Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

DOSA WARISAN

Written By Unknown on Rabu, 11 Juni 2014 | 23.50

DOSA WARISAN

Catatan Edy Supriatna-Diskusi dosa warisan tidak lagi aktual. Apa lagi jika dikaitkan dengan keyakinan dari penganut suatu agama tertentu. Namun tatkala mengemuka kasus korupsi dari hasil operasi tangkap tangan Komisi Anti-Korupsi (KPK), diam-diam, ada sebagian orang melontarkan pertanyaan bahwa temuan kasus antirasuah itu dikaitkan dengan dosa warisan.

Dosa warisan masih dipercaya oleh sebagian umat Kristen di Barat, meski secara keseluruhan tak disepakati  bahwa hal itu ada di muka bumi. Dari tiga agama Abrahamic, yaitu Yudaisme, Kristen, dan Islam, sepenuhnya Yudaisme dan Islam tidak mengenal konsep dosa warisan. Faktanya pun, Keristenan Timur juga tidak mengikuti prinsip ini.

Konsep dosa warisan disebabkan Adam dan Hawa berdosa tatkala melanggar perintah Tuhan agar tidak memakan buah terlarang di dalam surga. Dan dosa itu diwariskan kepada keturunan hingga kini. Itu artinya, semua manusia hingga kini terkena dosa itu.

Lantas bagaimana cara berpikir dan relevansi dosa warisan dengan korupsi itu. Memang, harus diakui fenomena korupsi di Tanah Air bukan malah surut dengan kehadiran lembaga anti-rasuah. Itu ditandai adanya sogok alias suap, pungutan liar dan gratifikasi masih saja menjadi konsumsi berita menarik dewasa ini. 

Korupsi lahir akibat kultur yang sudah mengakar di negeri ini. Hubungan kekerabatan seseorang dengan dilandasi feodalisme masih lekat di Tanah Air. Jika saat zaman raja-raja banyak rakyat memberi upeti kepada penguasa, maka dewasa ini polanya sedikit berubah. Jika bersentuhan dengan urusan birokrasi misalnya, masih ada orang yang dilayani memberi imbalan kepada pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi tanggung jawab dalam pelayanan kepada pubik.

Baru sekarang saja urusan membuat kartu tanda penduduk (KTP) seluruh warga diminta untuk tidak memberi imbalan karena dinilai sebagai gratifikasi. Dulu, urusan yang menyangkut pelayanan publik itu, gerakan mesin birokrasi demikian dahsyat meminta imbalan.

Demikian halnya dengan urusan pernikahan. Penghulu menetapkan tarif. Persoalan ini belakangan menjadi sorotan Irjen Kemenag, M. Yasin yang akhirnya disepakati oleh seluruh pemangku kepentingan bahwa tarif nikah Rp30.000 ditinjau lagi dan kemudian diatur besarannya sehingga memenuhi rasa keadilan bagi umat Islam.

Jadi, sederhana pola pikirnya. Korupsi terlahir sebagai dosa warisan masa lalu. Tidak ada kaitan dengan dosa warisan dalam prespektif ajaran agama yang sampai saat ini diyakini sudah tidak ada lagi.

Sebab, sejatinya manusia terlahir bersih, tak ada cacat dosa. Bagaimana ke depan seorang anak, sangat tergantung dari lingkungan keluarga dan pendidikan anak bersangkutan. "Anak terlahir seperti lembaran putih, kosong. Bagaimana warna dari kertas lembaran itu kedepannya, semua tergantung dari kedua orangtuanya," demikian orang bijak menyebutkan.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2003-2007, Taufiqrachman Ruki menilai korupsi  merupakan bentuk keserakahan pribadi seorang pemimpin. 

Maraknya tindak pidana korupsi tidak hanya disebabkan oleh buruknya sistem, tetapi juga kepribadian sesorang termasuk kepala daerah.  Korupsi bisa terjadi karena kebutuhan dan keserakahan seseorang.
Pernyataan serupa juga disampaikan Ketua KPK, Busyro Muqoddas. Ia menyebut kepemimpinan bangsa tak boleh lagi jatuh ke tangan koruptor. Para koruptor itu haus dan memiliki syahwat kekuasaan yang tidak terkendali. Karena itu, seperti diutarakan Ketua KPK Abraham Samad,  para pejabat negara untuk tidak korupsi karena pendapatannya sudah luar biasa besar.
Kebanyakan pejabat negara, penentu kebijakan, dan aparat penegak hukum melakukan tindak korupsi disebabkan dorongan sifat rakus. Mereka masih saja tamak mengambil barang negara yang seharusnya didistribusikan untuk masyarakat, walaupun dirinya telah mendapatkan berbagai fasilitas dan gaji dari negara yang cukup besar.
Korupsi di Indonesia memang memiliki akar kultural seperti budaya paternalistik. Tapi ada yang menyebut sebagai pemberian upeti, imbal jasa dan hadiah. Tapi, lagi-lagi, penyebab utamanya adalah nafsuh hidup mewah seperti dilontarkan filsuf dan sosiolog abad ke-14 Ibnu Khaldun.

Terkait dengan itu, masih terasa aktual pesan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar,  saat menjadi Instruktur Upacara hari amal bhakti atau HAB Ke-68 di Lapangan Banteng (Jumat, 03/1), mengingatkan jajaran kementerian itu bahwa institusi itu memiliki tanggung jawab menjaga keberagaman umat beragama sebagai wujud/pilar keutuhan NKRI.

Peringatan HAB Kemenag agar dijadikan moment refleksi kepada seluruh pegawai untuk selalu menjaga profesionalitas kerja dan menjaga amanah/tanggung jawabnya. Sehingga kinerja yang dilakukan mampu memberikan dampak positif dan perbaikan pelayanan publik untuk kepentingan umat. Tentu pula menjauhkan perbuatan tercela, seperti korupsi.

Dilatarbelakangi korupsi yang demikian dahsyat, tidak heran, jauh hari ada seorang anak muda sekaligus aktivis mahasiswa, yaitu Soe Hok Gie yang berpendirian teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya, sempat melontarkan kata-kata sebagai berikut:  

"Kita, generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, seperti ......Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia."  (es)








0 komentar:

Posting Komentar