Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

KEMENAG: UMAT KONGHUCU MASIH MILIKI KEKHAWATIRAN

Written By Unknown on Kamis, 28 Agustus 2014 | 18.27

Catatan Edy Supriatna - Jakarta, 27/8 (Antara) - Sekjen Kementerian Agama Nur Syam menyatakan sampai saat ini di antara umat Konghucu masih memiliki  sikap khawatir untuk tampil menunjukkan diri sebagai umat Konghucu, sehingga menyulitkan bagi jajaran kementerian itu dalam memberikan pelayan dan pembinaan.

        "Kita harus mengakui bahwa pelayanan dan pembinaan bagi umat Konghucu tersebut belum maksimal," kata Nur Syam kepada Antara di Jakarta, Rabu.

        Hal ini bukan karena kurangnya perhatian Kementerian Agama dalam hal pelayanan dan pembinaan terhadap umat Konghucu, melainkan masih adanya berbagai kendala di lapangan yang menjadikan layanan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik.

        Kendala tersebut, ujarnya, selain belum adanya data yang memadai, juga masih adanya sikap apatis atau khawatir di kalangan umat Konghucu sendiri untuk tampil menunjukkan dirinya sebagai umat Konghucu.
        Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Agama menunjukkan bahwa masih banyak umat Konghucu belum bersedia atau masih enggan menampilkan diri dalam bentuk formal, katanya.

        Meski mengaku beragama Konghucu, kata Nur Syam, tetapi identitas dirinya dalam kartu pengenal masih beragama lain. Kondisi masa lalu merupakan salah satu alasan mengapa mereka bersikap seperti itu.

        Di samping itu di beberapa daerah, juga masih dijumpai aparat pemerintah yang tidak memahami tentang agama Konghucu, sehingga perubahan identitas agama dalam kartu tanda penduduk (KTP) dan dokumen lain tidak dapat dilakukan secara mudah.

        "Kami kira ini pekerjaan rumah kawan-kawan dari MATAKIN atau MAKIN untuk secara terus-menerus dapat meyakinkan kepada umatnya bahwa menjadi umat Konghucu dijamin dan dilindungi oleh Negara," tegasnya.

        Di samping itu, sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan terkait dengan layanan agama, hak-hak sipil, dan pendidikan di lingkungan instansi pemerintah harus terus menerus dilakukan.

        "Saya menyampaikan apresiasi kepada pusat kerukunan umat beragama (PKUB) yang telah menyelenggarakan workshop dan konsultasi ini. Hal ini sangat penting mengingat layanan dan pembinaan umat Konghucu di berbagai daerah masih pada tahap permulaan.

        Pembukaan kegiatan "Workshop dan Konsultasi Pelaksana Bimas Khonghucu" diikuti utusan dari seluruh Indonesia, berlangsung  26 hingga 28 Agustus  2014 di Jakarta.

        Dalam pertemuan ini juga hadir pejabat dari instansi terkait seperti Direktorat Pencatatan Sipil, Direktorat Kependudukan serta Badan Standar Nasional Pendidikan, yang diharapkan dapat memberikan masukan khususnya dalam memecahkan masalah-masalah yang selama ini dihadapi oleh umat Konghucu terkait dengan pelayanan hak sipil maupun pendidikan.

        "Melalui workshop dan konsultasi saya berharap dapat meningkatkan pemahaman para peserta terhadap tugas dan tanggung jawabnya sehingga layanan dan pembinaan umat Konghucu di masa mendatang akan semakin membaik sesuai Visi dan Misi yang diemban oleh Kementerian Agama," kata Nur Syam. 
18.27 | 0 komentar

KEMENAG: PELAYANAN KEPADA UMAT KONGHUCU BELUM MAKSIMAL

Catatan Edy Supriatna-Jakarta, 26/8 (Antara) - Sekjen Kementerian Agama Nur Syam mengakui bahwa pelayanan dan pembinaan kepada umat Konghucu sampai saat ini belum dirasakan dapat berjalan secara maksimal disebabkan berbagai hal, katanya di Jakarta, Selasa malam.

            Itu bukan disebabkan tidak melakukan upaya, tetapi karena berbagai hal yang terjadi di lapangan, kata Nur Syam pada Workshop dan Konsultasi Pelaksana Bimas Khonghucu di Seluruh Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) di Jakata.

            Salah satu kendala yang sangat penting yang menjadi penghambat layanan dan pembinaan umat Konghucu adalah data. Sampai hari ini Kementerian Agama belum memiliki data yang cukup memadai tentang seberapa banyak umat Konghucu yang tersebar di provinsi maupun kabupaten/kota di seluruh wilayah Indonesia.

            Sampai hari ini pun belum ada data yang menunjukkan berapa besar anak-anak yang bersekolah di SD, SMP, dan SMU/SMK yang beragama Konghucu, sehingga belum dapat diketahui secara pasti berapa banyak kebutuhan guru, buku-buku, dan sarana pembelajaran Pendidikan Agama di sekolah, ia menjelaskan.

            Sementara data menjadi acuan pokok dalam proses perencanaan program Pemerintah. Tanpa hadirnya data akan sangat sulit untuk bisa meyakinkan lembaga Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang perencanaan dan keuangan seperti Bappenas dan Kementerian Keuangan untuk mendapatkan anggaran. Untuk itu pendataan harus menjadi program prioritas pada tahun 2015 dan beberapa tahun berikutnya.

            Kendala di bidang pendidikan khususnya tidak tersedianya tenaga guru pendidikan agama Konghucu memang tidak dapat dipenuhi dengan mudah, karena sesuai standar yang ditetapkan dalam undang-undang, seorang guru sekurang-kurangnya harus berijazah S1 Pendidikan Agama (Konghucu), katanya.

           Di sisi lain, lanjut dia, di kalangan umat Konghucu, belum ada tenaga lulusan S1 Pendidikan Agama Konghucu. Untuk mengatasi ketiadaan guru pendidikan agama Konghucu, telah dilakukan berbagai pelatihan workshop bagi para rohaniwan Konghucu untuk menyiapkan mereka menjadi Pembina Pendidikan Agama Konghucu di sekolah-sekolah yang terdapat anak didik beragama Konghucu.

          Ia mengakui bahwa di kota Semarang mulai akhir 2013 yang lalu telah beroperasi sebuah Sekolah Tinggi Agama Konghucu Swasta yang disebut SETAKONG Xin Ruin yang diharapkan kelak bisa mengisi kebutuhan guru pendidikan agama Konghucu.   

      Workshop dan Konsultasi Pelaksana Bimas Khonghucu yang baru pertama kali ini merupakan forum strategis untuk melakukan evaluasi program dan kegiatan pelayanan terhadap Agama Khonghucu.    

      Selain sebagai forum diskusi dan konsultasi, katanya, juga dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif, untuk merumuskan langkah-langkah perencanaan program kegiatan tahun yang akan datang.

           Dengan pertemuan ini diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan hak sipil dan pendidikan agama Khonghucu. Nur Syam memberi apresiasi atas terselenggaranya kegiatan tersebut, 

18.21 | 0 komentar

SUARA HARMONI DARI MASJID-GEREJA BERTETANGGA

Written By Unknown on Minggu, 24 Agustus 2014 | 23.33

gereja-dan-masjid-di-solo-ini-satu-halaman-dan-satu-dinding.jpgCatatan Edy Supriatna - Dalam prespektif musik, harmoni dapat didefinisikan sebagai pernyataan keselarasan, keserasian antara bunyi-bunyi instrumen musik yang tercipta menjadi satu kesatuan gerak yang seimbang ketika diperdengarkan sehingga dapat menggugah jiwa karena keterpaduan rasa dan suara.

           Para pemusik tentu ada yang sepakat bahwa nada adalah suatu jenis unsur suprasegmental, yang ditandai oleh tinggi-rendahnya arus-ujaran. Tinggi rendahnya arus-ujaran terjadi karena frekuensi getaran yang berbeda antar segmen.

            Arie Sultan Prasetyo seorang pelatih drumband menulis dalam sebuah laman bahwa bila seseorang berada dalam kesedihan ia akan berbicara dengan nada yang rendah. Sebaliknya bila berada dalam keadaan gembira atau marah, nada tinggilah yang biasanya dipergunakan orang.         

         Suatu perintah atau pertanyaan selalu disertai nada yang khas. Nada dalam ilmu bahasa biasanya dilambangkan dengan angka misalnya /2 3 2/ yang berarti segmen pertama lebih rendah bila dibandingkan dengan segmen kedua, sedangkan segmen ketiga lebih rendah dari segmen kedua.

               Dengan nada yang berbeda, bidang arti yang dimasukinya pun akan berbeda. Pengertian irama/ritme secara sederhana adalah perulangan bunyi-bunyian menurut pola tertentu dalam sebuah lagu. Perulangan bunyi bunyian ini juga menimbulkan keindahan dan membuat sebuah lagu menjadi enak didengar. Irama juga dapat disebut sebagai gerakan berturut secara teratur. Irama keluar dari perasaan seseorang sehubungan dengan apa yang dia rasakan.

             Dalam realitas sosial, harmoni bisa pula dimakai sebagai keseimbangan pergaulan, karena kata dan perbuatan selaras sehingga - baik seorang atau kelompok - satu sama lain saling menghormati karena adanya perbedaan. Rasa dan egois ditekan untuk kepentingan bersama tanpa harus mengorbankan aqidah, apalagi merusaknya, tapi justru sebagai pendorong mendekatkan diri kepada sang Khalik.

            Perbedaan di tengah realitas justru dijadikan motivasi untuk menunaikan syariat agama sebagai diperintahkan Yang Maha Kuasa, Allah. Ibarat dalam rumah tangga, seluruh anggota keluarga saling menghormati yang bermuara pada Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah.

             Perbedaan adalah sunatullah, suatu keniscayaan dan sebagai rahmat di permukaan bumi. Tak ada manusia yang mampu ingin lahir dari seorang ratu atau dari keluarga keturunan ayah sebagai penguasa. Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan; dilengkapi dengan mozaik "warna-warni" sehingga indah dipandang manusia karena semua itu merupakan karya Allah Yang Maha Agung, Penguasa Jagat Raya dan Maha Berkehendak.

            Atas karunia keindahan itu, takmir Masjid Al Hikmah H. Nasir AB - sebagai tetangga terdekat Gereja Kristen Jawa Joyodiningrat, memaknai perbedaan sebagai kewajiban manusia untuk memelihara dan mempercantik seluruh isi bumi dan segala isinya. "Manusia dilarang keras berbuat kerusakan di atas permukaan bumi. Apa lagi untuk berperang, karena setetes darah dari yang jatuh di permukaan tanah dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah," katanya.
    
Hikmah dan GKJ 60 tahun

        Sudah 60 tahun Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningrat dan Masjid Al Hikmah di Jalan Gatot Subroto Nomor. 222, kampung Joyodiningratan, Kratonan, Serengan, Solo berdiri berdampingan. Kedua rumah ibadah ini menggunakan alamat yang sama dengan dipisah tembok bangunan tidak terlalu tinggi, cerita Nasir yang dijumpai sebelum sholat Jumat (22/8).

          Sebelumnya Pendeta Nunung Istining Hyang STh - sebagai pimpinan di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan - ketika dijumpai penulis, Kamis (21/8) siang -, menyatakan bahwa mendengarkan suara azan pada saat khotbah sudah menjadi hal biasa. Begitu juga bagi jemaah masjid, mendengar paduan suara dari gereja juga sudah biasa. Mereka membangun harmoni cinta dengan "suara" komunikasi saling menghargai.

          Masjid Al Hikmah dibangun tahun 1947 di atas lahan seluas 160 meter persegi milik Haji Ahmad Zaini. Seluruh bangunan masjid luasnya 320 meter persegi. Sedangkan GKJ dibangun tahun 1929, memiliki luas 1.300 meter persegi dengan sertifikat hak gereja. Umat Kristiani yang aktif di gereja tersebut sebanyak 700 orang.

          Sebelum masjid didirikan, kata Nasir, pemilik tanah Ahmad Zaini membentuk panitia pembangunan mushola. Lantas, setelah panitia terbentuk, panitia mendatangi pengurus gereja minta izin untuk mendirikan rumah ibadah di sebelah gereja tersebut. "Sambutan pihak gereja bagus. Mendorong dan membantu," ceritanya.

          "Dulu, awalnya bangunannya berupa mushola. Baru pada tahun 1960-an, bangunan mushola diubah dan ditingkatkan menjadi masjid," tutur Nasir.

           Pemimpin di gereja maupun pengurus masjid boleh berganti-ganti lantaran tututan perjalanan waktu. Tapi, kedua rumah ibadah ini tetap berdiri tegak dan umat dari kedua belah pihak dapat menjalankan ritual-ritual keagamaan hingga sekarang.

            Nasir bercerita, ketika Idul Fitri jatuh pada hari Minggu, untuk menghormati umat yang mengikuti shalat Id di masjid Al Hikmah, pihak GKJ meniadakan kebaktian pagi hari.

            Jika perayaan natal berlangsung, biasanya urusan parkir kendaraan dari jemaat gereja dibantu pemuda masjid. Bahkan, ketika seorang pendeta di GKJ Joyodiningratan meninggal, pengurus masjid Al Hikmah menyediakan tempat parkir di sekitar masjid.

           Baik Nasir dan Nunung, suasana harmoni tersebut tercipta lantaran kedua pihak memiliki kemauan kuat mempertahankan komunikasi. Dengan cara itu, umat yang beribadah di lokasi tersebut paham betul bagaimana menyikapi satu sama lain dengan menjunjung tinggi rasa hormat.

           Sebagai ungkapan harmoninya dua pemeluk agama dalam menjalankan ibadah, pengurus masjid Al Hikmah dan GKJ Joyodiningratan membangun tugu lilin yang didirikan persis di antara tembok gereja dan masjid. Tugu itu dibuat sebagai komitmen kuat pihak masjid dan gereja untuk selalu menjaga hubungan baik.

           Tugu itu jangan dimaknai sebagai simbol agama, pinta Nasir kepada penulis, tapi memang sebagai  simbol upaya melestarikan dan memelihara harmoni dari kedua belah pihak.

           Nasir mengaku setiap kali melihatnya tugu lilin selalu teringat bahwa bapak ibunya dulu telah membangun fondasi hubungan yang baik. Jangan sampai itu rusak dalam sekejap. Hubungan seperti ini sangat bagus dan indah.

            Takmir Masjid Al Hikmah itu bercerita pula bahwa ayahnya, Abu Bakar, adalah salah satu yang terlibat dalam kesepakatan menjaga hubungan harmonis antara gereja dan masjid. "Waktu masjid mau ditingkat, kami menyampaikan dan minta izin ke pendeta. Begitu juga sebaliknya, saat gereja mau ditingkat, mereka datang dan minta izin ke sini," sebut Nasir.

           Suasana harmoni yang tercipta bukan berarti tanpa godaan. Ia mengaku pernah ada usaha provokasi dari pihak luar. Namun, latar belakang dan sejarah hubungan keduanya yang sudah terjalin baik sedemikian lama menjadi penangkal hasutan tersebut.

           Peran kedua umat di situ juga sangat positif. Tatkala terjadi bencana gempa di Yogyakarta, pihak masjid dan gereja mengumpulkan dana bantuan dalam berbagai bentuk yang bisa dimanfaatkan, yang kemudian dibagikan oleh para jamaah masjid untuk para korban bencana.

           Tapi untuk urusan pelaksanaan ibadah, jamaah tetep sendiri-sendiri sesuai dengan ajarannya masing-masing dan hingga saat ini saling menghormati satu sama lain.

            Ia menjelaskan pula bahwa untuk pembangunan masjid ini bisa sampai megah karena amalan jariyah dari seorang dermawan bernama H. Makdum. Masyarakat Solo khususnya jamaah kedua tempat ibadah itu, cara berfikirnya sudah sangat dewasa. Keduanya sudah sangat mengerti batasan-batasan toleransi agama masing-masing.

23.33 | 0 komentar

SOLO DI PANGGUNG KERUKUNAN ANTARAGAMA

Catatan Edy Supriatna - Solo, 24/8 (Antara) - Lagu Bengawan Solo demikian populer di mancanegara. Terlebih di negeri Sakura, Jepang. Para orang tua di negeri itu telinganya sangat akrab dengan lagu keroncong ciptaan Gesang Martohartono dan kini juga dikenal oleh generasi muda di negeri matahari terbit itu.     

        Kemungkinan itu terjadi disebabkan serdadu Jepang, tatkala zaman kolonial, banyak mengenal gadis ayu dari kota tersebut.

           Solo kini sudah masuk ke pentas internasional. Kota itu pernah mendapat penghargaan Green City. Solo juga mendapatkan beberapa penghargaan semasa dipimpin Jokowi, kini Presiden RI ketujuh. Sederet penghargaan itu di antaranya Kota dengan Tata Ruang Terbaik ke-2 di Indonesia serta Piala dan Piagam Citra Bhakti Abdi Negara dari Presiden Republik Indonesia pada 2009. Masih banyak lagi penghargaan untuk kota itu.

            Solo terletak di provinsi Jawa Tengah, Indonesia yang berpenduduk 640.0049 jiwa (2013) dan kepadatan penduduk 13.636/km2. Kota dengan luas 44 km2 ini berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo.   
         Catatan historis menyebut bahwa bersama dengan Yogyakarta, Solo merupakan pewaris Kerajaan Mataram yang dipecah pada tahun 1755.

             Di kota itu pula kemajemukan sangat kental. Itu bisa dilihat dari komposisi jumlah pemeluk agama (2013). Kepala Kantor Kemenag Surakarta, Ahmad Nasirin mencatan bahwa pemeluk agama Islam 44.2654, Kristen (83.519 jiwa), Katolik (7.3275), Hindu (1.283) dan Buddha (3.610) dan Konghuchu (500), lainnya (9).
             Sementara itu jumlah rumah ibadah tercatat untuk masjid sebanyak 554 buah, mushola (180 buah), gereja Kristen (180), gereja Katolik (54), Kapel (12), Vihara (6), Kelenteng Konghuchu (3).
             Bagi orang awam, terutama dari luar Pulau Jawa, yang bertandang ke Solo, akan dibingungkan dengan penyebutan Solo dan Surakarta. Bagi warga yang pernah kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) atau di Solo, tentu paham kedudukan Surakarta dan latarbelakang Solo.
              Sebab, seperti disebut dalam catatan Wikipedia  "Sala" (baca Solo) adalah dusun yang dipilih oleh Sunan Pakubuwana II dari tiga dusun yang diajukan kepadanya ketika akan mendirikan istana yang baru, setelah perang suksesi Mataram terjadi di Kartasura. Nama "Surakarta", yang sekarang dipakai sebagai nama administrasi yang mulai dipakai ketika Kasunanan didirikan, sebagai kelanjutan monarki Kartasura.
            Pada masa sekarang, nama Surakarta digunakan dalam situasi formal-pemerintahan, sedangkan nama Sala/Solo lebih umum penggunaannya. Kata sura dalam bahasa Jawa berarti "keberanian" dan karta berarti "sempurna"/"penuh". Dapat pula dikatakan bahwa nama Surakarta merupakan permainan kata dari Kartasura.
            Secara administrasi yang resmi adalah Surakarta. Tapi, jika anda ketemu gadis cantik di kota tersebut, jangan sebut dia asal Surakarta. Tentu lebih akrab sebagai gadis Solo. Warga di kota itu, khususnya untuk dunia pariwisata dan perdagangan, umumnya memakai sebutan Solo. Stasion Solo Balapan, misalnya. Tetapi, jika anda membuka peta, yang ada pasti namanya Surakarta, bukan Solo.
           Memang kota tersebut punya historis unik dan khas. Khususnya saat Kesultanan Mataram memindahkan kedudukan raja dari Kartasura ke Desa Sala, di tepi Bengawan Solo. Sunan Pakubuwana II membeli tanah tersebut dari Kyai Sala sebesar 10.000 ringgit (gulden Belanda). Secara resmi, keraton Surakarta Hadiningrat mulai ditempati 17 Februari 1745 dan meliputi wilayah Solo Raya dan Daerah Istimewa Yogyakarta modern. Kemudian sebagai akibat dari Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757) terjadi perpecahan wilayah kerajaan, di Solo berdiri dua keraton: Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, dan di Kesultanan Yogyakarta.
    
 Kewaspadaan

        Drs KH Muhammad Dian Nafi, Pengasuh Pondok Pesantren Al Muayyad, Windan, Pabelan, Kartosuro, Sukoharjo, mengingatkan bahwa suasana harmoni di tengah kemajemukan warga dengan segala sosial-budaya yang dimiliki harus bersama-sama dijaga.   

        Kewaspadaan harus tetap ditingkatkan karena dinamika masyarakat dewasa ini demikian pesat. Globalisasi dengan "plus minus" yang dibawanya bukan hal mustahil banyak berpengaruh terhadap pola pikir penduduknya.

           Jangan sampai dikesankan kerukunan menjadi semu. Kerukunan harus menembus relung hati warga dari seluruh umat. Warga Solo pernah sekurangnya mengalami 13 kali kerusuhan, kata Dian Nafi. Itu terjadi karena adanya tarik menarik kepentingan yang berujung pada kerugian, khususnya warga kota tersebut.

           Terlebih, Solo kini sudah menjadi "panggung internasional", kata kiyai yang banyak tampil di berbagai forum komunitas lintas-agama. Selain soal kerukunan antarumat, Dian Nafi memang banyak berbicara soal pendidikan, ketahanan pangan di lingkungan umat Kristiani di berbagai forum. Bagi warga Solo, ia menekankan, rasa aman dan nyaman harus dikedepankan, sehingga melalui pendidikan dan kesejahteraan yang baik, berbagai tantangan radikalisme bisa dihalau dari kota tersebut.

           Pelaku radikalisme dewasa ini mulai mencari panggung dimana-mana. Solo juga tak luput dari sasaran target itu. Forum Kerukunan Antar-umat Beragama (FKUB) kini menjadi demikian penting untuk mengambil peran.
           Dalam keseharian, memang patut diapresiasi FKUB Kota Solo dalam mengintensifkan komunikasi antar-komponen masyarakat.  Koordinasi antarkomponen masyarakat untuk mewujudkan kerukunan umat beragama memang harus mendapat perhatian. Jangan sampai kerukunan bersifat semu.

           Sesuai dengan pasal 9 (2) Peraturan Menteri Agama No 9 dan 8 tahun 2006, disebutkan bahwa setiap umat beragama diharuskan untuk saling mengerti, mengenal dengan baik satu dengan yang lain. "Bukan menyerang satu sama lain. Pengertian keyakinan agama di indonesia dengan kesadaran berbangsa dan bernegara jangan dipertentangkan, jangan dipisahkan," tambahnya.

           Mantan Wali Kota Solo Joko Widodo pernah memuji peran yang dijalankan FKUB. Kerukunan umat beragama di kota Solo berjalan dengan baik. Jokowi, sapaan Wali Kota juga menilai peran FKUB sangat penting dalam memberikan kontrol kepada masyarakat. Sudah berjalan baik. "Contohnya apabila ada masalah, tidak pernah naik ke saya, beliau menyelesaikan sendiri, itu bagus. Yang saya lihat seperti sekarang ini bagus," jelas Walikota.

           FKUB Solo tergolong aktif. Jika ada warga ingin membangun rumah ibadah, selalu turun ke lapangan sebelum memberi rekomendasi. Jadi, gesekan antarumat dapat dihindari karena dialog antarpengurus FKUB dan masyarakat dilakukan secara terbuka. Rekayasa rekomendasi untuk persetujuan rumah ibadah jelas tidak ada. "Kita kerja serius, karena ini menyangkut kepentingan umat," kata Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Solo, Suharso.    

 Tut Wuri Handayani

         Suharso, yang juga aktif dalam FKUB Solo, berharap kerukunan yang tercipta berjalan natural. Artinya, jangan sampai dikesankan dipaksakan. Inisiatif para tokoh agama dan masyarakat lebih mengemuka, sementara pihak pemerintah lebih banyak dalam posisi "Tut Wuri Handayani". Semboyan ini  selain bisa dimaknai sebagai dorongan buat anak anak agar maju ke depan, tampil, dan berani mengambil keputusan, juga dalam konteks sosial memberi dorongan dan arahan untuk terwujudnya toleransi antarumat beragama.
             Dewasa ini, kata Suharso, pihaknya memang meningkatkan kewaspadaan. Khusus terkait mencuatnya isu Islamic State of Iraq and Sham (Daulah Islam Iraq dan Syam). Pemimpinnya adalah Syeikh Abu Bakar Albaghdadi (Penganut Wahhabi/Salafi Jihadi Takfiri). ISIS adalah cabang resmi dari Al Qaedah pimpinan Usamah bin Laden.

             ISIS saat ini telah membentuk Daulah Islamiyah di Iraq dan Syam (Syiria) dengan mengangkat dan membaiat Khalifah Syeikh Abu Bakar Albaghdadi (asli Iraq). ISIS adalah kepanjangan tangan dari Kelompok Wahhabi (Salafi) Takfiri, yaitu kelompok yg menvonis pihak lain sebagai `Kaum Kafir¿ jika tidak sepaham dengan langkah-langkah ISIS, baik dari segi aqidah maupun politik.

          Bahkan ISIS juga menghalalkan darah para lawan aqidah dan lawan politiknya, termasuk dari kalangan kaum Wahhabi/Salafi sendiri, yang tidak setuju dengan langkah-langkah dan kebijakan ISIS.

             Di Solo, sudah ada 9 titik bendera ISIS dikibarkan dan sudah diturunkan. Pelakunya kebanyakan dari luar kota ini, yang sengaja membuat "onar" dan menjadikan Solo sebagai "panggungnya". Maklum, di akar rumput, ada stigma bahwa radikalisme bernuansa agama kerap dikaitkan kehadiran Abu Bakar Ba'asyir bin Abu Bakar Abud, pendiri Pesantren Al-Mu'min di Nguriku, Sukoharjo, Jawa Tengah.

            Di Pondok tersebut, seperti diungkap KH Muhammad Dian Nafi, ada tiga strata atau lapisan. Pertama, santri diarahkan untuk pendidikan dan mampu mandiri, kedua santri mampu berdakwa di tengah masyarakat dan ketiga - ini yang dikhawatirkan - santri sebagai laskar. Kini, ISIS dan radikalisme menyedot perhatian besar bagi para pemangku kepentingan di kota tersebut.

             Panggung kerukunan antarumat di Solo sudah tercipta. Potret kerukunan itu dapat dilihat pada dua tempat ibadah yang letaknya berdampingan, di atas sebidang tanah  dengan alamat yang sama pula. Bangunan di Jalan Gatot Subroto Nomor 222 itu adalah Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan dan Masjid Al-Hikmah.  Tak ada sekat tembok yang kokoh. Satu-satunya penanda atau pemisah bangunan tersebut hanyalah sebuah tugu lilin tua, yang merupakan simbol perdamaian kerukunan umat beragama. Sepanjang sejarah, jamaah kedua tempat ibadah tersebut tak pernah berselisih selama puluhan tahun. Mereka bangga dengan keadaan itu.

             Menurut Pendeta Nunung Istining Hyang, GKJ Joyodiningratan didirikan tahun 1939, sementara musala Al Hikmah yang kini berubah menjadi masjid didirikan tahun 1947. Suasana kondusif terjalin, kata Nunung, lantaran sehatnya komunikasi di antara pengurus masjid dan gereja.

           "Sudah lama kami - pengurus gereja dan masjid - hidup harmonis. Sebagai simbol kerukunan, kedua pihak sepakat mendirikan sebuah tugu lilin di antara bangunan gereja dan masjid," Nunung bercerita.

           Kerukunan antara kedua umat berbeda itu tidak hanya terlihat saat pada kegiatan ibadah pada hari besar keagamaan. Saat perayaan Natal atau Idul Fitri, misalnya, mereka akan saling membantu membersihkan halaman dan mengamankan jalannya kegiatan ibadah. 

      Ketua Takmir Masjid Al Hikmah, Natsir Abu Bakar ketika dijumpai membenarkan hal itu. Saat Idul Adha, hewan kurban pun di tempatkan di muka halaman gereja. Meski ada bau tak sedap, umat Kristiani menerima kenyataan itu sebagai bagian dari kesalehan sosial. "Sesudah itu, ya kita bersih-bersih bersama-sama. Kami selalu berkomunikasi, apa pun yang dilakukan harus selalu rukun," kata Natsir, yang juga sehari-hari adalah sebagai pedagang berlian itu.

          Jadi, tidak heran, harmonisasi yang baik ini, mengundang decak kagum bagi siapa pun yang menyaksikan dua bangunan rumah beribadah saling berdempetan. Maka, tak jarang kedua rumah ibadah itu kerap didatangi pemuka agama seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk melihat secara langsung tentang kerukunan umat beragama di Solo. Ada yang datang dari Jerman, Inggris, Italia, Spanyol, Belanda. Juga dari kawasan Asia Tenggara (Asean) Filipina, Jepang, Vietnam, Singapura, dan Malaysia.

23.24 | 0 komentar

BERTOLERANSI DALAM BERIBADAH DAN KESALEHAN SOSIAL

Catatan Edy Supriatna - Bisa jadi sopir taksi di Solo lebih mengenal alamat gereja-masjid jika penumpangnya merasa sulit mencari rekan atau anggota keluarga yang berdomisili di sepanjang ruas jalan Gatot Subroto di kota itu.

Jika anda baru tiba di Bandara Adi Sumarmo, Solo, lantas hendak menemui anggota keluarga atau teman di kawasan Jalan Gatot Subroto, Solo, dengan menyebut alamat gereja-masjid, maka sang sopir akan paham bahwa alamat yang dimaksud pasti Jalan Gatot Subroto, Solo, Nomor 222. 

Disebut gereja-masjid karena di alamat yang sama itu pula dua rumah ibadah: Masjid dan Gereja hadir di tengah masyarakat Solo yang pluralis sejak Indonesia belum lepas dari tangan kolonial Belanda. Masjid Al Hikmah dan Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan dibangun hampir dalam waktu bersamaan untuk membangun akhlak mulia bagi umat berbeda keyakinan.

Kehadiran dua rumah ibadah tersebut, bagi setiap anak bangsa yang menyaksikan bangunan tersebut dari tepi jalan, tentu memunculkan banyak pertanyaan. Pertanyaan sederhananya, kok bisa bangunan itu berdiri berdampingan. Apakah ketika melaksanakan ritual ibadah masing-masing pemeluknya (baik Kristen dan Islam) tidak saling mengganggu atau terganggu tanpa sengaja.

Bagaimana jika ada suara azan berkumandang dari masjid Al Himah, sedang umat Kristen di Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan yang di sebelahnya tengah melaksanakan kegiatan pelayanan umat seperti kebaktian. Atau paling tidak, rapat dan seluruh aktivitas sosial ikut terganggu. Bohong, tentu, kalau ada orang yang mengaku kedua umat tersebut merasa tidak terganggu.

"Ya, terganggu. Tapi, toh kita - umat Krisen dan Islam di sini - sudah puluhan tahun bisa melaksanakan ibadah dengan baik," kata Pantas, seorang anggota Satpam Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan.

Bagi pendatang, yang melintas di muka dua rumah ibadah yang berdampingan tersebut, ada juga punya pandangan "minor". Katanya, ah itu kan akal-akalan penguasa saja untuk memetik keuntungan dari pencitraan kerukunan di negeri ini. Penguasa ingin memperlihatkan bahwa kerukunan di tengah masyarakat majemuk masih ada.

Pandangan semacam itu, sah-sah saja. Apa lagi dalam era reformasi, siapa pun bisa menyampaikan argumentasinya. Bahkan lebih panjang lagi tentang kerukunan di negeri ini yang dirasakan masih perlu dibenahi. Tapi, harus dicatat bahwa kedua bangunan rumah ibadah itu hadir bukan didorong atau diprakarsai oleh penguasa. Kedua rumah ibadah itu berdiri sejak Indonesia belum merdeka atas inisiatif pimpinan dari kedua agama, Islam dan Kristen. Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan dibangun pada 1939. Kemudian dibangun di sisi kanannya Masjid Al Hikmah pada 1947.

Ahli waris Masjid al Himah, Haji Syamsi berpesan, di lahan yang berdekatan dengan gereja itu boleh dibangun masjid. Asal, pesan dia, kerukunan harus dijaga. Untuk menjaga kerukunan itu, lantas para pengurus dua rumah ibadah membangun tugu lilin pada 1960-an sebagai simbol perdamaian antarpemeluk agama.
Belakangan ini, soal kerukunan kerap dibahas diberbagai media. Sejatinya, soal akan kerukunan itu sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Toleransi dan semangat gotong royong sudah mengakar di bumi pertiwi.

Semangat toleransi

Teori dalam ilmu sosial menjelaskan bahwa kedua umat berbeda dalam menjalankan ibadah tanpa saling menggangu disebut sebagai toleransi. Benar, bahwa dalam konteks sosialbudaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat dikenal dengan istilah toleransi. Misalnya toleransi beragama, penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda.

Namun dalam realitasnya, toleransi - dalam pemahaman awam - dimaknai bahwa pihak luar (kamu) harus paham apa dan siapa diri (ku). Dalam praktek keseharian, bagi dua penganut agama berbeda di Jalan Gatot Subroto Nomor 222 Solo itu, toleransi dimaknai saling memahami, menghormati, saling kasih dan membantu satu sama lain. Jadi tak sebatas menghormati saja, jauh dari itu. Walau beda penghayatan (akidah), dalam berbuat kebaikan satu sama lain terpelihara dengan baik.

Pendeta Nunung Istining Hyang STh - sebagai pimpinan di Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan -ketika dijumpai penulis, Kamis (21/8) siang, mengaku suara azan yang didengarnya memang mengganggu. Demikian juga jemaah di masjid sebelah, Nunung menilai tentu merasa terganggu juga dengan aktivitas gereja ketika penyelenggaraanya kebetulan bersamaan. Namun tingkat gangguan itu, tentu tidak lantas merusak jalannya ibadah masing-masing. Pihaknya selalu berkomunikasi dengan pengurus masjid jika di gereja akan dilaksanakan ibadah kebaktian yang melibatkan banyak orang.

Pihak masjid pun demikian. Jika punya acara seperti Isra Mi'raj atau Maulid Nabi, pihak gereja menunda acara kebaktian. Setelah acara penting di masjid selesai, gereja baru melaksanakan kebaktian. Saat Ramadhan berlangsung, kegiatan malam hari di gereja disesuaikan dengan acara di masjid.

Jika Idul Adha akan tiba, pihak masjid memberi tahu dan minta izin menempatkan ternak (sapi dan kambing) di parkiran halaman depan gereja. Dulu, saat buka puasa pihak gereja ikut memberi kontribusi. Setelah dipersoalkan orang luar, bantuan makanan buka puasa, atas kesepakatan bersama dihentikan. Jika saja pihak masjid peralatan pengeras suara rusak untuk hari-hari besar Islam, gereja pun ikut membantu. Tatkala gereja punya acara besar dan minta bantuan pengurus masjid agar tak mengeraskan suara azan, malah pengurus masjid tak menggunakan pengeras suara saat azan sama sekali. "Kita merasa dihormati sekali," katanya.

Pak haji sebelah - maksudnya takmir Masjid Al Hikman H. Nasir AB - juga datang ke gereja setelah rituan natal selesai. Jika ada hari besar Kristen seperti Natal, pengurus masjid selalu berkomunikasi. "Kita pun sering berkomunikasi dengan pengurus masjid. Sehingga, dalam menjalankan ibadah kita tak pernah menghadapi masalah," katanya.

Masalah, memang selalu ada dan bisa dibesarkan. Tapi, itu tidak di kalangan pengurus gereja dan masjid di sini. Pernah pengurus masjid lupa memberi tahukan ada acara halaqoh. Padahal saat itu jemaah gereja punya kegiatan yang juga melibatkan banyak orang. "Toh, kita bisa selesaikan dengan baik. Jadi, berbagi kasih itu sangat indah," cerita pendeta Nunung didampingi Bambang Wirawan selaku wakil pengurus gereja di situ.

Terkait dengan bangunan rumah ibadah berdempetan, satu alamat pula, Nunung mengaku hal itu juga terasa aneh bagi dirinya. Sepertinya para orang tua dan pemuka agama terdulu sudah mengerti pentingnya orang memeluk agama. Bukan saja menganut agama tertentu, tetapi juga bagaimana dapat menjalankannya dengan baik.

Bangunan Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan memiliki luas 1.300 meter persegi dengan sertifikat hak gereja. Umat Kristiani yang aktif di gereja tersebut sebanyak 700 orang. Gereja tersebut tak dilengkapi lonceng sebagaimana gereja yang kebanyakan dibangun di zaman Belanda. Mungkin mengandung makna lonceng dapat mengganggu ibadah umat Islam di Masjid Al Hikmah di sebelahnya. Masjid Al Hikmah - dengan luas tanah 160 meter dan luas bangunan berlantai dua 320 meter persegi - itu juga tak punya bedug, seperti di Istiqlal.

Pendeta Nunung mengaku akan mewakafkan usianya untuk melayani umat di gereja itu. Perempuan kelahiran Kulonprogo dan lulusan Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta (2009) kini terlihat bahagia bersama suaminya Heri Kristiawan dengan dua anaknya. Karena ia yakin hidup tidak perlu dikhawatirkan. Terlebih dalam menjalankan ibadah. Hukum kasih berlaku bagi semua umat.



18.52 | 0 komentar

BERITA PER KATEGORI


Categories