DOSA WARISAN
Catatan
Edy Supriatna-Diskusi
dosa warisan tidak lagi aktual. Apa lagi jika dikaitkan dengan keyakinan dari penganut
suatu agama tertentu. Namun tatkala mengemuka kasus korupsi dari hasil operasi
tangkap tangan Komisi Anti-Korupsi (KPK), diam-diam, ada sebagian orang
melontarkan pertanyaan bahwa temuan kasus antirasuah itu dikaitkan dengan dosa
warisan.
Dosa
warisan masih dipercaya oleh sebagian umat Kristen di Barat, meski secara
keseluruhan tak disepakati bahwa hal itu
ada di muka bumi. Dari tiga agama Abrahamic, yaitu Yudaisme, Kristen, dan Islam,
sepenuhnya Yudaisme dan Islam tidak mengenal konsep dosa warisan. Faktanya pun,
Keristenan Timur juga tidak mengikuti prinsip ini.
Konsep dosa warisan disebabkan Adam dan Hawa berdosa tatkala melanggar
perintah Tuhan agar tidak memakan buah terlarang di dalam surga. Dan dosa itu
diwariskan kepada keturunan hingga kini. Itu artinya, semua manusia hingga kini
terkena dosa itu.
Lantas
bagaimana cara berpikir dan relevansi dosa warisan dengan korupsi itu. Memang,
harus diakui fenomena korupsi di Tanah Air bukan malah surut dengan kehadiran
lembaga anti-rasuah. Itu ditandai adanya sogok alias suap, pungutan liar dan gratifikasi
masih saja menjadi konsumsi berita menarik dewasa ini.
Korupsi
lahir akibat kultur yang sudah mengakar di negeri ini. Hubungan kekerabatan seseorang
dengan dilandasi feodalisme masih lekat di Tanah Air. Jika saat zaman raja-raja
banyak rakyat memberi upeti kepada penguasa, maka dewasa ini polanya sedikit
berubah. Jika bersentuhan dengan urusan birokrasi misalnya, masih ada orang
yang dilayani memberi imbalan kepada pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi
tanggung jawab dalam pelayanan kepada pubik.
Baru
sekarang saja urusan membuat kartu tanda penduduk (KTP) seluruh warga diminta
untuk tidak memberi imbalan karena dinilai sebagai gratifikasi. Dulu, urusan
yang menyangkut pelayanan publik itu, gerakan mesin birokrasi demikian dahsyat
meminta imbalan.
Demikian
halnya dengan urusan pernikahan. Penghulu menetapkan tarif. Persoalan ini
belakangan menjadi sorotan Irjen Kemenag, M. Yasin yang akhirnya disepakati
oleh seluruh pemangku kepentingan bahwa tarif nikah Rp30.000 ditinjau lagi dan
kemudian diatur besarannya sehingga memenuhi rasa keadilan bagi umat Islam.
Jadi,
sederhana pola pikirnya. Korupsi terlahir sebagai dosa warisan masa lalu. Tidak
ada kaitan dengan dosa warisan dalam prespektif ajaran agama yang sampai saat
ini diyakini sudah tidak ada lagi.
Sebab, sejatinya
manusia terlahir bersih, tak ada cacat dosa. Bagaimana ke depan seorang anak,
sangat tergantung dari lingkungan keluarga dan pendidikan anak bersangkutan.
"Anak terlahir seperti lembaran putih, kosong. Bagaimana warna dari kertas
lembaran itu kedepannya, semua tergantung dari kedua orangtuanya,"
demikian orang bijak menyebutkan.
Mantan
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2003-2007, Taufiqrachman Ruki
menilai korupsi merupakan bentuk
keserakahan pribadi seorang pemimpin.
Maraknya tindak pidana korupsi tidak hanya disebabkan oleh buruknya
sistem, tetapi juga kepribadian sesorang termasuk kepala daerah. Korupsi bisa terjadi karena kebutuhan dan
keserakahan seseorang.
Pernyataan serupa juga disampaikan Ketua KPK, Busyro Muqoddas.
Ia menyebut kepemimpinan bangsa tak boleh lagi jatuh ke tangan koruptor. Para
koruptor itu haus dan memiliki syahwat kekuasaan yang tidak terkendali. Karena
itu, seperti diutarakan Ketua KPK Abraham Samad, para pejabat negara untuk tidak korupsi karena
pendapatannya sudah luar biasa besar.
Kebanyakan pejabat negara, penentu kebijakan,
dan aparat penegak hukum melakukan tindak korupsi disebabkan dorongan sifat
rakus. Mereka masih saja tamak mengambil barang negara yang seharusnya
didistribusikan untuk masyarakat, walaupun dirinya telah mendapatkan berbagai
fasilitas dan gaji dari negara yang cukup besar.
Korupsi di
Indonesia memang memiliki akar kultural seperti budaya paternalistik. Tapi ada
yang menyebut sebagai pemberian upeti, imbal jasa dan hadiah. Tapi, lagi-lagi, penyebab
utamanya adalah nafsuh hidup mewah seperti dilontarkan filsuf dan sosiolog abad
ke-14 Ibnu Khaldun.
Terkait
dengan itu, masih terasa aktual pesan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, saat menjadi Instruktur Upacara hari amal
bhakti atau HAB Ke-68 di Lapangan Banteng (Jumat, 03/1), mengingatkan jajaran
kementerian itu bahwa institusi itu memiliki tanggung jawab menjaga keberagaman
umat beragama sebagai wujud/pilar keutuhan NKRI.
Peringatan
HAB Kemenag agar dijadikan moment refleksi kepada seluruh pegawai untuk selalu
menjaga profesionalitas kerja dan menjaga amanah/tanggung jawabnya. Sehingga
kinerja yang dilakukan mampu memberikan dampak positif dan perbaikan pelayanan
publik untuk kepentingan umat. Tentu pula menjauhkan perbuatan tercela,
seperti korupsi.
Dilatarbelakangi
korupsi yang demikian dahsyat, tidak heran, jauh hari ada seorang anak muda
sekaligus aktivis mahasiswa, yaitu Soe Hok Gie yang berpendirian teguh dalam
memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya, sempat
melontarkan kata-kata sebagai berikut:
"Kita,
generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi
kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, seperti
......Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia." (es)
0 komentar:
Posting Komentar