Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

AKTUALISASI UU PENYELENGGARAAN HAJI

Written By Unknown on Rabu, 11 Juni 2014 | 23.41

AKTUALISASI UU PENYELENGGARAAN HAJI
Catatan Edy Supriatna-Nota kesepahaman (memorandum of understanding atau MoU) antara Kementerian Agama dan Polri sejatinya merupakan wujud aktualisasi dari Undang-Undang Nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji.

Nota kesepahaman tersebut ditandatangani Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Fajar Prihantoro dan Dirjen PHU Anggito  Abimanyu di Jakarta, Selasa (19/3). Dalam acara tersebut juga hadir Kepala Pendidikan Polri Komjen Pol Budi Gunawan, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Abdul Djamil, dan Irjen Kemterian Agama M. Jasin.

Menteri Agama Suryadharma Ali ketika memberi sambutan mengungkap bahwa penyelenggaraan haji kini sudah memasuki ranah bisnis; bukan sekedar ibadah. Sehingga harus diatur.  Aturan itu adalah Undang-Undang No.13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. “Karena perjalanan haji dan umrah berbeda dengan perjalanan lainnya, seperti wisata ke negara lain, maka diperlukan pengawasan dan sebagai penyelenggaranya adalah menteri agama,” kata Menag.

Untuk itu, penyelenggaraan haji dan umrah pun harus diatur dan mengindahkan aturannya. Penyelenggara perjalanan haji dan umrah harus memiliki izin. “Jika ada penyelenggara ibadah haji yang nakal, maka perlu ditindak guna melindungi jamaah itu sendiri,” tegas Menag.

Lebih jauh, Menag mengatakan bahwa karena ibadah tersebut menyangkut bisnis dan daftar tunggu sampai rata-rata 12 tahun, maka minat ke tanah suci memiliki daya tarik sendiri dan dari tahun ke tahun makin tinggi. Untuk ini perlu adanya ketertiban agar jamaah tidak terlantar dan terlayani dengan baik.

Suryadharma Ali mengakui bahwa banyak jamaah tertipu oleh penyelenggara haji dan umrah yang tak memiliki izin. Bahkan ada penyelenggara haji berizin pun melakukan pelanggaran. Untuk ini diharapkan ke depan pihaknya bersama Polri bisa menertibkan. Muara dari nota kesepahaman itu adalah adanya penegakan hukum sehingga jamaah dapat terlayani dengan baik, baik ketika dalam perjalanan maupun ketika melaksanakan ibadah di tanah suci, Mekkah dan Madinah. “Polri harus proaktif,” harap Menag.

Sementara itu, Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Fajar Prihantoro dalam sambutannya atas nama Kapolri Jendral Polisi Timur Pradopo mengatakan, pihaknya memang harus proaktif dalam menertibkan penyelenggara haji dan umrah.

Diakui setiap tahun kerap terjadi adanya penyelenggara haji dan umrah menelantarkan jamaahnya. Pembenahannya, kata Kapolri, perlu dilakukan dari hulu hingga hilir sehingga pelayanan kepada masyarakat ke depan semakin baik. Kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman itu diharapkan menghasilkan satu persepsi untuk terwujudnya penyelenggaraan haji dan umroh yang lebih baik.

“Pihaknya berharap setelah nota kesepahaman tersebut ditandatangani seluruh pemangku kepentingan dapat segera mensosialisasikannya. Dengan cara itu, masyarakat dapat mengetahui,” kata Fajar.

PELAYANAN KHUSUS
Mencermati Undang-Undang Penyelenggaraan Haji, pada Pasal 38 UU Nomor 13 tahun 2008 ayat (1) disebutkan bahwa dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan khusus, dapat diselenggarakan Ibadah Haji Khusus yang pengelolaan dan pembiayaannya bersifat khusus.  Untuk itu, pada ayat  (2) dikemukakan  Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang telah mendapat izin dari Menteri.
Pada Pasal 39 dikemukakan bahwa Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (disingkat PIHK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, yang akan diberi izin oleh Menteri, wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a)  terdaftar sebagai penyelenggara perjalanan umrah;  (b) memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Haji Khusus; dan (c) memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas Ibadah Haji. Pada Pasal 40  dikemukakan PIHK wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: (a) menerima pendaftaran dan melayani Jemaah Haji hanya yang menggunakan Paspor Haji;  (b) memberikan bimbingan Ibadah Haji;  (c) memberikan layanan Akomodasi, konsumsi, Transportasi, dan Pelayanan Kesehatan secara khusus; dan  (d) memberangkatkan, memulangkan, dan melayani Jemaah Haji sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara penyelenggara dan Jemaah Haji.
Pada Pasal 41 diatur PIHK yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dikenai sanksi administratif sesuai dengan tingkat kesalahannya, yang berupa: (a) peringatan; (b) pembekuan izin penyelenggaraan; atau (c) pencabutan izin penyelenggaraan.
Aturan yang sama juga diberlakukan bagi penyelenggara perjalanan ibadah umroh  (selanjutnya disingkat PPIU) yang diatur dalam Pasal 43.
Perjalanan Ibadah Umrah dapat dilakukan secara perseorangan atau rombongan melalui PPIU. PPIU dilakukan oleh Pemerintah dan/atau biro perjalanan wisata yang ditetapkan oleh Menteri.
Pada Pasal 44 ditegaskan bahwa  Biro perjalanan wisata dapat ditetapkan sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) terdaftar sebagai biro perjalanan wisata yang sah;  (b) memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah; dan  (c) memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas Ibadah Umrah.
Tentu saja, PPIU wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: menyediakan pembimbing ibadah dan petugas kesehatan;  memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi dan ketentuan peraturan perundang-undangan;  memberikan pelayanan kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara penyelenggara dan jemaah; dan  melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia.
PPIU yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dikenai sanksi administratif sesuai dengan tingkat kesalahannya, yang berupa:  peringatan; pembekuan izin penyelenggaraan; atau  pencabutan izin penyelenggaraan.

Sampai saat ini PPIU yang dilaksanakan biro wisata dan memperoleh izin resmi dari Menteri Agama sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 tahun 2008 tercatat 402 penyelenggara. Dari jumlah tersebut, PIHK sebanyak 254 penyelenggara. Sedangkan penyelenggara umroh saja sebanyak 148 penyelenggara.
Anggito Abimanyu mengatakan, PPIU yang memperoleh izin dari Kementerian agama dan sebagai provider visa sebanyak 88 penyelenggara yang bekerja sama dengan provider Arab Saudi yang mendapat izin dari Kementerian Haji Arab Saudi. PPIU yang bertindak sebagai provider tersebut dapat memberikan visa hanya kepada PPIU yang juga telah memiliki izin dari Kementerian agama.

PERLINDUNGAN MASYARAKAT
Anggito Abimanyu menyatakan, tercatat 16 Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) melakukan pelanggaran. Dari jumlah itu, 11 di antaranya dikenai sanksi dan peringatan keras.

Anggito menjelaskan, pelanggaran PIHK pada umumnya berupa memanfaatkan dana jemaah untuk keperluan pribadi pengurus atas perusahaan, keterlambatan transfer, melakukan penggantian porsi Jemaah, jemaah gagal berangkat dan tidak melayani jemaah sesuai perjanjian.

Ke-11 PIHK tersebut adalah PT Oranye Patria Wisata, PT Tisaga Nurkhotimah, PT Farazah Astatama, Tour & Travel, PT Madani Prabu jaya, PT Ghadzaz, PT Prima Astuti Sejahtera dan PT Kemang Nusantara. “Mereka telah diberi peringatan dan ancaman pencabutan izin,” terang Anggito.

Sementara lima PIHK lainnya, yaitu PT Noorhana Pertiwi, PT Madaniah Semesta Wisata, PT Laser Praktyasa, PT Al Ahram Sarana Wisata, dan PT Aero Global Indonesia; kelimanya telah melakukan kesalahan yang masih ditoleransi karena unsur kelalaian.

Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan ini juga menyebut beberapa nama perusahaan yang tidak memiliki izin dan gagal memberangkatkan ratusan jemaah, antara lain PT Jabal Rahmah, PT Safarina Niaga Utama dan PT Aziz Audinia Wisata.

Anggito juga menjelaskan bahwa pada 2013 ini telah terjadi kasus jamaah umrah terlantar, baik di Indonesia, Malaysia maupun Arab Saudi, karena penyelenggarannya tidak bertanggung jawab atas kewajibannya. Mereka adalah PT Padang Arafah yang berdomisili di Jawa Timur (tidak memiliki izin) dan menelantarkan 500 jamaah di Surabaya.

PT Gema Arofah (punya izin) yang berdomisili di Jakarta, menelantarkan 98 jamaahnya di Kuala Lumpur disebabkan jadwal yang tidak pasti. Selain itu, ketika di Arab Saudi, jamaah mereka pun tidak mendapat akomodasi sebagaimana mestinya.

PT Nuansa Inti Semesta (tidak memiliki izin), 49 jamaahnya terlantar di Arab Saudi karena belum memiliki tiket pulang. PT Khalifah Sultan Tour (tidak memiliki izin), 194 jamaahnya yang berasal dari Gorontalo terlantar di Jakarta karena belum memiliki tiket pemberangkatan dan pemulangan.

Terkait hal ini, Anggito menjelaskan bahwa pihaknya telah mengambil langkah penyelesaian. Pertama, memastikan kepada PPIU yang bertindak sebagai provider, yang saat ini berjumlah 88, hendaknya dalam memberikan visa hanya kepada PPIU yang telah memiliki izin dari Kementerian Agama.

Kedua, melakukan koordinasi dengan kanwil Kemenag, kantor misi haji di Arab Saudi dan kedubes di luar negeri untuk mengidentifikasi masalah jemaah umroh di dalam dan luar negeri.

Ketiga, mengimbau masyarakat menggunakan biro perjalanan haji dan umroh resmi. Keempat, melakukan penanganan administratif hukum kepada penanggung jawab biro perjalanan dan kelima melakukan kerja sama dengan kepolisian.

Penyebutan nama-nama perusahaan yang “nakal” tersebut nampaknya dimaksudkan oleh Anggito agar masyarakat mengetahui sehingga lebih hati-hati dalam memilih perusahaan penyelenggara haji dan umroh.  Tindakan itu semata untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat. Jumlah jamaah haji khusus setiap tahun sekitar 17 ribu. Untuk jamaah umrah tahun 2012, sekitar 500 ribu dan diperkirakan tahun 2013 akan mengalami peningkatan tajam.

Perlunya MoU antara Kemterian Agama dan Polri jelas memiliki peran penting bagi perlindungan masyarakat. Nota kesepahaman tersebut merupakan landasan formal untuk kerja sama pengawasan, penertiban dan penegakan hokum  bagi PIHK dan PPIU yang melanggar aturan atau menelantarkan Jemaah.

Dan sesuai dengan perundangan yang berlaku, pengawasan dan sanksi administrative hanya bisa dilakukan terhadap operator yang telah memiliki izin dari Kementerian Agama, baik dalam bentuk peringatan, pembekuan izin penyelenggaraan.

Kewenangan kepolisian dalam penegakan hukum diharapkan dapat menertibkan dan meminimalisir potensi penyimpangan melalui tindakan yang professional dan bermartabat terhadap penyelenggaraan ibadah haji khusus dan umroh yang merugikan masyarakat berdasarkan laporan, pengaduan atau bukti-bukti di lapangan.

Jelas saja tujuan dari MoU tersebut dimaksudkan pula untuk menyelesaikan secara adil dan tuntas atas terjadinya beberapa kasus di masyarakat yang merugikan pihak operator sendiri, yakni PIHK dan PPIU yang tergabung dalam asosiasi penyelenggara haji khusus dan umroh seperti (Asosiasi Muslim Penyenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia/Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji/Himpuh dan Asosiasi Penyelenggara Haji Umrah & in-bound Indonesia/Asphurindo) serta calon Jemaah haji khusus dan umroh di seluruh tanah air.

   


0 komentar:

Posting Komentar