Catatan Edy Supriatna - Suatu
pagi di Jalan Budi Oetomo, seorang guru berdiri di pintu gerbang Sekolah
Menengah Kejuruan Teknik (SMKT) – yang pada zaman ‘doeloe’ dikenal sebagai STM
Boedi Oetomo (Boedoet) – dan nampak satu per satu siswa yang melintas mencium
tangan guru bersangkutan.
Guru
bersangkutan nampak bahagia. Ia kerap kali melempar senyum kepada para siswa
yang tergopoh-gopoh memasuki halaman sekolah. Para siswa terlihat berseragam
necis. Saat siswa tak lagi terlihat datang dan suasana menjadi sepi, guru yang
sejak pagi berdiri di pintu gerbang sekolah itu pun beranjar masuk ke dalam.
Lantas,
tak lama kemudian, bel sekolah pun berbunyi sebagai tanda dimulainya aktivitas
rutin di sekolah tersebut. Yaitu, proses belajar.
Menarik
kegiatan guru berdiri tiap hari di pintu gerbang sekolah tersebut. Sejatinya
kehadirannya di situ bukan untuk diminta agar tangannya dicium para siswa. Tapi
sang guru memperhatikan satu per satu siswa yang datang, menjalin komunikasi
“batin”.
Dari
bentuk komunikasi – cium tangan – guru dan siswa tertanam pembelajaran memberi
hormat kepada orang yang lebih tua. Termasuk bisa melahirkan komunikasi lebih
baik lagi antara anak dan orang tua karena sudah dibiasakan menjalin komunikasi
dengan cara-cara yang sangat santun.
STM
Boedi Oetomo pada zaman “bahela” sangat dikenal warga Jakarta dengan “warga gelap”.
Sering tawuran dan melakukan aksi kekerasannya. Syukur, dan diharapkan
seterusnya, aksi negatif dari siswanya tak ada lagi.
Cium
tangan kepada orang yang lebih tua merupakan wujud rasa hormat. Jika bersalaman
antarsesama dengan kedudukan setara, bisa pula dimaknai sebagai
ungkapan mengucapkan selamat, memberi apresiasi dan membuat persetujuan.
Jabat tangan biasa dilakukan pula saat berkenalan dengan orang yang pertama
kali dijumpai.
Namun
jelas, berjabat tangan merupakan niat baik ditujukan kepada pihak yang
tangannya dijabat. Secara implisit, jabat tangan mengirimkan isyarat
keterbukaan. Kebiasaan itu merupakan wujud komunikasi nonverbal. Secara
universal pada beberapa budaya jika dijumpai orang yang menolak jabatan tangan
tanpa alasan bisa disebut kurang sopan. Bahkan tak mau memberi maaf atau masih
menyimpan rasa permusuhan.
Sungguh
menggembirakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan meminta
masyarakat Indonesia merayakan Hari Guru pada 25 November tidak hanya dengan
acara seremonial, namun juga melakukan gerakan nyata kunjungi dan cium tangan
guru.
"Untuk
merayakan Hari Guru, kami minta seluruh rakyat Indonesia merayakan dengan cara
menghormati guru, bukan sekedar upacara seremoni di sekolah-sekolah. Saya
tanya, kapan terakhir kita mendatangi SD, SMP dan SMA kita untuk mengucapkan
terima kasih?" kata Anies usai peluncuran album "Salam 3 Jari"
di RRI Jakarta, Sabtu.
Anies menilai, jika
gerakan itu dapat dilakukan secara massal, maka akan tumbuh kesadaran untuk
lebih menghargai profesi guru.
"Kalau kita bisa
dorong masyarakat lakukan itu, datangi guru, cium tangannya, tanya kabarnya,
ucapkan terima kasih, bukan hanya lewat lisan atau seremonial, maka kita akan
mendadak sadar betapa kita sudah berubah banyak, sedangkan guru kita tetap
sama," katanya.
Anies menyatakan,
tidak sependapat jika guru disebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, karena
pada kenyataannya setiap orang adalah pembawa jasa-jasa guru.
"Semua orang yang
ada di sini membawa bekas jasa guru. Guru bukan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, tapi
dengan tanda jasa," katanya.
Ia pun memastikan,
jika gerakan memuliakan guru terus berlanjut, maka akan menjadi sebuah semangat
yang cepat menular. "Memuliakan guru bisa dilakukan siapa saja, tak perlu
jadi orang besar. Seandainya kita cuma kerja di bengkel, kalau ada guru, maka
dahulukan guru," katanya.
Dengan gerakan
seperti itu, Anies mengatakan, masyarakat tidak akan membebankan kemajuan pendidikan
di pundak pemerintah saja. "Yang bergerak jangan hanya pemerintah.
Pemerintah tanggung jawabnya melunasi semua urusan mulai dari tunjangan dan
lain-lain, tapi menghargai guru harus dimulai dari masyarakat," kata Anies
Baswedan.
Hari Guru Nasional (HGN) ke-69 digelar
di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa (24/11/2014).
Hadir selaku inspektur upacara, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan
Menengah, Anies Baswedan.
Menteri
Anies mengucapkan selamat kepada guru-guru yang telah membuat kemajuan bangsa
Indonesia. Guru dinilai sebagai hulu dari kemajuan bangsa Indonesia sehingga ia
meminta semua elemen menghormati guru. "Izinkan saya sampaikan apresiasi
bapak atau ibu yang telah mengemban tugas mulia dan mengabdi dengan
hati,"kata Anies.
Untuk
itulah, sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan
Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25
November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun.
Semoga PGRI, guru, dan bangsa Indonesia tetap jaya dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
tidak jarang dari guru-guru mengajar dengan segala keterbatasan
sarana.
"Kita harus akui belum tempat guru pada tempat yang
seharusnya," ucap Anies.
Anies berpendapat, cara menghormati guru merupakan cerminan suatu
bangsa. Masyarakat diminta untuk lebih memuliakan guru dengan berbagai tindakan
nyata. Beberapa persoalan guru yang belum tuntas ia janjikan bisa dibenahi.
"Pendidikan harus berjalan dipundak guru adalah wajah masa
depan kita,"kata penggagas program "Indonesia Mengajar," itu.
Anies mengatakan, pendidikan merupakan lumbung kemajuan sutu
bangsa. Kualitas manusia akan bisa diukur dengan kemajuan pendidikannya.
"Saya ingin mengajak pendidikan bukan semata-mata urusan
pemerintah. Saya mengajak Warga Negara Indonesia untuk ikut kerjasama untuk
masa depan yang lebih baik," ucap Anies.
Menteri Anies meminta semua pihak bisa berperan aktif memajukan
pendidikan. Ia berharap sekolah dijadikan sebagai zona pembentukan karakter
baik dengan anak-anak yang baik dan guru yang teladan.
"Selamat meneruskan pengabdian mulia, selamat menginspirasi
dan Selamat Hari Guru," ucap Anies.
Sejarah Hari Guru
PGRI
lahir pada 25 November 1945, setelah 100 hari proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Cikal bakal organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia
Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru
Indonesia (PGI) tahun 1932.
Kusdiyono,
pemerhati sosial menulis, bahwa semangat kebangsaan Indonesia telah lama tumbuh
di kalangan guru-guru bangsa Indonesia. Organisasi perjuangan huru-guru pribumi
pada zaman Belanda berdiri tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda
(PGHB).
Organisasi
ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru
Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Dengan latar belakang pendidikan
yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat
Angka Dua.
Sejalan dengan keadaan itu maka disamping PGHB berkembang pula
organisasi guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan yang lainnya.
Kesadaran
kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru
pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Hasilnya
antara lain adalah Kepala HIS yang dulu selalu dijabat orang Belanda, satu per
satu pindah ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan ini makin berkobar
dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kesadaran. Perjuangan guru tidak lagi
perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi
dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak
“merdeka.”
Pada
tahun 1932 nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi Persatuan
Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata
“Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh
Belanda. Sebaliknya, kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan
bangsa Indonesia.
Pada
zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan
Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitas.
Semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan
Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta.
Melalaui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas
perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan
suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah – guru-guru yang aktif mengajar,
pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang
baru dibentuk. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Di
dalam kongres inilah, pada tanggal 25 November 1945 – seratus hari setelah
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia – Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) didirikan.
Dengan
semangat pekik “merdeka” yang bertalu-talu, di tangan bau mesiu pemboman oleh
tentara Inggris atas studio RRI Surakarta, mereka serentak bersatu untuk
mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan :
1. Memepertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia;
2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan
dasar-dasar kerakyatan;
3. Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.
Sejak
Kongres Guru Indonesia itulah, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu
di dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Jiwa pengabdian, tekad perjuangan dan semangat persatuan dan
kesatuan PGRI yang dimiliki secara historis terus dipupuk dalam mempertahankan
dan mengisi kemerdekaan negara kesatuan republik Indonesia. Dalam rona dan
dinamika politik yang sangat dinamis, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
tetap setia dalam pengabdiannya sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi,
dan organisasi ketenagakerjaan, yang bersifat unitaristik, independen, dan
tidak berpolitik praktis.
Untuk
itulah, sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan
Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25
November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun.
Semoga PGRI, guru, dan bangsa Indonesia tetap jaya dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
tidak jarang dari guru-guru mengajar dengan segala keterbatasan
sarana.
"Kita harus akui belum tempat guru pada tempat yang
seharusnya," ucap Anies.
Anies berpendapat, cara menghormati guru merupakan cerminan suatu
bangsa. Masyarakat diminta untuk lebih memuliakan guru dengan berbagai tindakan
nyata. Beberapa persoalan guru yang belum tuntas ia janjikan bisa dibenahi.
"Pendidikan harus berjalan dipundak guru adalah wajah masa
depan kita,"kata penggagas program "Indonesia Mengajar," itu.
Anies mengatakan, pendidikan merupakan lumbung kemajuan sutu
bangsa. Kualitas manusia akan bisa diukur dengan kemajuan pendidikannya.
"Saya ingin mengajak pendidikan bukan semata-mata urusan
pemerintah. Saya mengajak Warga Negara Indonesia untuk ikut kerjasama untuk
masa depan yang lebih baik," ucap Anies.
Menteri Anies meminta semua pihak bisa berperan aktif memajukan
pendidikan. Ia berharap sekolah dijadikan sebagai zona pembentukan karakter
baik dengan anak-anak yang baik dan guru yang teladan.
"Selamat meneruskan pengabdian mulia, selamat menginspirasi
dan Selamat Hari Guru," ucap Anies.
07.40 | 0
komentar