Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

BUKU NIKAH DAN KRITIK PUBLIK

Written By Unknown on Rabu, 11 Juni 2014 | 23.37

Catatan Edy Supriatna- Kritik publik terhadap Kementerian Agama (Kemenag) terkait pungutan tidak resmi atas biaya nikah, yang diterima para penghulu atau petugas nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) di tiap daerah, baru saja mereda.

      Namun ingatan masyarakat muslim pun masih kuat bahwa biaya nikah di luar kantor KUA harus diatur dan memiliki payug hokum sehingga penghulu dalam menjalankan tugasnya; menikahkan dua insan berbeda untuk hidup berpasangan dalam wadah rumah tangga harus dimaknai sebagai kewajiban dan petugas menerima imbalan tidak lagi dalam wilayah “abu-abu”, sehingga terhindar dari perbuatan menerima gratifikasi.

 

      Ujung dari kritik masyarakat atas biaya nikah yang dilakukan di luar KUA membuahkan hasil. Yaitu, adanya respon pemerintah akan mengalokasikan dana insentif bagi para penghulu di seluruh tanah air. Sayangnya, berapa besar dana yang harus dialokasikan bagi penghulu dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) itu hingga kini belum diperoleh kejelasannya. Artinya, para penghulu hingga kini masih terbuka menerima imbalan dari keluarga mampelai lantaran tidak memiliki dana operasional.

 

     Biaya nikah resmi di KUA selama ini ditetapkan sebesar Rp30 ribu/pasangan (PP Nomoro 47 tahun 2004).

     Jika menikahkan di kediaman mempelai, dana operasionalnya menjadi tanggungan pihak pengundang. Besarnya biaya nikah yang dikeluarkan pihak keluarga itu, sangat tergantung dari tingkat keterjangkauannya.

      Publik pun mengeritik bahwa penyelenggaraan nikah sudah masuk wilayah bisnis. Nikah, yang dalam prespektif agama sebagai menjalankan sunnah Rasullulah Nabi Muhammad SAW, bisa jadi ada yang memaknai sebagai lahan komoditas. Nikah yang dimaksudkan membentuk keluarga sakinah, mawadah dan waromah, sejatinya harus jadi dambaan bagi setiap pasangan suami-isteri. Bukan menikah menjadi beban lantaran tak sanggup membayar penghulu.

 

     Kini persoalan seputar nikah itu mengemuka lagi. Bukan sebagai akibat penghulu menerima gratifikasi, tetapi sekali ini berkaitan dengan kelangkaan buku nikah.

 

      Di beberapa daerah, pasangan pengantin yang hendak naik pelaminan mengeluh lantaran buku nikah tidak cukup tersedia di KUA. Kepala Kementerian Agama Kabupaten Bekasi, Jaja Jaelani, misalnya, mengaku bahwa buku yang menjadi bukti pasangan pengantin ini masih dalam proses tender. “Saya sudah menyurati Kanwil Kemenag Jawa Barat, namun penjelasanan yang diperoleh adalah tender pendistribusian buku nikah belum dilaksanakan,” ujar Jaja.

 

     Selama buku nikah tidak ada di KUA kecamatan, petugas tidak boleh membuat sendiri. “Saya janji, kalau buku sudah ada, akan langsung di distribusikan ke KUA kecamatan,” katanya.

 

      Atas realitas tersebut, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG) Tubagus Hasan Syadzily angkat bicara. Ia pun menyesalkan kelangkaan buku nikah di beberapa daerah. Kemenag seharusnya dapat memperkirakan jumlah buku nikah yang dicetak harus melebihi jumlah rata-rata jumlah nikah di daerah-daerah.

     Buku nikah penting untuk masyarakat karena merupakan bagian dari pelayanan pemerintah kepada warganya. Buku nikah dijadikan bukti sah bagi pasangan untuk membuktikan legalitas perkawinan. Dalam lingkup sosial, ada stigma bahwa tanpa buku nikah, kerap kali pasangan suami-istri dituduh pasangan illegal. Hal ini menjadi persoalan sensitif.

      Pengurusan Kartu Keluarga (KK), kartu tanda penduduk (KTP), akte kelahiran, passport kan harus menyertakan buku nikah. Jadi, pelayanan pemerintah kepada masyarakat tidak boleh terhambat akibat ketidakmampuan memperkirakan jumlah buku nikah.

     Irjen Kemenag, M. Jasin menyayangkan atas terjadinya kelangkaan buku nikah. Untuk itu perlu dicarikan solusi secepatnya. “Memalukan layanan publik kita,” ia menambahkan.

      Agar ke depan layanan publik yang buruk itu tidak terulang lagi, menurut dia, perlu dilakukan pemantauan secara online terhadap buku nikah di daerah perkotaaan/kabupaten. Jadi, harus jelas status ketersediaan buku nikah di wilayah masing-masing.

    Perlu persediaan buku nikah yang cukup di tingkat Kanwil (provinsi) terutama di wilayah yang memiliki kecenderungan kenaikan jumlah nikahnya tinggi per tahun. Selanjutnya diatur dengan baik pendistribusian buku nikah secara berkala ke kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

EFEK DOMINO

     Kelangkaan buku nikah ternyata bukan saja disebabkan oleh tingginya volume pernikahan. Sejumlah provinsi mengalami kekurangan buku nikah karena jumlah peristiwa nikah yang tinggi, kata Menko Kesra Agung Laksono.

     Penyebab lain, menurut Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali akibat terlambatnya pencairan persetujuan anggaran. Dampaknya, proses tender tentang buku nikah tersebut ikut terlambat. 

     Kejadian ini sejatinya seperti efek domino, mata rantainya jadi panjang jika diurai. Apalagi anggaran 2013 kementerian baru turun pada Juli lalu. Enam bulan ke belakang, kemenag praktis kesulitan untuk mengatur agenda kegiatannya karena ketiadaan dana.

     Keterlambatan anggaran ini juga sebagai akibat adanya sikap kehati-hatian yang dilakukan oleh pemerintah. "Tender percetakan terlambat dan kini juga tender untuk distribusi juga terlambat, akibatnya ada daerah yang kekurangan buku nikah," jelas, Menteri Agama Suryadharma Ali, di Jakarta, Kamis (31/10).

     Buku nikah sudah ada. Kesulitan ada pada pendistribusian. Untuk itu pula pihaknya mengambil langkah darurat agar  daerah-daerah yang kekurangan segera teratasi dan mengambil ke pusat. Untuk Jawa Timur dan Jawa Barat pada Kamis (31/10) kelangkaan sudah mulai dituntaskan. Barang yang langka itu akan segera di kirim dari pusat, kata Suryadharma.

     Dirjen Bimas Islam menyampaikan permintaan maaf atas terjadinya kekurangan buku nikah di beberapa provinsi di Indonesia, sehingga beberapa pasangan pengantin yang telah dicatatkan pernikahannya belum memperoleh buku nikah.

     "Kepada pasangan pengantin tersebut, saat ini untuk sementara telah diberikan surat keterangan pengganti buku nikah yang berlaku selama tiga bulan," kata Dirjen Bimmas Islam Kemenag, Abdul Djamil, di Jakarta, Kamis.

     Kemenag menargetkan seluruh pasangan pengantin yang belum memperoleh buku nikah dapat mengambil buku nikahnya pada kantor urusan agama atau KUA tempat pencatatan perkawinan pada Desember 2013 tanpa dipungut biaya.

     Ia membenarkan bahwa kekurangan persediaan buku nikah itu terjadi mulai Oktober 2013 terutama di provinsi-provinsi yang peristiwa nikahnya tinggi, yaitu diatas 80.000 sampai 490.000 pernikahan per tahun.

      Provinsi-provinsi yang mengalami keIakurangan buku nikah dengan jumlah peristiwa nikah yang tinggi antara lain Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.
     "Selain delapan provinsi tersebut, contohnya Provinsi Kepulauan Riau, "stock" ketersediaan buku nikah dalam kondisi terkendali dan jumlahnya mencukupi," jelas Abdul Djamil.

     Pada saat ini, lanjut Abdul Djamil, sedang berlangsung proses lelang pengiriman buku nikah yang dilaksanakan oleh ULP Ditjen Bimas Islam. Setelah dilakukan penandatanganan kontrak lelang pengiriman buku nikah, maka buku nikah segera dikirim ke seluruh provinsi.

     "Ditargetkan buku nikah sudah kembali tersedia di KUA-KUA mulai Desember 2013", terang Abdul Djamil.

      Selanjutnya, untuk membantu pasangan pengantin yang mendesak membutuhkan buku nikah, beberapa provinsi, Ditjen Bimas Islam telah mendahulukan pengiriman buku nikahnya sampai dengan November 2013.

     Provinsi tersebut antara lain (1) Jawa Barat 46.994 (2) DKI Jakarta 19.398 (3) Banten 29.598 (4) Lampung 18.000 dan (5) Jawa Timur 125.000.

     Berikutnya, (6) Sulawesi Selatan 20.000 (7) Riau 30.000 (8) NTB 20.000 (9) Kalimantan Selatan 10.000 (10) Sumatera Utara 2.000 (11) Jawa Tengah 2.000 (12) Sulawesi Barat 3.000 (13) Sulawesi Tenggara 3.000 (14) Papua 2.000 (15) Maluku 3.000 (16) Bali 2.000 (17) Sulawesi Utara 3.000, dan (18) Maluku Utara 3.000.





0 komentar:

Posting Komentar