Ormas penganut prinsip ini. Yaitu, bulan baru ditentukan hanya dengan perhitungan.

            Dalam perkembangannya, ada kriteria hisab imkan rukyat yang disusun oleh tim Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) sebagai upaya menyatukan perbedaan antara hisab dan rukyat. Perbedaan awal Ramadhan tahun ini didasarkan pada kemungkinan hilal untuk diamati.

            Hakim mengatakan, "Tanggal 27 Juni petang, jarak antara tenggelamnya Bulan dengan Matahari cuma 3 menit."

       Saat bulan baru, Matahari, Bumi, dan Bulan terletak pada satu garis lurus. Bulan dan Matahari tenggelam pada waktu yang hampir bersamaan. Dengan begitu, pihak yang menganut wujudul hilal, permulaan puasa sudah bisa ditetapkan, yaitu pada 28 Juni 2014 sebab dasarnya hanya perhitungan.


            Muhammadiyah pada Senin (16/6/2014) menyatakan bahwa puasa dimulai pada 28 Juni 2014. Sementara yang menganut imkan rukyat, awal puasa sulit ditetapkan pada tanggal itu.  Pasalnya, jaraknya cuma sebentar. Maka pengamatan hilal akan sulit.

           Cahaya Matahari terlalu menyilaukan sehingga pengamat di Bumi cenderung kurang sensitif dalam melihat bulan baru yang berbentuk sabit supertipis. "Jadi mereka yang mendasarkan pada imkan rukyat akan menyatakan bahwa Ramadhan jatuh pada 29 Juni 2014," jelas Hakim.

           Pada 18 Juni 2014 petang, jarak tenggelamnya Bulan dan Matahari sudah cukup lama, sekitar 1 jam.  Dari cara pandang itu, maka logis dua organisasi kemasyarakatan Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) akan berbeda dalam mengawali Ramadhan 1435 Hijriah.  

      "Muhammadiyah menetapkan awal puasa jatuh pada 28 Juni 2014. Dasarnya menurut Hisab Hakiki dengan kriteria Wujudul Hilal. Agaknya, Ramadhan akan berbeda lagi, tapi Lebaran bareng kok," kata Sekretaris Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur H Nadjib Hamid di Surabaya, Senin (16/6/2014).


            Dengan dasar itu, menurut dia, maka ijtimak (kesepakatan) menjelang Ramadan terjadi pada Jumat 27 Juni 2014, pukul 15.10 WIB. Saat matahari terbenam, hilal (rembulan usia muda yang menjadi tanda pergantian awal kalender) sudah wujud berketinggian 31 menit dan 17 detik.

            "Artinya, 27 Juni malam sudah salat tarawih. Jadi, diperkirakan tidak bersamaan lagi, karena kurang dari 2 derajat, tapi Hari Raya Idul Fitri akan bersamaan," jelas Nadjib.

            Wakil Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur HM Sholeh Hayat yang juga koordinator Rukyatul Hilal PWNU Jatim menegaskan awal Ramadhan 1435 H jatuh pada hari Minggu 29 Juni 2014 sekitar pukul 15.20 WIB sore dengan posisi hilal 0,085 derajat. "Karena posisi hilal yang sulit dirukyat itu, maka bulan Syaban diistikmalkan (disempurnakan) menjadi 30 hari. Tapi hal itu masih merupakan hasil hisab dan NU masih akan melakukan rukyatul hilal," katanya.

            Dosen astronomi di Jurusan Astronomi, Institut Teknologi Bandung Hakim L Malasan mengungkapkan, teknologi sebenarnya bisa menyelesaikan permasalahan perbedaan awal puasa, misalnya dengan teleskop yang lebih canggih atau astrofotografi.

           Namun, yang lebih dibutuhkan adalah kemauan untuk mengubah pandangan dan keterbukaan sehingga awal ibadah puasa dan hari raya Idul Fitri bisa disatukan. Menurut Hakim, menoleransi perbedaan saja tidak cukup. Pemerintah perlu berperan sehingga awal ibadah dan hari raya sesama umat bisa disatukan.

           Bagi warga Betawi, - termasuk umat Islam di berbagai daerah lain - perbedaan dalam menjalankan ibadah Ramadhan dan 1 Syawal atau Lebaran sudah terbiasa. Idealnya, umat Islam taat ulil amri, hasil sidang itsbat (penetapan) yang difasilitasi Kementerian Agama pada Rabu (27/6). Saat itu seluruh Ormas Islam diundang dalam sidang ini. Proses sidang akan dilakukan dalam tiga sesi di tiga tempat (ruangan) yang berbeda di Gedung Kementerian Agama. Apa pun keputusannya, idealnya umat Islam ikut.


           Pesan Al Quran dengan tegas menyatakan: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu adalah yang terbaik untuk kalian dan paling bagus dampaknya." (QS. an-Nisaa: 59).

0 komentar:

Posting Komentar