Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Lipsus - KORUPSI TERJADI (LAGI-LAGI) DI KEMENTERIAN AGAMA

Written By Unknown on Sabtu, 21 Juni 2014 | 19.29


 Catatan Edy Supriatna - Jakarta,21/6(Antara)- Jauh hari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan jajaran Kementerian Agama (Kemenag) agar konsisten menjauhkan diri dari tindakan tercela, termasuk di dalamnya melakukan korupsi.

          Kemenag harus menjadi teladan dalam hal pemberantasan korupsi. Potensi terjadinya tindak pidana korupsi di berbagai instansi, termasuk di kementerian tersebut, masih ada,  kata Deputi Pencegahan KPK Cahaya Harianto ketika memberikan sambutan pada pencanangan pembangunan zona integritas menuju wilayah bebas korupsi di lingkungan Kemenag, di Gedung Kemenag, Jalan MH Thamrin, Jakarta.

           Peringatan dari lembaga antirasuah itu rasanya masih terngiang di teliga. Meski sudah lama, tetapi masih tetap aktual dalam konteks kekinian. Publik pun masih ingat betul peristiwa mantan Menteri Agama Prof. Dr. Haji Said Agil Husin Al Munawar, MA yang terjerat hukum karena kasus dana haji.

           Said Agil Husin Al Munawar, menurut catatan Wikipedia, pada 7 Februari 2006 divonis hukuman lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

          Dia dinyatakan terbukti melakukan korupsi dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Dana Abadi Umat (DAU) pada tahun 2002-2004. Penyelewengan BPIH oleh Munawar mencapai Rp35,7 miliar, sedangkan Dana Abadi Umat (DAU) yang diselewengkan berjumlah Rp240,22 miliar.

          Bersamaan dengan itu, mantan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji (Dirjen BIPH) Taufik Kamil divonis empat tahun penjara. Selain hukuman pidana, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan serta kewajiban membayar pengganti kerugian negara sebesar Rp1 miliar.

         Majelis hakim menyatakan Taufik terbukti secara sah dan meyakinkan turut serta melakukan tindak pidana korupsi karena menyetujui pembayaran yang tidak sesuai dengan peruntukan dana BPIH dan DAU atas perintah Mantan Menteri Agama Said Agil Husen Al Munawar selama periode 2001-2004.

        Hukuman yang dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Cicut Sutiarso itu lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yaitu hukuman delapan tahun penjara, membayar denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan serta keharusan mengganti kerugian negara sebesar Rp2,861 miliar.

          Korupsi memang kini dimaknai sebagai perbuatan membahayakan kelangsungan bangsa. Banyak pejabat dijatuhi hukuman karena "menilep" uang rakyat. Sayangnya, walau sudah tahu tetapi masih ada juga yang melakukan itu. Bisa jadi kasus korupsi diumpamakan sebagai seseorang berada di dalam wc yang awalnya merasa tak nyaman karena bau, tetapi kelamaan merasa senang dengan bau itu.
         
 "Lama-lama, dengan bau itu, yang bersangkutan di dalam WC merasa kebal," kata Deputi Pencegahan KPK Cahaya Harianto yang disambut tawa riuh hadirin.

          Karena itu, KPK berharap penandatanganan fakta integritas dan upaya Kemenag bebas dari korupsi tak sekadar sebagai seremonial. Jajaran Kemenag ke depan harus lebih baik lagi dan terhindar dari korupsi.

          Semua pihak merasa prihatin ketika ujian ada seorang siswa tak mau mencontek dan menerima contekan. Kejadian di Jawa Timur, beberapa tahun silam itu, sungguh mengagetkan. Justru anak yang tak mau mencontek dikucilkan.

          Jadi, lanjut dia, keberanian berbuat jujur, amanah sebagai tindakan hebat merupakan suatu hal yang sangat berat. Karena itu, pemberantasan dan kegiatan dan sikap antikorupsi harus dimulai dari diri sendiri, lingkungan keluarga dan rekan sekantor.

           KPK, lanjut dia, tak melarang seseorang untuk menjadi kaya. Tetapi proses dan mendapatkan harta itu haruslah halal.

           Untuk itu pula jajaran Kemenag diingatkan untuk benar-benar memahami gratifikasi. Jika tak hati-hati bisa mengarah kepada tindakan penyuapan. Ketika api masih kecil tak membahayakan, tetapi bila sudah menjadi besar sungguh membahayakan sekali.

           Orang amanah adalah yang bisa dipegang kata dan perbuatannya. Karena itu jajaran Kemenag diharapkan menjadi teladan dalam kejujuran dan ikhlas melayani. Mementingkan orang banyak, bukan diri sendiri. Aspek religius yang dimiliki harus menjadi pendorong memberantas korupsi. "Sebab, korupsi mulai dari sikap buruk dan sistem yang buruk pula, katanya.

   
Bagai Keledai

       Kemenag seharusnya menjadi garda terdepan penjaga moral umat agama-agama bisa menjauhkan diri dari perbuatan tercela, korupsi. Nyatanya hal itu sulit dihindari. Kembali terjadi karena sikap buruk dan sistem yang buruk pula. Padahal, para petinggi di kementerian tersebut kerap mengungkap, harus dihindari keledai jatuh di lubang yang sama.

           Untuk itu, tak salah jika M. Jasin sebagai mantan petinggi KPK masuk di jajaran Kemenag sebagai Irjen. Harus diakui, kehadiran Jasin sebagai Irjen, telah banyak membawa perubahan di Kemenag. Antara lain mengajak pejabat dari kantor urusan agama (KUA) dan penghulunya untuk tidak menerima dana gratifikasi atau sebagai imbal jasa atau upah dari masyarakat. Pembayaran nikah di kantor KUA gratis, di luar kantor KUA ditetapkan tarif Rp600 ribu yang dibayar melalui bank terdekat.

            Namun dalam urusan pengelolaan dana haji, justru Jasin sedikit "kerepotan". Pasalnya, rekan selevelnya - sama-sama pejabat eselon I, - yaitu Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) Anggito Abimanyu ikut menjadi korban dan berurusan dengan lembaga antirasuah itu.

           Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandu Praja mengatakan Direktur Jenderal PHU Kemenag Anggito Abimanyu jelas turut salah dalam pelaksanaan haji 2012-2013. Padahal, selama Anggito menjabat, Jasin kerap memberi masukan kepada Anggito berupa rekomendasi perbaikan penyelenggaraan haji.

          Sayangnya, Anggito kurang mengindahkan rekomendasi Irjen Kemenag M. Jasin atas berbagai temuan. Misalnya soal penyebutan inisial bawahan Anggito yang menerima dana gratifikasi yang didasari fakta dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kedudukan Anggito kemudian digantikan Abdul Djamil, mantan Dirjen Bimas Islam yang diharapkan bisa membawa sukses penyelenggaraan haji 1435 H/2014 M ini.

          Dalam kasus ini, sebelumnya Menteri Agama Suryadharma Ali ditetapkan tersangka, kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandu Praja.

          Penetapan Suryadharma Ali sebagai tersangka oleh KPK menguatkan pendapat publik bahwa penyelenggaraan haji butuh optimalisasi dan perbaikan. Di sisi lain, polemik pro dan kontra terhadap sikap SDA yang tidak mau mengundurkan diri sempat mengemuka.

          Hal ini kemudian mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggunakan hak prerogatif menonaktifkan SDA dari jabatan menteri agama. SDA akhirnya mundur setelah menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada SBY.

         Saat itu, alasan SDA tidak mau mundur lantaran mengaku belum paham apa yang disangkakan pada dirinya terkait dengan penyalahgunaan dana haji. Dia pun berkilah keputusan KPK menetapkan tersangka sebagai sebuah kesalahpahaman. Meski begitu, Ketua Umum DPP PPP itu akhirnya mengundurkan diri setelah bertemua SBY di Istana Bogor, Senin (26/5).

          Sepekan kemudian, SBY di Istana Kepresidenan Presiden SBY mengangkat Wakil Ketua MPR 2009-2014 dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Lukman Hakim Saifuddin, sebagai Menteri Agama menggantikan Suryadharma Ali.  Bagaimana ke depan nasib Suryadharma Ali dan Anggito Abimanyu? Publik masih menanti kerja KPK untuk menuntaskan kasusnya.

          Dalam UU No. 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dijelaskan tugas Kemenag melalui Dirjen PHU meliputi menerima dana setoran calon jemaah, menyediakan transportasi (darat-udara), pengadaan akomodasi, pemondokan, konsumsi, pembinaan, mengelola Dana Abadi Ummat (DAU), dan sekaligus sebagai regulator.

           Sejatinya, dalam perspektif good governance, rangkap tugas seperti itu (penyelenggaraan haji di tangan Kemenag) sudah tidak relevan pada era tata kelola pemerintahan yang saat ini dituntut profesional, transparan, dan akuntabel kepada publik.

         Alasannya, monopoli kewenangan dan kebijakan yang begitu besar terhadap sebuah institusi rentan disalahgunakan dan dapat menyuburkan praktik korupsi. Pendapat itu memang masih bisa dibantah dengan argumentasi bahwa baik buruknya penyelenggaraan haji sangat tergantung kepada sumber daya manusia (sdm) yang ada dan kemauan memegang komitmen dan integritas menjalankan amanah yang diberikan.

          Faktanya, kini penyelenggaraan haji dikeluarkan masyarakat dan kerap menimbulkan masalah. Utamanya dalam mengelola dana calon jemaah yang saat ini sudah mencapai Rp64 triliun.

           Pengamat haji Affan Rangkuti menuturkan bahwa perbaikan penyelenggaraan haji sudah mendesak. Bukan saja dari aspek manajerial, melainkan juga dari sisi sistem syariah. Solusi tepat mencegah korupsi dana haji salah satunya adalah dengan pendekatan syariah, yaitu melakukan pembenahan akad atas setoran awal wajib dengan syariah Islam tanpa ada penyampuran dengan akad konvensional.

           Selain itu, menghapus nama "setoran awal", kemudian disesuaikan dengan nama akad dalam transaksi syariah sehingga proses haji dengan benar sesuai dengan fikih syariah. 


0 komentar:

Posting Komentar