Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

PENGGOES BECAK ITU KONSISTEN MENJAGA KEMABRURAN HAJI

Written By Unknown on Rabu, 11 Juni 2014 | 23.45

PENGGOES BECAK ITU KONSISTEN MENJAGA KEMABRURAN HAJI
  

Catatan Edy Supriatna-Usianya sudah mencapai angka 60-an. Meski rambut, kumis, alis mata dan jenggot tipis sudah memutih, badannya masih nampak kekar dan terpelihara dengan baik. Wajah tak menampakkan kerutan sebagaimana pada umumnya orangtua berusia lanjut.

     Dialah H. Muslimin (62 tahun), ayah dari tiga anak yang berprofesi sebagai tukang becak di Pelabuhan Sri Bintan Pura,Tanjungpura. Lokasi kerjanya tak jauh dari kediaman atau rumah dinas Gubernur Kepulauan Riau (Kepri).  Warga setempat banyak mengenal dan memanggil namanya Haji Muslim di pangkalan becak pengangkut barang pelabuhan tersebut.

     Suami dari Dwi Haryatmi ini, ketika dijumpai di Pelabuhan Sri Bintan, Tanjungpura, mulanya menolak untuk diwawancarai seputar dirinya dapat menyandang haji. Seolah takut dinilai ria atau takabur, yang bisa menyebabkan kemabruran hajinya luntur. Sebagai tukang becak, khawatir ibadah hajinya jadi suatu kebanggan. Haji  – bagi dirinya - merupakan motivasi untuk meningkatkan kesalehan sosial.  

       Setelah sedikit “dibujuk”,  H. Muslimin yang menunaikan ibadah haji pada 2011 itu, akhirnya bersedia diwawancarai.  Caranya, mengajak duduk di warung kopi terdekat. Di warung tersebut sesekali  H. Muslimin disapa orang yang lalu lalang. Termasuk seorang polisi wanita (Polwan) dari pos pengaman pelabuhan di daerah tersebut.

      Muslimin mengaku bermukim di Gang Kepaya I RT/RW 003/03 No.6 Kampung Jawa, Tanjungpinang Barat itu, tidak menyangka dapat menunaikan ibadah haji. Niat melaksanakan rukun Islam kelima sudah lama ada. Uang hasil goesan becak secara rutin dikumpulkan ke dalam kotak atau celengan. Di kotak itu banyak uang recehan.

       “Saya berangkat haji bukan dari uang hasil keringat menggayuh becak,” katanya, membuka pembicaraan. 

        Semua itu, kata Muslimin mengawali celotehnya, dilatarbelakangi kepedulian seorang hamba Allah yang membiayai dirinya untuk menunaikan ibadah haji. Siapa hamba Allah yang dimaksud itu, ia tak mau menyebutkan.

       “Kakak saya, Buhari, meninggal sebelum menunaikan ibadah haji. Lalu, hamba Allah itu mengalihkan bantuan pergi haji, yang semula untuk kakak lalu kepada saya. Subhanallah. Saya tidak mengira, itu bisa terjadi,” ujar Muslimin sambil mengenang peristiwa tentang rencana keberangkatannya untuk pergi haji.

       Lantas, jadilah Muslimin menunaikan ibadah haji. Tidak ada hambatan, mulai dari proses pembuatan kelengkapan dokumen haji, seperti: paspor, kesehatan hingga melaksanakan manasik haji diikuti dengan sebaik-baiknya. Sementara untuk Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), waktu itu, sudah ada yang menyelesaikan.

        Tidak ada firasat dapat menunaikan ibadah haji sedemikian cepat. “Mimpi saja, untuk beribadah itu, tidak ada,” ia menjelaskan.

       
BANYAK KEMUDAHAN

      Mengomentari perjalanan spiritualnya dalam berhaji, Muslimin mengaku sudah banyak terlupakan.  Yang diingatnya, selama di Padang Arafah, banyak membantu rekan serembongan. Bahkan sempat membantu temannya untuk melontar jumroh.

      “Saya ingat betul,  teman saya almarhum H. Hery Yuwono tak bisa melontar karena sakit. Saya mewakili dia, setelah saya menyelesaikan lemparan yang sudah ditentukan,” kenangnya.

      Kemudahan juga didapat saat puncak musim haji berlangsung. Tukang nasi yang biasa berjualan di sekitar Masjidil Haram, dagangannya habis karena diborong warga Arab. Dalam kondisi yang tengah lapar, pedagang itu mencarikan makanan untuk dirinya.

      “Itu pertolongan yang luar biasa. Ketika mencari minum pun, banyak warga Arab membantunya mencarikan air zam-zam,” kata Muslimin dengan suara terbata-bata.

       Seluruh rangkaian ritualnya dapat dilalu dengan baik. Sempat meminta bantuan pada orang lain untuk memba’dalkan-haji-kan orangtuanya Ahmad Diyar, yang wafat pada 2010 di Klaten, Jawa Tengah. Muslimin memang sebelum “hijrah” ke Tanjungpinang pada tahun 1970-an, masa kanak-kanaknya dihabiskan di Jatinom,  Cokro, Wangen dan kawasan sekitarnya.

      “Saya bisa menyelesaikan arbain (shalat 40 waktu berjemaah di Masjid Nabawi, Madinah, berturut-turut) ,” kenangnya lagi.

      Kemudahan yang diperoleh itu dilatarbelakangi oleh rasa syukur.  Meski fisik kuat, bermohon kepada Allah wajib. “Saya pun tak menduga, orang miskin seperti saya ini, bisa melaksanakan ibadah haji,” ujarnya dengan suara parau.


PEMANDI JENAZAH

       Muslimin mengaku tidak malu menjadi tukang becak, mengenakan baju tak senecis para penyebrang ke Pulau Batam. Apalagi ia selain dikenal banyak orang juga kadang menjadi tempat rekan sekerja untuk mencurahkan isi hatinya jika tengah menghadapi persoalan hidup.

       Ada teman punya persoalan ribut dengan rekan lainnya. Secara sepontan saja, ia memberi nasihat. “Singkat saja cara menasihatinya,” ungkap Muslimin.

        Pasca menunaikan ibadah haji,  rejeki tidak pernah kurang. Cukup untuk sehari-hari. “Saya mensyukuri ini,” ia menjelaskan.
       Tapi, ia pun mengaku pasca berhaji, ada tugas menantang yang kemudian dijalaninya. Yaitu, memandikan jenazah. Padahal, tugas itu menakutkan.

       Pekerjaan itu berawal dari pertemuannya dengan H. Muhlas, guru madrasah aliyah negeri (MAN) Tanjungpinang.  Muhlas mendorong Muslimin menjadi pemandi jenazah, karena pekerjaan ferdu kifayah tersebut sangat mulia di mata Allah. Tidak semua orang punya kemampuan untuk memandikan jenazah.

       Setelah belajar dan sering diajak memandikan jenazah di berbagai tempat, lalu ia dilepas secara bertahap menjalankan profesi itu. Muhlas sendiri tidak lagi menggeluti pekerjaan memandikan mayat.

        Kini banyak orang di Tanjungpinang mengenal haji Muslimin selain sebagai tukang becak juga pemandi jenazah. Dan, karena keahliannya itu, Lantamal setempat minta mengajari para pemuda dari satuan TNI AL itu cara memandikan mayat sesuai syariat Islam. Muslimin pun menjalani tugus itu sebagai bagian dari kesalehan sosial.

      Kemabruran haji salah satunya tercermin dalam kata dan perbuatan. Menebar kesalehan sosial jadi kewajiban.  Penggoes becak itu, H. Muslimin banyak dicari tatkala ada peristiwa kematian. Ia tak menentukan tarif dalam memandikan jenazah, meski itu bukan gratifikasi. Dia mengimplementasiskan kerja ikhlas yang diwujudkan dalam keseharian.


0 komentar:

Posting Komentar