Catatan Edy Supriatna - Jakarta, 26/6 (Antara) -
Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin berharap penetapan awal Ramadhan
atau awal bulan Qamariyah (Hijriyah) dapat ditemui terobosan baru dan diakui
semua pihak, tanpa dikotomi dan diskriminasi.
"Saya
berharap, saresehan ini kali, ada sebuah terobosan baru dalam proses penetapan
awal bulan Qamariyah, terutama Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah," kata Menag
saat membuka "Saresehan Mencari Titik Temu Awal Ramadhan 1435 H" di
Jakarta, Rabu malam. Sarasehan diselenggarakan Direktorat Urusan Agama Islam
dan Pembinaan Syariah, Ditjen Bimas Islam, berlangsung di Hotel
Millenium.
Menag
melihat hal itu sangat penting, agar penetapan awal bulan semaksimal mungkin
bisa diakui oleh semua pihak, tanpa dikotomi dan diskriminatif.
Dalam
penentuan awal bulan Qamariyah, baik di Indonesia maupun di beberapa Negara
Islam, kerap kali terjadi perbedaan. Dampaknya, masyarakat bawah yang butuh
kepastian, rentan bergesekan. Perbedaan terjadi karena banyaknya sistem hisab
yang berkembang di masyarakat dan kriteria-kriteria yang digunakan. Di samping
juga sisi sosial astronomis maupun sosial agama yang mengiringi penetapan
tersebut.
Menentukan
awal bulan Qamariyah, ia menjelaskan, menjadi tugas dan kewajiban Kemenag.
Sejak 1962, atas nama Pemerintah, Kemenag melakukan Sidang Itsbat (penetapan)
awal bulan Ramadhan. Hasil hisab dan rukyat hilal, dikaji bersama, baik oleh
Kemenag, organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam, dari kalangan akademis atau
perguruan tinggi, dan lain sebagainya, untuk memberi pertimbangan kepada Menag
sebelum diambil keputusan.
Lukman
menyatakan, keputusan Menag harusnya bersifat resmi dan mengikat, agar umat
mempunyai kepastian dan tidak tercerai berai. Meski demikian, jika terpaksa
karena beberapa hal, ada masyarakat yang berbeda dengan keputusan Menag, maka
jangan sampai perbedaan tersebut membuat masyarakat berkonflik.
"Semoga
saresehan ini mampu mencari titik temu, mencari sebuah solusi yang bisa
menyatukan berbagai perbedaan dalam ormas Islam," ia berharap.
Sebelumnya,
Pgs Dirjen Bimas Islam, Abdul Djamil mengatakan bahwa Indonesia bersama
negara-negara MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura)
sepakat untuk menentukan beberapa patokan syarat-syarat penentuan awal bulan
Qamariyah.
MABIMS sepakat dalam beberapa patokan penentuan awal bulan, semisal tinggi hilal minimal 2 derajat dengan waktu minimal 8 jam, dan lain sebagainya, kata mantan Rektor IAIN Walisongo Semarang ini.
Djamil
menyatakan bahwa Ditjen Bimas Islam bahkan pernah mengikuti Saresehan di Turky
tentang penentuan awal bulan. "Hasil di Turky adalah, peserta sepakat
untuk berbeda," terang Djamil.
Menurut
Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat, Izzuddin, saresehan ini diikuti
tidak kurang dari 37 perwakilan Ormas Islam se-Nusantara, dan bertujuan untuk
menyamakan persepsi antar-ormas, agar saat sidang Itsbat berlangsung,
masing-masing perwakilan ormas dapat memecahkan perbedaan sebaik mungkin.
0 komentar:
Posting Komentar