Catatan Edy Supriatna - Bandung, 18/7 (Antara) - Demokrasi
sehat yang dikembangkan dewasa ini bakal "nyungsep" (terbalik) jika
pers dikelola tidak bijak, bahkan kebebasan pers yang terus diperjuangkan para
awak media bakal gagal.
"Demokrasi dan kebebasan pers harus hidup sehat di tengah
masyarakat," kata Ketua Dewan Penasihat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Tarman Azzam pada workshop peningkatan peran jurnalis di Bandung, Jumat.
Tarman bicara hal tersebut dalam kaitan peran media massa dalam pengelolaan
kerukunan umat beragama di Indonesia.
Sebanyak 55 orang dari berbagai media massa di Jawa Barat, Banten dan wartawan
unit Kementerian Agama hadir dalam workshop tersebut.
Ketua Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL) tersebut sempat menguraikan hal sensitif
yang dihadapi pers, problema universal negara dan zona konflik (agama).
Berbicara kebabasan pers, ia menegaskan tidak ada satu negara pun hancur karena
ulah pers sejauh pers tetap menghormati hukum, etika dan nilai-nilai
masyarakat. Mayoritas "nation state" menganut demokrasi lebih makmur
ketimbang otoriter.
Kebebasan pers memperluas ruang dan membangun komunikasi atau dialog antara
pemimpin dan rakyat, pusat dan daerah, antarwilayah, ras atau etnis, agama,
golongan/kelompok untuk memperkuat negara, katanya.
Namun dalam realitas dan praktek dalam pers tidak lepas dari sistem politik dan
demokrasi. Demokrasi Indonesia masih berproses cari format yang tepat. Di sisi
lain pers reformasi yang maju terasa liberal dan kapitalis. Hal itu ditandai
sumber daya manusia lulusan perguruan tinggi - yang menghasilkan tenaga
terampil - kurang diimbangi dengan pemahaman etika. Terkesan rada "cuek
terhadap hukum dan etika. "Saya prihatin," katanya.
Ia mengakui kini posisi pers diperkaya dengan "social media". Tapi
masih perlu diperkuat dengan infrastruktur hukum dan eika terkait dengan
problem besar "cyber law".
Ia juga menjelaskan bahwa perkembangan demokrasi bagi pers di era reformasi
terkait dengan kebebasan beragama di Tanah Air. Harus dihindari pers
ditunggangi/diperalat untuk menghantam lawan, balas dendam, porno, fitnah,
hasut, "character assasination".
Tantangan pers di era globaliasi terasa makin berat, terutama menyangkut
idependensi media dan 'social media'.
Ia mengutip pendapat Walter Lippman yang menyebut bahwa walaupun buruk,
demokrasi tetap lebih baik daripada dengan peluru. Karena itu. lanjut Tarman,
bagaimana kedepan mengawal dan menyempurnakan demokrasi Indonesia agar sehat.
Ia mengingatkan jajaran pers agar menghormati kemerdekaan pers yang
profesional, bermartabat, alat juang nasional dan alat demokrasi untuk
diabdikan kepada negara dan rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar