Catatan
Edy Supriatna - Jakarta,21/6(Antara)- Jauh hari Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) mengingatkan jajaran Kementerian Agama (Kemenag) agar konsisten
menjauhkan diri dari tindakan tercela, termasuk di dalamnya melakukan korupsi.
Kemenag
harus menjadi teladan dalam hal pemberantasan korupsi. Potensi terjadinya
tindak pidana korupsi di berbagai instansi, termasuk di kementerian tersebut,
masih ada, kata Deputi Pencegahan KPK Cahaya Harianto ketika
memberikan sambutan pada pencanangan pembangunan zona integritas menuju wilayah
bebas korupsi di lingkungan Kemenag, di Gedung Kemenag, Jalan MH Thamrin,
Jakarta.
Peringatan dari lembaga antirasuah itu rasanya masih terngiang di teliga. Meski
sudah lama, tetapi masih tetap aktual dalam konteks kekinian. Publik pun masih
ingat betul peristiwa mantan Menteri Agama Prof. Dr. Haji Said Agil Husin Al
Munawar, MA yang terjerat hukum karena kasus dana haji.
Said Agil Husin Al Munawar, menurut catatan Wikipedia, pada 7 Februari 2006
divonis hukuman lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dia
dinyatakan terbukti melakukan korupsi dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
(BPIH) dan Dana Abadi Umat (DAU) pada tahun 2002-2004. Penyelewengan BPIH oleh
Munawar mencapai Rp35,7 miliar, sedangkan Dana Abadi Umat (DAU) yang
diselewengkan berjumlah Rp240,22 miliar.
Bersamaan
dengan itu, mantan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji (Dirjen BIPH) Taufik Kamil divonis empat tahun penjara.
Selain hukuman pidana, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman denda Rp200 juta
subsider tiga bulan kurungan serta kewajiban membayar pengganti kerugian negara
sebesar Rp1 miliar.
Majelis hakim menyatakan Taufik terbukti secara sah dan meyakinkan turut serta
melakukan tindak pidana korupsi karena menyetujui pembayaran yang tidak sesuai
dengan peruntukan dana BPIH dan DAU atas perintah Mantan Menteri Agama Said
Agil Husen Al Munawar selama periode 2001-2004.
Hukuman
yang dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Cicut Sutiarso itu lebih ringan
dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yaitu hukuman delapan tahun
penjara, membayar denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan serta keharusan
mengganti kerugian negara sebesar Rp2,861 miliar.
Korupsi
memang kini dimaknai sebagai perbuatan membahayakan kelangsungan bangsa. Banyak
pejabat dijatuhi hukuman karena "menilep" uang rakyat. Sayangnya,
walau sudah tahu tetapi masih ada juga yang melakukan itu. Bisa jadi kasus
korupsi diumpamakan sebagai seseorang berada di dalam wc yang awalnya merasa
tak nyaman karena bau, tetapi kelamaan merasa senang dengan bau itu.
"Lama-lama, dengan bau itu, yang
bersangkutan di dalam WC merasa kebal," kata Deputi Pencegahan KPK Cahaya
Harianto yang disambut tawa riuh hadirin.
Karena
itu, KPK berharap penandatanganan fakta integritas dan upaya Kemenag bebas dari
korupsi tak sekadar sebagai seremonial. Jajaran Kemenag ke depan harus lebih
baik lagi dan terhindar dari korupsi.
Semua
pihak merasa prihatin ketika ujian ada seorang siswa tak mau mencontek dan
menerima contekan. Kejadian di Jawa Timur, beberapa tahun silam itu, sungguh
mengagetkan. Justru anak yang tak mau mencontek dikucilkan.
Jadi,
lanjut dia, keberanian berbuat jujur, amanah sebagai tindakan hebat merupakan
suatu hal yang sangat berat. Karena itu, pemberantasan dan kegiatan dan sikap
antikorupsi harus dimulai dari diri sendiri, lingkungan keluarga dan rekan
sekantor.
KPK, lanjut dia, tak melarang seseorang untuk menjadi kaya. Tetapi proses dan
mendapatkan harta itu haruslah halal.
Untuk itu pula jajaran Kemenag diingatkan untuk benar-benar memahami
gratifikasi. Jika tak hati-hati bisa mengarah kepada tindakan penyuapan. Ketika
api masih kecil tak membahayakan, tetapi bila sudah menjadi besar sungguh
membahayakan sekali.
Orang amanah adalah yang bisa dipegang kata dan perbuatannya. Karena itu
jajaran Kemenag diharapkan menjadi teladan dalam kejujuran dan ikhlas melayani.
Mementingkan orang banyak, bukan diri sendiri. Aspek religius yang dimiliki
harus menjadi pendorong memberantas korupsi. "Sebab, korupsi mulai dari
sikap buruk dan sistem yang buruk pula, katanya.
Bagai Keledai
Kemenag seharusnya menjadi garda terdepan penjaga moral umat agama-agama bisa menjauhkan diri dari perbuatan tercela, korupsi. Nyatanya hal itu sulit dihindari. Kembali terjadi karena sikap buruk dan sistem yang buruk pula. Padahal, para petinggi di kementerian tersebut kerap mengungkap, harus dihindari keledai jatuh di lubang yang sama.
Untuk itu, tak salah jika M. Jasin sebagai mantan petinggi KPK masuk di jajaran
Kemenag sebagai Irjen. Harus diakui, kehadiran Jasin sebagai Irjen, telah
banyak membawa perubahan di Kemenag. Antara lain mengajak pejabat dari kantor
urusan agama (KUA) dan penghulunya untuk tidak menerima dana gratifikasi atau
sebagai imbal jasa atau upah dari masyarakat. Pembayaran nikah di kantor KUA
gratis, di luar kantor KUA ditetapkan tarif Rp600 ribu yang dibayar melalui
bank terdekat.
Namun
dalam urusan pengelolaan dana haji, justru Jasin sedikit "kerepotan".
Pasalnya, rekan selevelnya - sama-sama pejabat eselon I, - yaitu Dirjen
Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) Anggito Abimanyu ikut menjadi korban dan
berurusan dengan lembaga antirasuah itu.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandu Praja mengatakan
Direktur Jenderal PHU Kemenag Anggito Abimanyu jelas turut salah dalam
pelaksanaan haji 2012-2013. Padahal, selama Anggito menjabat, Jasin kerap
memberi masukan kepada Anggito berupa rekomendasi perbaikan penyelenggaraan
haji.
Sayangnya,
Anggito kurang mengindahkan rekomendasi Irjen Kemenag M. Jasin atas berbagai
temuan. Misalnya soal penyebutan inisial bawahan Anggito yang menerima dana
gratifikasi yang didasari fakta dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK). Kedudukan Anggito kemudian digantikan Abdul Djamil, mantan
Dirjen Bimas Islam yang diharapkan bisa membawa sukses penyelenggaraan haji
1435 H/2014 M ini.
Dalam
kasus ini, sebelumnya Menteri Agama Suryadharma Ali ditetapkan tersangka, kata
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandu Praja.
Penetapan
Suryadharma Ali sebagai tersangka oleh KPK menguatkan pendapat publik bahwa
penyelenggaraan haji butuh optimalisasi dan perbaikan. Di sisi lain, polemik
pro dan kontra terhadap sikap SDA yang tidak mau mengundurkan diri sempat
mengemuka.
Hal
ini kemudian mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggunakan hak
prerogatif menonaktifkan SDA dari jabatan menteri agama. SDA akhirnya mundur
setelah menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada SBY.
Saat
itu, alasan SDA tidak mau mundur lantaran mengaku belum paham apa yang
disangkakan pada dirinya terkait dengan penyalahgunaan dana haji. Dia pun
berkilah keputusan KPK menetapkan tersangka sebagai sebuah kesalahpahaman.
Meski begitu, Ketua Umum DPP PPP itu akhirnya mengundurkan diri setelah
bertemua SBY di Istana Bogor, Senin (26/5).
Sepekan
kemudian, SBY di Istana Kepresidenan Presiden SBY mengangkat Wakil Ketua MPR
2009-2014 dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Lukman Hakim Saifuddin,
sebagai Menteri Agama menggantikan Suryadharma Ali. Bagaimana ke
depan nasib Suryadharma Ali dan Anggito Abimanyu? Publik masih menanti kerja
KPK untuk menuntaskan kasusnya.
Dalam
UU No. 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dijelaskan tugas Kemenag
melalui Dirjen PHU meliputi menerima dana setoran calon jemaah, menyediakan
transportasi (darat-udara), pengadaan akomodasi, pemondokan, konsumsi,
pembinaan, mengelola Dana Abadi Ummat (DAU), dan sekaligus sebagai regulator.
Sejatinya, dalam perspektif good governance, rangkap tugas seperti itu
(penyelenggaraan haji di tangan Kemenag) sudah tidak relevan pada era tata
kelola pemerintahan yang saat ini dituntut profesional, transparan, dan
akuntabel kepada publik.
Alasannya, monopoli kewenangan dan kebijakan yang begitu besar terhadap sebuah
institusi rentan disalahgunakan dan dapat menyuburkan praktik korupsi. Pendapat
itu memang masih bisa dibantah dengan argumentasi bahwa baik buruknya
penyelenggaraan haji sangat tergantung kepada sumber daya manusia (sdm) yang
ada dan kemauan memegang komitmen dan integritas menjalankan amanah yang
diberikan.
Faktanya,
kini penyelenggaraan haji dikeluarkan masyarakat dan kerap menimbulkan masalah.
Utamanya dalam mengelola dana calon jemaah yang saat ini sudah mencapai Rp64
triliun.
Pengamat haji Affan Rangkuti menuturkan bahwa perbaikan penyelenggaraan haji
sudah mendesak. Bukan saja dari aspek manajerial, melainkan juga dari sisi
sistem syariah. Solusi tepat mencegah korupsi dana haji salah satunya adalah
dengan pendekatan syariah, yaitu melakukan pembenahan akad atas setoran awal
wajib dengan syariah Islam tanpa ada penyampuran dengan akad konvensional.
Selain itu, menghapus nama "setoran awal", kemudian disesuaikan
dengan nama akad dalam transaksi syariah sehingga proses haji dengan benar
sesuai dengan fikih syariah.
0 komentar:
Posting Komentar