AKTUALISASI
UU PENYELENGGARAAN HAJI
Catatan Edy Supriatna-Nota kesepahaman (memorandum of understanding atau MoU)
antara Kementerian Agama dan Polri sejatinya merupakan wujud aktualisasi dari
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji.
Nota kesepahaman tersebut ditandatangani Inspektur
Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Fajar Prihantoro dan Dirjen PHU Anggito Abimanyu di Jakarta, Selasa (19/3). Dalam
acara tersebut juga hadir Kepala Pendidikan Polri Komjen Pol Budi Gunawan,
Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Abdul Djamil, dan Irjen
Kemterian Agama M. Jasin.
Menteri Agama Suryadharma Ali ketika memberi sambutan
mengungkap bahwa penyelenggaraan haji kini sudah memasuki ranah bisnis; bukan
sekedar ibadah. Sehingga harus diatur.
Aturan itu adalah Undang-Undang No.13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan
ibadah haji dan umrah. “Karena perjalanan haji dan umrah berbeda dengan
perjalanan lainnya, seperti wisata ke negara lain, maka diperlukan pengawasan
dan sebagai penyelenggaranya adalah menteri agama,” kata Menag.
Untuk itu, penyelenggaraan haji dan umrah pun harus
diatur dan mengindahkan aturannya. Penyelenggara perjalanan haji dan umrah
harus memiliki izin. “Jika ada penyelenggara ibadah haji yang nakal, maka perlu
ditindak guna melindungi jamaah itu sendiri,” tegas Menag.
Lebih jauh, Menag mengatakan bahwa karena ibadah tersebut
menyangkut bisnis dan daftar tunggu sampai rata-rata 12 tahun, maka minat ke
tanah suci memiliki daya tarik sendiri dan dari tahun ke tahun makin tinggi.
Untuk ini perlu adanya ketertiban agar jamaah tidak terlantar dan terlayani
dengan baik.
Suryadharma Ali mengakui bahwa banyak jamaah tertipu oleh
penyelenggara haji dan umrah yang tak memiliki izin. Bahkan ada penyelenggara
haji berizin pun melakukan pelanggaran. Untuk ini diharapkan ke depan pihaknya
bersama Polri bisa menertibkan. Muara dari nota kesepahaman itu adalah adanya
penegakan hukum sehingga jamaah dapat terlayani dengan baik, baik ketika dalam
perjalanan maupun ketika melaksanakan ibadah di tanah suci, Mekkah dan Madinah.
“Polri harus proaktif,” harap Menag.
Sementara itu, Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen
Fajar Prihantoro dalam sambutannya atas nama Kapolri Jendral Polisi Timur
Pradopo mengatakan, pihaknya memang harus proaktif dalam menertibkan
penyelenggara haji dan umrah.
Diakui setiap tahun kerap terjadi adanya penyelenggara
haji dan umrah menelantarkan jamaahnya. Pembenahannya, kata Kapolri, perlu
dilakukan dari hulu hingga hilir sehingga pelayanan kepada masyarakat ke depan
semakin baik. Kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman itu diharapkan
menghasilkan satu persepsi untuk terwujudnya penyelenggaraan haji dan umroh
yang lebih baik.
“Pihaknya berharap setelah nota kesepahaman
tersebut ditandatangani seluruh pemangku kepentingan dapat segera
mensosialisasikannya. Dengan cara itu, masyarakat dapat mengetahui,” kata
Fajar.
PELAYANAN KHUSUS
Mencermati Undang-Undang Penyelenggaraan
Haji, pada Pasal 38 UU Nomor 13 tahun 2008 ayat (1) disebutkan bahwa dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah
Haji bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan khusus, dapat diselenggarakan
Ibadah Haji Khusus yang pengelolaan dan pembiayaannya bersifat khusus. Untuk itu, pada ayat (2) dikemukakan Penyelenggaraan
Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang
telah mendapat izin dari Menteri.
Pada Pasal 39
dikemukakan bahwa Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (disingkat
PIHK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, yang akan diberi izin oleh Menteri,
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) terdaftar sebagai penyelenggara perjalanan
umrah; (b) memiliki kemampuan teknis dan
finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Haji Khusus; dan (c) memiliki komitmen
untuk meningkatkan kualitas Ibadah Haji.
Pada Pasal 40 dikemukakan PIHK wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut: (a) menerima pendaftaran dan melayani
Jemaah Haji hanya yang menggunakan Paspor Haji; (b) memberikan bimbingan Ibadah Haji; (c) memberikan layanan Akomodasi, konsumsi,
Transportasi, dan Pelayanan Kesehatan secara khusus; dan (d) memberangkatkan, memulangkan, dan melayani
Jemaah Haji sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara penyelenggara dan
Jemaah Haji.
Pada Pasal
41 diatur PIHK yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 dikenai sanksi administratif sesuai dengan tingkat kesalahannya,
yang berupa: (a) peringatan; (b) pembekuan izin penyelenggaraan; atau (c) pencabutan
izin penyelenggaraan.
Aturan yang sama juga diberlakukan bagi
penyelenggara perjalanan ibadah umroh (selanjutnya disingkat PPIU) yang diatur dalam
Pasal 43.
Perjalanan Ibadah Umrah dapat dilakukan
secara perseorangan atau rombongan melalui PPIU. PPIU dilakukan oleh Pemerintah
dan/atau biro perjalanan wisata yang ditetapkan oleh Menteri.
Pada Pasal
44 ditegaskan bahwa Biro
perjalanan wisata dapat ditetapkan sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) terdaftar
sebagai biro perjalanan wisata yang sah; (b) memiliki kemampuan teknis dan finansial
untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah; dan (c) memiliki komitmen untuk meningkatkan
kualitas Ibadah Umrah.
Tentu saja, PPIU wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
menyediakan pembimbing ibadah dan petugas kesehatan; memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai
dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi dan ketentuan peraturan
perundang-undangan; memberikan pelayanan
kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara
penyelenggara dan jemaah; dan melapor
kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab
Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia.
PPIU yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dikenai sanksi administratif
sesuai dengan tingkat kesalahannya, yang berupa: peringatan; pembekuan izin penyelenggaraan;
atau pencabutan izin penyelenggaraan.
Sampai saat ini PPIU yang dilaksanakan biro
wisata dan memperoleh izin resmi dari Menteri Agama sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 13 tahun 2008 tercatat 402 penyelenggara. Dari jumlah tersebut, PIHK
sebanyak 254 penyelenggara. Sedangkan penyelenggara umroh saja sebanyak 148
penyelenggara.
Anggito Abimanyu mengatakan, PPIU yang
memperoleh izin dari Kementerian agama dan sebagai provider visa sebanyak 88
penyelenggara yang bekerja sama dengan provider Arab Saudi yang mendapat izin
dari Kementerian Haji Arab Saudi. PPIU yang bertindak sebagai provider tersebut
dapat memberikan visa hanya kepada PPIU yang juga telah memiliki izin dari
Kementerian agama.
PERLINDUNGAN
MASYARAKAT
Anggito Abimanyu menyatakan, tercatat 16 Penyelenggara
Ibadah Haji Khusus (PIHK) melakukan pelanggaran. Dari jumlah itu, 11 di
antaranya dikenai sanksi dan peringatan keras.
Anggito menjelaskan, pelanggaran PIHK pada umumnya berupa
memanfaatkan dana jemaah untuk keperluan pribadi pengurus atas perusahaan,
keterlambatan transfer, melakukan penggantian porsi Jemaah, jemaah gagal
berangkat dan tidak melayani jemaah sesuai perjanjian.
Ke-11 PIHK tersebut adalah PT Oranye Patria Wisata, PT
Tisaga Nurkhotimah, PT Farazah Astatama, Tour & Travel, PT Madani Prabu
jaya, PT Ghadzaz, PT Prima Astuti Sejahtera dan PT Kemang Nusantara. “Mereka
telah diberi peringatan dan ancaman pencabutan izin,” terang Anggito.
Sementara lima PIHK lainnya, yaitu PT Noorhana Pertiwi,
PT Madaniah Semesta Wisata, PT Laser Praktyasa, PT Al Ahram Sarana Wisata, dan
PT Aero Global Indonesia; kelimanya telah melakukan kesalahan yang masih
ditoleransi karena unsur kelalaian.
Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan ini juga menyebut
beberapa nama perusahaan yang tidak memiliki izin dan gagal memberangkatkan
ratusan jemaah, antara lain PT Jabal Rahmah, PT Safarina Niaga Utama dan PT
Aziz Audinia Wisata.
Anggito juga menjelaskan bahwa pada 2013 ini telah
terjadi kasus jamaah umrah terlantar, baik di Indonesia, Malaysia maupun Arab
Saudi, karena penyelenggarannya tidak bertanggung jawab atas kewajibannya.
Mereka adalah PT Padang Arafah yang berdomisili di Jawa Timur (tidak memiliki
izin) dan menelantarkan 500 jamaah di Surabaya.
PT Gema Arofah (punya izin) yang berdomisili di Jakarta,
menelantarkan 98 jamaahnya di Kuala Lumpur disebabkan jadwal yang tidak pasti.
Selain itu, ketika di Arab Saudi, jamaah mereka pun tidak mendapat akomodasi
sebagaimana mestinya.
PT Nuansa Inti Semesta (tidak memiliki izin), 49
jamaahnya terlantar di Arab Saudi karena belum memiliki tiket pulang. PT
Khalifah Sultan Tour (tidak memiliki izin), 194 jamaahnya yang berasal dari
Gorontalo terlantar di Jakarta karena belum memiliki tiket pemberangkatan dan
pemulangan.
Terkait hal ini, Anggito menjelaskan bahwa pihaknya telah
mengambil langkah penyelesaian. Pertama, memastikan kepada PPIU yang bertindak
sebagai provider, yang saat ini berjumlah 88, hendaknya dalam memberikan visa
hanya kepada PPIU yang telah memiliki izin dari Kementerian Agama.
Kedua, melakukan koordinasi dengan kanwil Kemenag, kantor
misi haji di Arab Saudi dan kedubes di luar negeri untuk mengidentifikasi
masalah jemaah umroh di dalam dan luar negeri.
Ketiga, mengimbau masyarakat menggunakan biro perjalanan
haji dan umroh resmi. Keempat, melakukan penanganan administratif hukum kepada
penanggung jawab biro perjalanan dan kelima melakukan kerja sama dengan
kepolisian.
Penyebutan nama-nama perusahaan yang “nakal” tersebut
nampaknya dimaksudkan oleh Anggito agar masyarakat mengetahui sehingga lebih
hati-hati dalam memilih perusahaan penyelenggara haji dan umroh. Tindakan itu semata untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat. Jumlah jamaah haji khusus setiap tahun sekitar
17 ribu. Untuk jamaah umrah tahun 2012, sekitar 500 ribu dan diperkirakan tahun
2013 akan mengalami peningkatan tajam.
Perlunya MoU antara Kemterian Agama dan Polri jelas
memiliki peran penting bagi perlindungan masyarakat. Nota kesepahaman tersebut
merupakan landasan formal untuk kerja sama pengawasan, penertiban dan penegakan
hokum bagi PIHK dan PPIU yang melanggar
aturan atau menelantarkan Jemaah.
Dan sesuai dengan perundangan yang berlaku, pengawasan
dan sanksi administrative hanya bisa dilakukan terhadap operator yang telah
memiliki izin dari Kementerian Agama, baik dalam bentuk peringatan, pembekuan
izin penyelenggaraan.
Kewenangan kepolisian dalam penegakan hukum diharapkan
dapat menertibkan dan meminimalisir potensi penyimpangan melalui tindakan yang
professional dan bermartabat terhadap penyelenggaraan ibadah haji khusus dan
umroh yang merugikan masyarakat berdasarkan laporan, pengaduan atau bukti-bukti
di lapangan.
Jelas saja tujuan dari MoU tersebut dimaksudkan pula
untuk menyelesaikan secara adil dan tuntas atas terjadinya beberapa kasus di
masyarakat yang merugikan pihak operator sendiri, yakni PIHK dan PPIU yang
tergabung dalam asosiasi penyelenggara haji khusus dan umroh seperti (Asosiasi
Muslim Penyenggara Haji dan
Umrah Republik Indonesia/Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji/Himpuh dan Asosiasi
Penyelenggara Haji Umrah &
in-bound Indonesia/Asphurindo) serta calon Jemaah haji khusus dan umroh di
seluruh tanah air.
0 komentar:
Posting Komentar