PENGGOES BECAK ITU KONSISTEN MENJAGA
KEMABRURAN HAJI
Catatan Edy Supriatna-Usianya sudah mencapai angka 60-an. Meski rambut, kumis,
alis mata dan jenggot tipis sudah memutih, badannya masih nampak kekar dan terpelihara
dengan baik. Wajah tak menampakkan kerutan sebagaimana pada umumnya orangtua
berusia lanjut.
Dialah H.
Muslimin (62 tahun), ayah dari tiga anak yang berprofesi sebagai tukang becak
di Pelabuhan Sri Bintan Pura,Tanjungpura. Lokasi kerjanya tak jauh dari
kediaman atau rumah dinas Gubernur Kepulauan Riau (Kepri). Warga setempat banyak mengenal dan memanggil
namanya Haji Muslim di pangkalan becak pengangkut barang pelabuhan tersebut.
Suami dari Dwi
Haryatmi ini, ketika dijumpai di Pelabuhan Sri Bintan, Tanjungpura, mulanya
menolak untuk diwawancarai seputar dirinya dapat menyandang haji. Seolah takut
dinilai ria atau takabur, yang bisa menyebabkan kemabruran hajinya luntur. Sebagai
tukang becak, khawatir ibadah hajinya jadi suatu kebanggan. Haji – bagi dirinya - merupakan motivasi untuk
meningkatkan kesalehan sosial.
Setelah
sedikit “dibujuk”, H. Muslimin yang menunaikan
ibadah haji pada 2011 itu, akhirnya bersedia diwawancarai. Caranya, mengajak duduk di warung kopi
terdekat. Di warung tersebut sesekali H.
Muslimin disapa orang yang lalu lalang. Termasuk seorang polisi wanita (Polwan)
dari pos pengaman pelabuhan di daerah tersebut.
Muslimin mengaku
bermukim di Gang Kepaya I RT/RW 003/03 No.6 Kampung Jawa, Tanjungpinang Barat
itu, tidak menyangka dapat menunaikan ibadah haji. Niat melaksanakan rukun
Islam kelima sudah lama ada. Uang hasil goesan becak secara rutin dikumpulkan ke
dalam kotak atau celengan. Di kotak itu banyak uang recehan.
“Saya
berangkat haji bukan dari uang hasil keringat menggayuh becak,” katanya,
membuka pembicaraan.
Semua itu, kata Muslimin mengawali
celotehnya, dilatarbelakangi kepedulian seorang hamba Allah yang membiayai
dirinya untuk menunaikan ibadah haji. Siapa hamba Allah yang dimaksud itu, ia
tak mau menyebutkan.
“Kakak saya,
Buhari, meninggal sebelum menunaikan ibadah haji. Lalu, hamba Allah itu
mengalihkan bantuan pergi haji, yang semula untuk kakak lalu kepada saya.
Subhanallah. Saya tidak mengira, itu bisa terjadi,” ujar Muslimin sambil
mengenang peristiwa tentang rencana keberangkatannya untuk pergi haji.
Lantas,
jadilah Muslimin menunaikan ibadah haji. Tidak ada hambatan, mulai dari proses
pembuatan kelengkapan dokumen haji, seperti: paspor, kesehatan hingga melaksanakan
manasik haji diikuti dengan sebaik-baiknya. Sementara untuk Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), waktu itu, sudah ada yang menyelesaikan.
Tidak ada firasat dapat menunaikan ibadah
haji sedemikian cepat. “Mimpi saja, untuk beribadah itu, tidak ada,” ia
menjelaskan.
BANYAK KEMUDAHAN
Mengomentari
perjalanan spiritualnya dalam berhaji, Muslimin mengaku sudah banyak
terlupakan. Yang diingatnya, selama di
Padang Arafah, banyak membantu rekan serembongan. Bahkan sempat membantu temannya
untuk melontar jumroh.
“Saya ingat
betul, teman saya almarhum H. Hery
Yuwono tak bisa melontar karena sakit. Saya mewakili dia, setelah saya
menyelesaikan lemparan yang sudah ditentukan,” kenangnya.
Kemudahan
juga didapat saat puncak musim haji berlangsung. Tukang nasi yang biasa
berjualan di sekitar Masjidil Haram, dagangannya habis karena diborong warga
Arab. Dalam kondisi yang tengah lapar, pedagang itu mencarikan makanan untuk
dirinya.
“Itu pertolongan yang luar biasa. Ketika
mencari minum pun, banyak warga Arab membantunya mencarikan air zam-zam,” kata
Muslimin dengan suara terbata-bata.
Seluruh
rangkaian ritualnya dapat dilalu dengan baik. Sempat meminta bantuan pada orang
lain untuk memba’dalkan-haji-kan orangtuanya Ahmad Diyar, yang wafat pada 2010
di Klaten, Jawa Tengah. Muslimin memang sebelum “hijrah” ke Tanjungpinang pada
tahun 1970-an, masa kanak-kanaknya dihabiskan di Jatinom, Cokro, Wangen dan kawasan sekitarnya.
“Saya bisa
menyelesaikan arbain (shalat 40 waktu berjemaah di Masjid Nabawi, Madinah,
berturut-turut) ,” kenangnya lagi.
Kemudahan
yang diperoleh itu dilatarbelakangi oleh rasa syukur. Meski fisik kuat, bermohon kepada Allah wajib.
“Saya pun tak menduga, orang miskin seperti saya ini, bisa melaksanakan ibadah
haji,” ujarnya dengan suara parau.
PEMANDI JENAZAH
Muslimin mengaku tidak malu menjadi tukang becak,
mengenakan baju tak senecis para penyebrang ke Pulau Batam. Apalagi ia selain dikenal
banyak orang juga kadang menjadi tempat rekan sekerja untuk mencurahkan isi
hatinya jika tengah menghadapi persoalan hidup.
Ada teman
punya persoalan ribut dengan rekan lainnya. Secara sepontan saja, ia memberi
nasihat. “Singkat saja cara menasihatinya,” ungkap Muslimin.
Pasca
menunaikan ibadah haji, rejeki tidak
pernah kurang. Cukup untuk sehari-hari. “Saya mensyukuri ini,” ia menjelaskan.
Tapi, ia pun
mengaku pasca berhaji, ada tugas menantang yang kemudian dijalaninya. Yaitu, memandikan
jenazah. Padahal, tugas itu menakutkan.
Pekerjaan
itu berawal dari pertemuannya dengan H. Muhlas, guru madrasah aliyah negeri
(MAN) Tanjungpinang. Muhlas mendorong
Muslimin menjadi pemandi jenazah, karena pekerjaan ferdu kifayah tersebut
sangat mulia di mata Allah. Tidak semua orang punya kemampuan untuk memandikan
jenazah.
Setelah
belajar dan sering diajak memandikan jenazah di berbagai tempat, lalu ia dilepas
secara bertahap menjalankan profesi itu. Muhlas sendiri tidak lagi menggeluti pekerjaan
memandikan mayat.
Kini
banyak orang di Tanjungpinang mengenal haji Muslimin selain sebagai tukang
becak juga pemandi jenazah. Dan, karena keahliannya itu, Lantamal setempat
minta mengajari para pemuda dari satuan TNI AL itu cara memandikan mayat sesuai
syariat Islam. Muslimin pun menjalani tugus itu sebagai bagian dari kesalehan
sosial.
Kemabruran
haji salah satunya tercermin dalam kata dan perbuatan. Menebar kesalehan sosial
jadi kewajiban. Penggoes becak itu, H.
Muslimin banyak dicari tatkala ada peristiwa kematian. Ia tak menentukan tarif
dalam memandikan jenazah, meski itu bukan gratifikasi. Dia mengimplementasiskan
kerja ikhlas yang diwujudkan dalam keseharian.
0 komentar:
Posting Komentar