Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

HAPUS SUDAH GRATIFIKASI BAGI PENGHULU

Written By Unknown on Kamis, 10 Juli 2014 | 18.25

Catatan Edy Supriatna - Boleh jadi kini para penghulu tak perlu lagi ragu menjalankan profesinya karena sudah memiliki payung hukum berupa peraturan pemerintah (PP) 48 tahun 2014. PP tersebut sejatinya merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah  Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Departemen Agama.

      PP 48 Tahun 2014 tersebut ditandatangai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Juni 2014 dan diundangkan pada tanggal yang sama. PP ini berlaku tujuh hari sejak diundangkan.

      Sebelumnya - hampir setahun berlangsung - polemik tentang penghulu menerima dana gratifikasi berlangsung hebat. Dalam berbagai diskusi, penghulu dinilai jelas-jelas menerima gratifikasi. Publik pun masih ingat kasus penghulu Romli asal Kediri, Jawa Timur, yang divonis Ketua Majelis Hakim Sri Herawati dengan hukuman satu tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Surabaya.

      Pejabat pencatat nikah itu terbukti menerima aliran dana sebesar Rp50 ribu untuk setiap pernikahan ditambah Rp10 ribu per pernikahan dalam kapasitasnya sebagai Kepala KUA, dari pencatatan nikah antara Januari hingga Desember 2012. Menurut aturan, biaya resmi untuk pernikahan harusnya Rp30 ribu dan ketika mendaftar sudah dinaikkan lebih menjadi Rp225 ribu.

       Kasus Romli itu lantas memancing reaksi keras penghulu di Jawa Timur. Forum Komunikasi Kepala Kantor Urusan Agama (FKK-KUA) se-Jawa Timur kemudian menolak pernikahan di luar balai nikah KUA. Alasannya, merasa takut dituduh menerima gratifikasi. Karena itu mereka hanya bersedia melayani pernikahan dilakukan di dalam kantor sesuai dengan jam kerja.

      Para penghulu membatasi pelayanan kepada warga yang hendak menikahkan anggota keluarganya di luar jam kantor ataupun pada hari libur. Namun harus diingat bahwa tindakan tersebut sejatinya bukan dalam wujud pemogokan.  Pembatasan pelayanan itu diarahkan sebagai upaya menjaga kehormatan dan martabat penghulu guna menghindari penilaian bahwa mereka menerima dana gratifikasi dari keluarga shahibul bait atau tuan rumah ketika menikahkan pasangan pengantin di luar jam kantor atau pada hari libur.

      Hal itu pun merupakan wujud dari makin tingginya kesadaran hukum para penghulu mengingat budaya pemberian amplop dari tuan rumah kepada penghulu sudah berlangsung lama di negeri ini. Bahkan, itu sudah menjadi "kearifan lokal".

      Apa pun alasannya, patut dicatat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui survei  tentang pelayanan publik di sejumlah kementerian telah mengingatkan jajaran Kementerian Agama (Kemenag). Komisi antirasuah itu memberi nilai kepada Kemenag di bawah rata-rata layanan publik nasional.

       Irjen Kemenag M. Jasin, mantan pejabat di KPK itu, juga pernah menyebut bahwa hasil survei KPK menunjukkan bahwa pelayanan publik dari KUA telah menempatkan kementerian itu sebagai lembaga terkorup. Itu harus diperbaiki. Biaya administrasi pernikahan sesuai dengan aturan hanya Rp30 ribu. Realitas di lapangan, penghulu memungut biaya pernikahan lebih dari itu.

       Diperhitungkan jika ada Rp2,5 juta hajatan pernikahan setiap tahun dengan rata-rata Rp500 ribu setiap hajatan, total pungutan tersebut mencapai Rp1,2 triliun.

       Terkait kasus itu, Ketua Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) Wagimun menilai Pemerintah tidak tegas dengan membiarkan penghulu diposisikan sebagai penerima dana gratifikasi sehingga beberapa penghulu di Jatim kini menjadi incaran pihak kejaksaan.

      Pernyataan Wagimun itu diamini mantan Sekjen Kemenag Bahrul Hayat. Katanya, penghulu, yang juga merupakan pegawai negeri sipil (PNS), semestinya tidak dibenarkan menerima hadiah. Sebab, mereka sudah menerima gaji. Sayangnya, lanjut Bahrul, negara tidak menyediakan dana operasional bagi mereka itu.

       Untuk biaya operasional KUA saja baru mendapat perhatian beberapa tahun saja, dengan dana operasional Rp2 juta per bulan. "Tahun depan, rencananya dinaikan menjadi Rp3 juta per bulan," katanya.

       Untuk operasional penghulu, sudah lama tidak ada. Padahal dari sisi geografis wilayah Indonesia, jika dikaitkan dengan kegiatannya, tantangan penghulu sungguh berat. Itu maknanya bahwa negara telah mengabaikan penghulu.

       Ketika Kementerian Agama dituding sebagai lembaga paling korup dari hasil survei  KPK, pihaknya telah menjelaskan kepada jajaran komisi antirasuah itu agar segera dicarikan jalan keluarnya. Nyatanya, dana yang dibutuhkan mencapai Rp600 miliar tidak disetujui oleh Kementerian Keuangan. Dampaknya pelayanan publik pun terganggu.

       Keadaan ini tidak bisa dibiarkan. Penghulu memang tidak dibenarkan meminta hadiah atau mematok tarif dari kegiatan menikahkan pasangan pengantin. "Tapi, jangan tanya saya apakah dibenarkan penghulu menerima hadiah dari tuan rumah," kata Bahrul Hayat.

Sepakat diakhiri

       Akhirnya KPK, Kemenag, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan Kementerian Keuangan sepakat bahwa praktik penerimaan honor, tanda terima kasih, pengganti uang transportasi, atau istilah lainnya terkait dengan pencatatan nikah merupakan gratifikasi dan harus segera diakhiri.

      Menurut Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono, uang yang diterima oleh penghulu merupakan gratifikasi dan dilarang sesuai dengan Pasal 12 B UU tentnag Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga, setiap penerimaan gratifikasi harus dilaporkan kepada KPK maksimal 30 hari sejak diterima.

      "Kondisi penerimaan gratifikasi yang diterima penghulu disebabkan keterbatasan anggaran di KUA sekitar Rp2 juta per bulan dan tahun depan menjadi Rp3 juta. Uang operasional itu untuk biaya rutin KUA, honor penjaga kantor, petugas kebersihan, petugas pembantu pencatat nikah, dan lainnya," kata Giri di Gedung KPK, Jakarta.

       Menurut Giri, uang Rp2 juta itu tidak bisa menutupi biaya transportasi petugas pencatat nikah. Tidak ada fasilitas dan sarana atau prasarana bagi penghulu untuk mendatangi calon pengantin. Kondisi itu membuka peluang dijadikannya alasan pembenaran praktik penerimaan gratifikasi atau pemberian untuk menutupi biaya transporasi dan operasional.

      Sebagai solusinya, menurut Giri, disepakati biaya operasional di luar kantor atau di luar jam kerja, karena nikah umumnya hari libur, dibebankan kepada APBN, melalui PNBP. Artinya tidak boleh lagi menerima dari pihak yang menikahkan, kecuali yang resmi. Lalu, perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Departemen Agama. PP itu paling lambat diubah akhir Januari 2014.

      "Menunggu terbitnya PP yang baru, Kemenag akan mengeluarkan surat edaran tentang pelayanan catatan nikah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku," kata Giri.


Disyukuri

      Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengaku bersyukur dan menyambut baik disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2014 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah  Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Departemen Agama. 

     Menag pun meminta seluruh jajarannya, baik di Kanwil Kemenag Provinsi maupun Kantor Kemenag Kabupaten/Kota untuk segera mensosialisasikan kepada masyarakat. “Kita bersyukur bahwa Presiden sudah menandatangani itu. Ini harus bisa disosialisasikan dengan baik, dan itu menjadi tugas Pemerintah,” terang Menag saat dimintai tanggapannya, Selasa (08/07), terkait sudah ditandatanganinya PP 48 tahun 2014 oleh Presiden pada 27 Juni 2014 lalu.

      "Saya berharap seluruh jajaran Kanwil, Kankemenag, untuk bisa mensosialisasikan isi PP ini," tambahnya.

       Menurut Menag, inti dari PP ini adalah memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, termasuk jajaran Kemeneterian Agama (KUA dan para penghulu), terkait pelaksanaan proses pernikahan, khususnya yang terkait dengan pembiayaan dan tata cara pernikahan.  PP ini mengatur bahwa seandainya pernikahan dilakukan  di kantor KUA dan pada jam kerja, maka itu gratis. Sementara jika dilakukan di luar KUA dan di luar jam kerja, maka ada ketentuan yang menyangkut biaya.

      "Kalau karena satu dan lain hal harus menggunakan tempat lain di luar KUA apalagi di luar jam kerja maka ada biaya-biaya yang harus menjadi beban masyarakat itu sendiri dan itu sudah ditentukan di PP itu besarannya,” terang Menag. 

       Setelah berlaku lebih dari 10 tahun, Peraturan Pemerintah  Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Departemen Agama akhirnya direvisi. Perubahan itu dilakukan pada ketentuan Pasal 6 sehingga dalam PP yang baru ini diatur sebagai berikut: 

       (1) Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar  Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan  biaya pencatatan nikah atau rujuk.

       (2) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar  Kantor Urusan Agama Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan. 

   (3) Terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan  nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat  dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah). 

       (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah) kepada  warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah  atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan  Peraturan Menteri Agama setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. 

       Selain itu, PP ini juga mengatur bahwa  penerimaan Negara bukan pajak dari Kantor Urusan Agama Kecamatan atas pencatatan pernikahan dan rujuk yang dilakukan di luar KUA sebesar Rp. 600.000. Salah satu pertimbangan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama sebagaimana diatur dalam  PP ini adalah untuk meningkatkan pelayanan pencatatan nikah atau rujuk.

       PP 48 Tahun 2014 ini ditandatangai Presiden SBY pada 27 Juni 2014 dan diundangkan pada tanggal yang sama. Disebutkan juga bahwa PP ini berlaku tujuh hari sejak diundangkan.

0 komentar:

Posting Komentar